Yahman Setiawan
Sopir Angkot Menjadi Raja Gas
Sekitar 1976-an, saat berusia 19 tahun, Yahman menikah. Setahun kemudian dikarunia seorang putra. Berselang lima tahun kemudian, anak kedua terlahir. Tekanan kebutuhan yang semakin membelit, Yahman pun akhirnya banting setir memulai usaha mandiri. Berbekal uang sekitar Rp 50.000, ia membeli gerobak, beberapa jeriken, dan perlengkapan lainnya. Yahman mulai berkeliling berjualan 350 liter minyak tanah menyusur dari kampung ke kampung.
JAKARTA. Dua orang pekerja sibuk mengecat gapura pintu gerbang berkelir hitam. Dari balik pagar yang menjulang tinggi, berdiri dua rumah gedong saling berhadapan, terpisah hamparan halaman yang luas. Sederet mobil mewah terparkir di beranda rumah dengan warna putih ini.
Tampak dua petugas sekuriti bersiaga di pos penjagaan memeriksa semua tamu yang datang. Sesekali keluar- masuk truk pengangkut gas elpiji dari arah gudang yang berada di belakang rumah di Jalan Raden Saleh, Sukmajaya, bilangan Kota Depok, Jawa Barat.
Kediaman megah seluas 8.000 meter persegi itu adalah tempat tinggal Yahman Setiawan, salah satu pengusaha kakap di Kota Belimbing. Saya menjadi wirausahawan karena terpaksa, tutur Yahman memulai cerita.
Pria yang selalu mengenakan peci hitam ini memang telah banyak makan asam garam bisnis, mulai dari usaha yang kecil yakni mendorong gerobak minyak keliling menyisir dari kampung ke kampung, hingga kini menjadi juragan gas. Jabatan prestisius sebagai ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kota Depok pun pernah disandang pria yang akrab disapa Haji Yahman ini.
Namun, tak banyak yang tahu bagaimana Yahman memulai usaha dari nol hingga bisa disebut sukses seperti sekarang.
Yahman menceritakan, sedari muda saat tinggal di pinggiran Bogor, ia telah terbiasa dengan serba keterbatasan di bidang ekonomi. Walhasil kerja serabutan pun terpaksa ia jalani sehingga tak sempat mengenyam bangku pendidikan tinggi.
Saya pernah nyopir angkot selama lima tahun, kenang pria kelahiran 5 Juni 1957. Kerja keras itu harus ia lalui untuk sekadar bertahan hidup.
Sekitar 1976-an, saat berusia 19 tahun, Yahman menikah. Setahun kemudian dikarunia seorang putra. Berselang lima tahun kemudian, anak kedua terlahir. Tekanan kebutuhan yang semakin membelit, Yahman pun akhirnya banting setir memulai usaha mandiri.
Berbekal uang sekitar Rp 50.000, ia membeli gerobak, beberapa jeriken, dan perlengkapan lainnya. Yahman mulai berkeliling berjualan 350 liter minyak tanah menyusur dari kampung ke kampung.
Nah, tiga tahun merintis usaha minyak tanah merupakan masa-masa paling sulit. Ia harus bersusah payah banting tulang untuk memperluas distribusi dan jaringan pelanggan.
Meski banting tulang untuk urusan dunia, bapak dari enam anak ini tetap menyisihkan sebagian rezekinya untuk urusan akhirat. Misalnya tabungan untuk pergi ke Tanah Suci. Alhamdulillah terlaksana pada 1984, kenangnya.
Ia merasakan berkah yang luar biasa dari Tuhan selepas pulang haji. Usaha minyak tanah Yahman mengalami lonjakan. Sebelum berhaji, omzet hanya kisaran 5.000 liter atau satu tangki mobil per minggu.
Grafik penjualan terus menanjak sehingga tahun berikutnya omzet mencapai lima tangki seminggu. Hingga 1988, omzet membengkak menjadi 10 tangki per minggu. Yahman pun tak harus keliling lagi menjajakan minyak karena sudah banyak tenaga kerja yang siap.
Seiring moncernya bisnis penyaluran minyak tanah ini, PT Pertamina menunjuk Yahman sebagai agen resmi minyak tanah di kawasan Depok. Saat itulah Yahman merintis bendera bisnis PT Raja Gas.
Berbekal kepercayaan dari Pertamina, Raja Gas ekspansi dengan memperluas wilayah distribusi ke pinggiran Depok, yakni Cibinong, Bojonggede, Bogor, bahkan Jakarta Timur.
Pada 1989, Pertamina kembali menunjuk Raja Gas sebagai agen resmi gas elpiji. Puncaknya sampai 2007, penjualan minyak tanah Raja Gas sebanyak 20 tangki per hari, dengan jumlah karyawan 30 orang. Yahman pun mendapat diangkat sebagai ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak & Gas Bumi (Hiswana Migas) Kota Depok.
Insting bisnis
Di tengah menangguk hasil usaha yang melimpah, tiba-tiba Pemerintah menarik minyak tanah dari pasar untuk digantikan gas. Pemerintah pun menggelontorkan gas elpiji 3 kg. Masa kejayaan minyak tanah pun berakhir 2007.
Akibat kebijakan ini, banyak pengusaha minyak tanah yang bangkrut. Sebab, tataniaga minyak tanah dengan elpiji sangat berbeda. Selain itu, bisnis gas lebih rumit, berisiko tinggi, dan membutuhkan modal gede.
Margin keuntungan usaha gas juga tak pasti. Berbeda dengan minyak tanah yang sudah diatur oleh Pemerintah. Tapi tak ada pilihan harus ikuti kebijakan pemerintah. Minyak tanah sudah ditarik, mau jualan apa lagi? ungkapnya.
Bagi Yahman, kondisi seperti ini tidak lantas membuatnya panik. Insting bisnis yang sudah terasah memberi keyakinan bahwa suatu saat usaha gas sangat menjanjikan. Sehingga, hambatan modal tidak menjadi halangan yang membuat Yahman patah arang.
Saat itu, harga satu tabung gas ukuran 3 kg mencapai Rp 135.000. Raja Gas harus investasi minimal Rp 3 miliar untuk pengadaan 25.000 tabung gas. Itupun belum termasuk biaya pembangunan gudang penyimpanan, truk pengangkut, dan keperluan pendukung lain.
Dengan rekam jejak usaha yang tidak neko-neko, kepercayaan plus jaringan yang luas membuat Yahman tak kesulitan untuk mendapat modal. Memang bisnis Raja Gas sempat terseok selama tiga tahun pasca pemberlakuan konversi gas. Pendapatan hanya cukup untuk gaji karyawan dan biaya operasional, sebut Yahman.
Karena margin tipis, tak ada jalan lain, Raja Gas harus menggenjot volume. Kini sekitar 60 pekerja Raja Gas musti kerja keras mendistribusikan tak kurang dari 10.000 tabung gas per hari di wilayah Depok, Bogor, dan sebagian Jakarta.
Hasilnya, kini roda bisnis Raja Gas kembali stabil. Yahman pun kini mulai menjajal ekspansi bisnis lain seperti jual-beli tanah.
Editor: Tokohkita