Elviza Diana
Rawa Tertinggi di Sumatra Ini Terancam Perburuan dan Cetak Sawah
Rawa Bento berasal dari kata Bento, dalam bahasa lokal berarti rumput. Rawa ini di kelilingi rerumputan dan eceng gondok memadati sebagian permukaan. Ia terletak di ketinggian 1.333 meter dari permukaan laut, dan terkenal sebagai rawa air tawar tertinggi di Sumatera, dengan luasan sekitar 1.000 hektare.
TOKOHKITA. Rawa Bento, begitu nama kawasan yang terletak di Desa Jernih Jaya, Kecamatan Gunung VII, Kabupaten Kerinci, Jambi ini. Kala saya datang ke sini, kicauan burung terdengar saling bersahut.Per ahu yang membawa saya mengelilingi Rawa Bento, milik Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), bisa memuat hingga 15 orang dewasa.
Dozer Holizar, Ketua BUMDes Sungai Jernih mengatakan, perahu bisa disewa Rp400.000, satu kali mengelilingi rawa. “Kalau per orang kita biasa Rp50.000, tapi harus 10 orang baru bisa jalan, kalau tidak kita rugi dengan biaya bensin,” katanya.
Rawa Bento berasal dari kata Bento, dalam bahasa lokal berarti rumput. Rawa ini di kelilingi rerumputan dan eceng gondok memadati sebagian permukaan. Ia terletak di ketinggian 1.333 meter dari permukaan laut, dan terkenal sebagai rawa air tawar tertinggi di Sumatera, dengan luasan sekitar 1.000 hektare.
Dulu, kata Dozer, rawa ini persawahan, kemudian kena banjir dan tenggelam membentuk rawa. “Dulu sempat ada yang membuka sawah, namun selalu banjir, akhirnya masyarakat memilih mencari lokasi lain.”
Perahu yang saya naiki melaju tenang di Rawa Bento, di kejauhan saya melihat tiga orang laki-laki dewasa mengendap di balik pohon ketika kami melaju. Dari kejauhan terdengar siulan bersahut-sahutan sepeti kicau burung. ”Bunyi burung apa itu Dozer,” tanyaku. “Itu siulan memikat burung,” kata Dozer, setengah berbisik.
Samto, Kepala Dusun II, yang duduk di belakang saya mengatakan, prang-orang itu mencoba memikat burung dengan siulan yang sudah diatur. Setelah datang, biasa mereka sudah menyiapkan jeratan jala ataupun getah agar burung terperangkap.
Mungkin merasa diperhatikan, ketiga orang itu bergegas meninggalkan tepian rawa, dan menghilang di balik pepohonan. Deru mesin perahu yang kami tumpangi mengusik sekawanan bangau putih.
Dozer membenarkan marak perburuan burung di Rawa Bento. “Rawa ini surga murai dan belasan jenis burung seperti bangau putih, belibis, tong-tong, jalak, perenjak atau gelatih hitam dan putih,” katanya.
Mereka khawatir kalau perburuan terus berlangsung, burung-burung bisa habis. Kini, sudah ada beberapa jenis burung sulit ditemui, seperti murai batu. “Sudah hampir tak mendengar dan melihat burung ini lagi di Rawa Bento.”
Berangkat dari kecemasan itu, Desa Jernih Jaya membuat Peraturan Desa Pelarangan Menebang Pohon dan Perburuan Liar. Zalfinur Kepala Desa Jernih Jaya mengatakan, perdes sudah ada sejak 2010, hanya melingkupi pelarangan penebangan hutan. Pada 2017, katanya, penguatan perdes dilakukan dengan menambahkan pelarangan meracum ikan dan perburuan satwa terutama burung di Rawa Bento.
Dalam aturan ini denda tak main-main, setiap pelaku yang tertangkap tangan menebang pohon akan kena denda adat Rp25 juta dan dilaporkan kepada pihak berwajib. Bagi yang ketahuan meracun ikan di rawa dan menangkap burung ancaman denda Rp5 juta.
Zalfinur berharap, desa sekitar Rawa Bento juga menerapkan aturan sama hingga menutup jalur pelaku kejahatan pembalak liar atau pemburu melewati desa lain. Wacana cetak sawah di Rawa Bento, yang muncul dari Bupati Kerici juga meresahkan warga. Dozer meminta, Pemerintah Kerinci membuka sawah di daerah lain.
“Kita tahu di Kerinci, ada banyak lahan terlantar, lahan tidur. Sebaiknya itu bisa dioptimalkan, lagipula di Rawa Bento, sudah ada yang mencoba membuka sawah namun selalu diterjang banjir. Ini tak sesuai untuk persawahan,” katanya.
Penduduk sekitar Rawa Bento, juga percaya kawasan itu sebagai areal keramat dan harus dilindungi. Zalfinur bercerita, ada makam keramat diyakini warga sebagai menjaga rawa. “Nenek Semanangkut yang dianggap jadi penjaga Rawa Bento.”
Tradisi Rawa Bento, katanya, mengharuskan warga adakan kenduri atau ritual adat di makam keramat kalau ada kemalangan seperti tenggelam di rawa. Ritual itu seperti memotong ayam untuk persembahan di makam keramat Nenek Semanangkut. “Tradisi ini sudah ada sejak dahulu.”
Perahu berhenti di padang rumput nan luas, Dozer sebut ini duplikat sabana di Afrika. “Tidak perlu jauh-jauh ke sana, di Rawa Bento, bisa juga foto-foto mirip begitu,”katanya terkekeh.
Di padang rumput ini, bertebaran sapi milik masyarakat yang digembalakan liar. Tak lama perahu kami behenti, terdengar perahu lain menyusul. Satu keluarga besa yang berjumlah enam orang juga sibuk berfoto di lokasi. Noni, pelancong asal Jogjakarta sengaja jauh-jauh datang karena ingin menikmati pemandangan Gunung Kerinci dari Rawa Bento.”Kalau tidak kabut, kita bisa lihat jelas Gunung Kerinci dari sini, pemandangan luar biasa,” katanya.
Dia menyayangkan, destinasi ini tak dikelola dengan baik dan minim fasilitas penunjang. “Kalau ada tambahan spot foto lebih banyak. Kita juga mau bawa oleh-oleh dari sini, misal, masyarakat memanfaatkan eceng gondok untuk kerajinan. Ini mungkin akan jadi buah tangan khas Rawa Bento,” katanya.
Sumber: Mongabay
Editor: Tokohkita