AJI Desak Jokowi Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis
SJB juga menuntut presiden dan aparatur bawahannya agar lebih berhati-hati dan cermat dalam membuat kebijakan-kebijakan yang dapat melemahkan kebebasan dan kemerdekaan pers
TOKOHKITA. Hari ini, ratusan jurnalis, mahasiswa, dan tokoh masyarakat di Bali menggelar aksi demonstrasi menolak keputusan remisi yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada terpidana seumur hidup, I Nyoman Susrama, karena melakukan pembunuhan terhadap wartawan Radar Bali, Anak Agung Ngurah Bagus Narendra Prabangsa, 11 Februari 2009.
Nandhang R Astika, koordinator aksi yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bali (SJB) mengatakan, pihaknya mengecam keras kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan remisi perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara kepada I Nyoman Susrama. “Kami menuntut Presiden Jokowi mencabut keputusan pemberian remisi perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara terhadap Susrama yang tercantum dalam Kepres No. 29 tahun 2018,” katanya dalam keterangan resminya, Jumat (25/1/2019).
SJB juga menuntut presiden dan aparatur bawahannya agar lebih berhati-hati dan cermat dalam membuat kebijakan-kebijakan yang dapat melemahkan kebebasan dan kemerdekaan pers. Tak Cuma itu, pihaknya juga mendesak Kanwil Hukum dan HAM Bali mengungkapkan ke publik, proses dan dasar pengajuan remisi perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara terhadap pembunuh jurnalis.
“Kami juga mendesak aparat penegak hukum agar menuntaskan pengungkapan kasus pembunuhan maupun kekeraaan terhadap jurnalis yang terjadi di Indonesia, serta mendorong pemerintah agar menjamin kemerdekaan pers,” tukas Nandhang.
Menurut dia, Presiden RI harus menjamin dan melindungi kemerdekaan pers. Pasalnya, kemerdekaan pers telah dijamin dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Jaminan ini juga memiliki landasan dalam konstitusi negara ini, yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran. “Untuk itu, sudah menjadi kewajiban negara menjamin adanya kemerdekaan pers,” ujar Nandhang menegaskan kembali.
Adapun Presiden Jokowi enggan berbicara mengenai hal tersebut. Jokowi meminta untuk bertanya langsung ke Menkum HAM, Yasonna Laoly. "Tanyakan Menkum HAM. Kalau teknis gitu tanyakan ke Menkum HAM," ujarnya kepada wartawan di Bekasi, Jumat (25/1/2019).
Sebelumnya, Yasonna Laoly menjelaskan soal remisi dari penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara karena mempertimbangkan usia pelaku. "Pertimbangannya, dia hampir sepuluh tahun, sekarang sudah sepuluh tahun di penjara. Jadi prosesnya begini ya, itu remisi perubahan, dari seumur hidup menjadi 20 tahun. Berarti kalau dia sudah 10 tahun tambah 20 tahun, 30 tahun. Umurnya sekarang sudah hampir 60 tahun," kata Laoly, Rabu (23/1/2019).
Menurut Laoly, remisi khusus untuk napi seumur hidup sudah sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi. Pada Pasal 9 ayat (2) disebutkan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara ditetapkan dengan Keputusan Presiden
Sejatinya, yang terjadi belakangan ini, negara bukannya hadir dalam memberikan jaminan dan perlindungan, sebaliknya telah mencederai kemerdekaan pers. Ini setidaknya terjadi setelah Presiden Jokowi menerbitkan Kepres 29/2018, yang berisi 115 narapidana yang mendapat remisi perubahan jenis hukuman, satu di antaranya adalah untuk I Nyoman Susrama.
Sebagaimana diketahui, Susrama telah terbukti dalam pengadilan melakukan pembunuhan terhadap Prabangsa, di Banjar Petak, Bebalang, Kabupaten Bangli, pada 11 Februari 2009 lalu. Pembunuhan ini bermula dari pemberitaan yang ditulis Prabangsa di Harian Radar Bali, dua bulan sebelum peristiwa pembunuhan tersebut. Berita itu terkait dugaan korupsi yang melibatkan Susrama. Kasus korupsi ini di kemudian hari juga telah terbukti di pengadilan.
Hasil penyelidikan polisi, pemeriksaan saksi dan barang bukti di persidangan membuktikan bahwa Susrama adalah otak di balik pembunuhan tersebut. Ia diketahui memerintahkan anak buahnya menjemput Prabangsa di rumah orangtuanya di Taman Bali, Bangli, pada 11 Februari 2009 silam.
Prabangsa lantas dibawa ke halaman belakang rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli. Di sanalah ia memerintahkan anak buahnya memukuli dan akhirnya menghabisi Prabangsa. Dalam keadaan bernyawa Prabangsa dibawa ke Pantai Goa Lawah, tepatnya di Dusun Blatung, Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung. Prabangsa lantas dibawa naik perahu dan dibuang ke laut. Mayatnya ditemukan mengapung oleh awak kapal yang lewat di Teluk Bungsil, Karangasem, Bali, lima hari kemudian, 16 Februari 2009.
Berdasarkan data AJI, kasus Prabangsa adalah salah satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia. Nemun demikian, kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus yang diusut hingga tuntas. Sementara, delapan kasus lainnya belum tersentuh hukum. Delapan kasus itu, antara lain: Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan Harian Bernas Yogya (1996); pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas Harian Radar Surabaya (2006), kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).
Berbeda dengan lainnya, kasus Prabangsa ini bisa diproses hukum dan para pelakunya dijatuhi hukuman pidana penjara. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, majelis hakim menghukum Susrama dengan penjara seumur hidup, lebih ringan dari tuntutan jaksa berupa hukuman pidana mati sesuai Pasal 340 KUHP.
Dalam putusan tersebut juga turut menjerat delapan orang lainnya yang ikut terlibat, dengan hukuman dari 5 sampai 20 tahun penjara. Upaya mereka untuk banding tak membuahkan hasil. Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya kesembilan terdakwa, April 2010. Putusan ini diperkuat oleh hakim Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi pada 24 September 2010.
Editor: Tokohkita