Jeanne Noveline Tedja
Yuk, Kita Pahami Prinsip Perlindungan Anak
- Beranda /
- Parlemen Kita /
- Sabtu, 2 Februari 2019 - 23:47 WIB
Sejatinya, Indonesia sudah sejak lama meratifikasi Konvensi Hak Anak yakni tahun 1990, yang kemudian menjadi ladasan pembentukan Undang Undang Perlindungan Anak
TOKOHKITA. Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak. Di sekolah, waktu anak dihabiskan untuk belajar sekaligus beriteraksi sosial dengan warga lembaga pendidikan lainnya. Namun, sangat disayangkan tindakan diskriminasi, kekerasan fisik maupun psikis, bahkan pelecehan seksual masih saja terjadi di sekolah.
Seperti belum lama ini terjadi di Kota Depok, seorang siswi disuruh push-up oleh kepala sekolah gara-gara belum membayar SPP. Memang, sepintas tindakan tersebut seperti sepele. Tapi apapun alasannya tindakan itu tidak bisa dibenarkan. Jeanne Noveline Tedja, pemerhati Kota Layak Anak menilai, tindakan kepala sekolah tersebut jelas jelas tidak melindungi hak anak dan bersikap diskriminatif.
“Saya mengimbau kepada pemerintah kota dan kabupaten di Jawa Barat khususnya untuk memberikan sosialisasi mengenai hak-hak anak kepada para kepala sekolah dan tenaga pengajar, juga pihak-pihak lain yang pekerjaannya berhubungan dengan anak,” kata Nane, biasa disapa yang juga Founder dan CEO Rumah Pemberdayaan kepada Tokohkita, Sabtu (2/2/2019)
Kata Nane, tidak bisa dipungkiri masih banyak pihak yang belum memahami sepenuhnya mengenai hakikat perlindungan anak, tidak hanya para orangtua tapi juga kalangan pendidik. Kasus di SD Cimanggis setidaknya mengonfirmasi masih ada problem soal ini. Patut dicatat, di era digitaisasi ini, hal sepele bisa cepat menyebar bahkan menjadi heboh ketika sudah menjadi konsumsi pemberitaan dan perbincangan di media sosial.
Sejatinya, Indonesia sudah sejak lama meratifikasi Konvensi Hak Anak yakni tahun 1990, yang kemudian menjadi ladasan pembentukan Undang Undang Perlindungan Anak. “Dalam Konvensi Hak Anak, dinyatakan bahwa hak anak harus dilindungi, dihormati dan dipenuhi. Karena anak-anak adalah mahluk yang masih rentan. Maka, kita sebagai orang dewasa berkewajiban untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak anak,” terang Nane.
Adapun salah satu prinsip dalam Konvensi Hak Anak adalah non-diskriminasi. Artinya, hak-hak yang melekat pada anak seperti hak sipil, hak kesehatan, hak pendidikan dan hak-hak lainnya diberikan kepada anak tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, status ekonomi, kondisi fisik dan psikis dan faktor lainnya.
“Oleh karena itu, saya sangat mengecam kejadian yang menimpa siswa SD yang disuruh push-up oleh kepala sekolah karena belum membayar SPP. Kepala sekolah itu jelas tidak melindungi hak anak dan bersikap diskriminatif,” tukas Caleg DPRD Provinsi Jawa Barat, Dapil Depok dan Bekasi dari Partai Golkar ini.
Nane menduga, sebagian orangtua juga pendidik, belum 100% memahami apa sebenarnya peran, tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka melindungi, memenuhi dan menghormati hak anak. Jadi sudah tidak zaman lagi orangtua masih otoriter, yang menganggap anak sebagai properti. Artinya, orangtua tidak lagi bebas memperlakukan anak seenaknya seperti menjewer, memukul, memarahi ataupun menyebut anak bodoh, nakal , dan sebagainya.
Dalam kaitannya Depok sebagai Kota Layak Anak, Nane bilang, kebijakannya bukanlah sekadar penyediaan fasilitas sarana prasarana seperti taman bermain, gedung olahraga, gedung kesenian, sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, dan lainnya. Tapi sesungguhnya kebijakan Kota Layak anak adalah mengajak kita semua untuk mengubah bah paradigma bagaimana memandang anak sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak asasi; bahwa anak-anak kita adalah titipan Allah SWT yang harus dipersiapkan untuk masa depan.
“Mempersiapkan anak menjadi manusia dewasa yang berakhlak mulia, cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual, untuk menjadi sumber daya manusia unggul sebagai calon pemimpin masa depan,” harapnya.
Kini, Depok sudah memiliki Perda Penyelenggaraan Kota Layak Anak, yakni Perda Kota Depok No.15 Tahun 2013. Maka, dengan adanya perubahan paradigma tersebut, diharapkan payung hukum ini menjadi alat transformasi sosial. Dalam sebuah peraturan daerah, diatur secara rinci peran-peran dari pihak yang diatur, dalam hal ini pemerintah, keluarga (orangtua), dan masyarakat secara umum. “Perda akan jadi peraturan yang tanpa makna bila tidak dipahami dan di implementasikan,” sebut Nane.
Alhasil, Perda Penyelenggaraan Kota Layak Anak di Depok yang mengacu pada kebijakan nasional dan Konvensi Hak Anak Internasional ini akan mampu mengatasi masalah sosial anak, bisa bekerja dan berdaya guna bagi masyarakat yang diaturnya demi tercapainya pemenuhan hak-hak anak dan kesejahteraan anak.
Pada akhirnya, kerangka kebijakan daerah sangat dibutuhkan bukan hanya menguatkan inisiatif melainkan juga untuk mengikat serta mengatur semua stakeholders pembangunan Kota Depok pada komitmen pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak anak yang terintegrasi dalamkonsep pembangunan Depok menuju Kota Layak Anak. “Namun semua itu harus dimulai dengan perubahan paradigma dulu,” tukas Nane.
Di sisi lalin, perlu komitmen kuat dari pimpipinan dalam hal ini Walikota Depok, tidak hanya masyarakat yang partisipasinya harus ditingkatkan. Salah satu kota yang dianggap berhasil dalam mengimplementasikan Kota Layak Anak adalah Kota Surabaya, dan itu terwujud karena komitmen kuat dari walikotanya. Menurut Nane, sampai saat ini, Perda Penyelanggaraan Kota Layak Anak belum memiliki aturan teknis atau turunannya yakni peraturan walikota.
Maklum, dalam Perda Penyelenggaraan Kota Layak Anak, masih sangat umum, meski sudah dirumuskan sedemikian rupa. Tapi untuk lebih rinci pengaturannya diperlukan adanya peraturan walikota. Dalam peraturan teknisnya ini akan dijabarkan rencana aksi daerahnya seperti apa, anggarannya bagaimana. Kalau tidak ada aturan teknisnya akan bingung mau mulai tahapannya dari mana. “Jadi yang penting sekarang adalah komitmennya dulu dari walikota. Kalau pemimpinnya bilang apa, pasti kebawahnya akan nurut,” pungkas Nane.
Editor: Tokohkita