Mari Kita Belajar dari Rehan, Tukang Asah Pisau Keliling
Di benak Rehan, besar kecilnya penghasilan yang didapat kudu disyukuri. “Rezeki sudah ada yang ngatur. Kalau enggak hasil, belum rezekinya.Yang penting kita kerja halal,” tutur dia dengan logat kental Jawa wilayah pesisir.
TOKOHKITA. Rehan itulah namanya. Pemuda jebolan sekolah teknik menengah (STM) ini saban hari berkeliling kampung dan komplek perumahan di sekitar Depok. Masuk gang, keluar gang, menyusuri jalan-jalan sempit sambil membopong mesin gerinda duduk, sebuah alat sederhana untuk mengasah pisau. Dengan alat tersebut, pria berkulit gelap lantaran kerap terpapar terik mentari ini mencari nafkah untuk biaya hidup sehari-hari.
Ya, tukang asah pisau keliling. “Lumayan daripada tidur-tiduran, nganggur enggak karuan mending usaha beginian,” ujar warga Cirebon saat berbincang dengan Tokohkita, Sabtu (2/2/2019) siang.
Kedua matanya terihat fokus ke arah mesin gerinda butut yang diputar dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanan memegang kuat bilah pisau yang tengah ditajamkan. Suara bising meraung-raung ketika lempengan batu gerinda yang berputar kencang bergesekan dengan lempengan logam besi pada pisau. Sesekali terlihat percikan bunga api.
Soal penghasilan, ia mengaku tidak menentu. “Enggak tentu, bang,” sahut Rehan singkat. Pandangan matanya masih tetap tertuju pada pisau dan mesin gerinda. “Kadang seharian enggak dapat,” timpalnya. Tapi Rehan tak berkeluh-kesah. Mengeluh pun tak ada gunanya. Meski peluh deras bercucuran karena harus berjalan kaki cukup jauh sembali memanggul mesin asahan seberat 15 kilogram, ia tetap sabar menjalani aktivitas ini.
“Kok, enggak bawa sepeda saja,” tanya Tokohkita. “Sepedanya enggak punya bang, lagian susah masuk gang sempit jadi enggak leluasa bergerak,” jawab Rehan memberi alasan.
Di benak Rehan, besar kecilnya penghasilan yang didapat kudu disyukuri. “Rezeki sudah ada yang ngatur. Kalau enggak hasil, belum rezekinya.Yang penting kita kerja halal,” tutur dia dengan logat kental Jawa wilayah pesisir. Tapi kalau dirata-rata dalam sehari, pendapatan dari upah asah pisau sekitar lima puluh ribuan. Satu bilah pisau jasa asahnya tiga ribu perak. Terkadang ada warga yang baik hati memberi upah lebih. “Ada juga yang ngomel-ngomel minta nawar dua rebu, kan biasanya segitu,” ujar Rehan menirukan omongan salah satu pelanggannya.
“Padahal buat kencing aja kudu bayar dua rebu,” celetuk Pakde seperti membela Rehan. Tukang baso yang biasa mangkal di sekitar kampus BSI Margonda ini lantas menyerahkan dua lembaran uang lima ribuan setelah dua pisau kesayangannya kembali tajam hasil buah karya Rehan. “Kalau saya sih hargai aja kemaun ade ini. Masih muda tapi mau susah payah kerja, cari duit halal. Enggak malu lagi,” timpal Pakde.
“Iya, buat apa malu, kita kan butuh makan. Dari pada nyolong atau nyopet,” aku Rehan seakan menyakinkan dirinya kalau apa yang dilakukannya sudah benar. Dari hasil memeras keringat itu Rehan bisa mengirim sedikit uang buat biaya sekolah adiknya yang baru SMP di kampung. “Sebulan sekali kirim Rp 300.000 buat biaya sekolah,” ungkapnya.
Di usianya yang masih belia sekitar 20 tahunan, Rehan harus berjibaku dengan kehidupan kota yang berat. Anak sulung dari tiga bersaudara ini merantau ke Depok menyusul sang ayah yang juga bekerja serabutan. Pekerjaannya pun tergantung musim. “Bapak biasa servis payung,” tukasnya. Lain lagi kalau tiba musim kemarau. Profesi yang dilakoni orangtua Rehan macam-macam dari kuli bangunan sampai dagang es.
Begitulah potret perjuangan hidup rakyat kecil. Mereka tidak neko-neko, tak banyak kemaun tapi menjalani hidup apa adanya. Mengalir alamiah dengan jatah rezeki yang telah ditentukan Allah SWT. “Pengennya sih saya kerja di perusahaan atau pabrik tapi belum ada yang tembus. Sudah banyak kirim lamaran, mungkin belum waktunya,” ucap dia pasrah. Lulusan STM jurusan bangunanan ini berharap suatu saat bisa kerja yang layak dengan penghasilan menetap. “Tapi sekarang cari kerja susah,” sahutnya.
Rehan, hanya gambaran kecil dari sekian banyak rakyat Indonesia yang harus membanting tulang mencari nafkah hidup. Percakapan di atas itulah realitas betapa beratnya perjuangan rakyat kecil untuk bertahan hidup di kota. Mereka dari kampung terpaksa merantau ke kota dengan harapan bisa memperbaiki hidup. Memang, banyak yang sukses di perantaun tapi juga tak sedikit yang gagal, sehingga hanya menambah beban kehidupan kota yang karur-marut.
Pembangunan yang belum merata, sulitnya mencari pekerjaan, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi setidaknya diwakili oleh sosok Rehan di atas. Meski berbekal ijazah STM, Rehan masih berjuang dengan kehidupannya sekarang. Bagaimana nasib Rehan ke depan?
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2018, angka kemiskinan Indonesia adalah 9,82?ri populasi atau sebanyak 25,95 juta orang. Angka itu menurun jika dibanding September 2017, yaitu 26,58 juta orang (10,12%). Untuk bulan Maret 2018, angka rata-rata garis kemiskinan adalah Rp401.220 per kapita per bulan, lebih tinggi dibanding pada 2017, yang pada semester pertama (Maret) berjumlah Rp361.496 dan Rp 370.910 pada semester kedua 2017.
Tapi jika menggunakan indikator Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan, yaitu pendapatan sebesar US$ 2 per hari per orang, maka penduduk miskin Indonesia masih sangat tinggi, yakni diperkirakan mencapai 47% atau 120 juta jiwa dari total populasi.
Farouk Abdullah Alwyni, Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) menganggap, batasan garis kemiskinan Rp400 ribuan ini terlalu rendah, karena orang kota dengan penghasilan Rp500 ribuan sudah dianggap tidak miskin, yang bahkan belum tentu cukup untuk kebutuhan dasar. “Kebutuhan manusia itu bukan makan saja tapi juga pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, juga rekreasi dan hiburan,” sebutnya kepada Tokohkita.
Menurut Farouk, ketimpangan ekonomi di Indonesia terbilang masih lebar. Ia pun mengutip data lembaga internasional OXFAM juga memperingatkan, ketimpangan ekonomi di Indonesia sangat darurat. Dalam laporannya, OXFAM (2016) menyebutkan total harta empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar US$ 25 miliar setara dengan gabungan kekayaan sekitar 100 juta orang atau 40?ri total penghasilan masyarakat terbawah.
Menurut laporan yang sama, pada 2016, 1% orang terkaya ini memiliki 49% atau hampir setengahnya dari total kekayaan populasi di Tanah Air. Hebatnya, hanya dalam sehari saja seorang konglomerat terkaya bisa mendapatkan bunga deposito 1.000 kali lebih besar dari pengeluaran 10% penduduk miskin Indonesia untuk setahun. “Bahkan, jumlah uang yang diperolehnya setiap tahun dari kekayaan itu cukup untuk mengentaskan lebih dari 20 juta warga keluar dari jurang kemiskinan,” ungkap Farouk.
Di sisi lain, pencapaian Human Development Index (HDI) atau Index Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia masih tertinggal ketimbang negara tetangga, Malaysia. Berdasarkan laporan HDI yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2018, Indonesia berada di urutan ke-116 dari 189 negara sedangkan Malaysia di posisi 57. Angka HDI Indonesia sebesar 0,694 sementara Malaysia mencapai 0,802. Adapun Brunei Darussalam berada di posisi 39 dengan IPM-nya 0,853. “Angka HDI Indonesia sangat terpaut jauh dengan Singapura di posisi 9 yang hampir mencapai 1 atau sekitar 0,932. Namun Indonesia masih di atas Laos dengan angka IPM sebesar 0,601 dan berada diposisi 139, serta Myanmar yang berada diposisi 146 dengan skor 0,578,” papar Faroek yang juga dosen pasca sarjana Universitas Indonesia.
Asal tahu saja, HDI merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara termasuk negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup. HDI merupakan salah satu indeks yang berguna untuk memusatkan perhatian pada aspek kualitas dari pembangunan dan berguna bagi negara-negara dengan skor HDI yang relatif rendah untuk melihat kembali variabel-variabel nutrisi, kesehatan, dan pendidikan.
HDI juga mengukur pencapaian rata- rata sebuah negara. Komponen yang diukur dalam HDI adalah income (pendapatan per kapita), expectation of life (angka harapan hidup), years of scholly (pendidikan), dan elitaration rate (melek huruf). Adapun HDI dibagi menjadi empat kategori. Katagori pertama adalah very high human development dimana Terdapat urutan 1 sampai 47. Kategori kedua adalah high human Development yang memuat urutan 48 sampai 94. Kategori ketiga adalah medium human development dengan urutan 95 sampai 141. ategori keempat adalah low human developm ent dengan urutan 142 sampai 187.
Farouk menambahkan, daya saing SDM Indonesia juga bisa tergambar dari Human Capital Index (HCI). Pada forum pertemuan IMF-Bank Dunia di Nusa Dua Bali, HCI mengeluarkan indikator baru untuk mengukur derajat modal manusia. Tahun 2018, peringkat HCI Indonesia berada pada urutan ke-87 dari 157 negara. Lagi lagi, posisi HCI Indonesia masih di bawah negara-negara ASEAN seperti Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Selain nilai HDI dan HCI, ada hasil survei sebelumnya dari Program for International Student Assessment (PISA) yang dilaksanakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pada tahun 2015, kemampuan pelajar Indonesia yang berusia 15 tahun dalam bidang Matematika urutan ke-65, IPA urutan ke-64 dan Literasi urutan ke-66 dari 72 negara.“Catatan prestasi di atas harus menjadi cambuk bagi pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Apalagi Indonesia termasuk negara-negara di dunia yang memiliki banyak penduduk,’ tukas Farouk mengingatkan.
Sekadar informasi, bedasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk Badan Perencanaan Pembangunan Nasioal, Badan Pusat Statistik dan United Nations Population Fund jumlah penduduk Indonesia pada 2018 mencapai 265 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 131,88 juta jiwa berjenis kelamin perempuan. Dengan jumlah tersebut Indonesia masih berada di urutan keempat sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia berada di bawah Tiongkok, India dan Amerika Serikat.
World Bank menyebut bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, meski perluasan akses pendidikan untuk masyarakat dianggap sudah meningkat cukup signifikan. Indonesia sendiri telah mencanangkan program reformasi pendidikan untuk membenahi kualitas sektor ini selama 15 tahun sejak 2002. Indikator peringkat kualitas pendidikan ini tercermin dalam jumlah kasus buta huruf. Masih terdapat 55% anak usia 15 tahun di Indonesia secara fungsional buta huruf, dibandingkan kurang dari 10% di Vietnam.
Sementara dari sisi akses pendidikan, jumlah siswa yang kini mampu bersekolah meningkat cukup signifikan. Sayangnya, hasil tersebut belum bisa memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Bank Dunia melihat masih ada sejumlah tantangan yang masih belum terselesaikan, misalnya tidak meratanya akses pendidikan itu alias masih ada ketimpangan.
Editor: Tokohkita