Aisyah Nurul Janna
Menjaga Pers dari Polarisasi Kepentingan Politik
Pers sebagai pilar keempat demokrasi di samping legislatif, eksekutif, dan yudikatif semakin dituntut dengan peran dan fungsinya lebih profesional, independen, berimbang dan akurat dalam pemberitaannya.
TOKOHKITA. Hari Pers Nasional (HPN) diselenggarakan untuk merayakan hari jadi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang didasarkan pada Keputusan Presiden (Kepres) No. 5/1985. Kepres yang diteken Presiden Soeharto pada 23 Januari itu menyatakan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Kemudian, Dewan Pers menetapkan HPN dilaksanakan setiap tahunnya secara bergantian di ibu kota provinsi se-Indonesia. Pada tahun ini, Surabaya akan menjadi tuan rumah peringtan HPN dengan tema 'Penguatan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital'.
Sejatinya, landasan ideal HPN merupakan sinergi. Sinergi antar komponen pers, masyarakat, dan pemerintah dapat berjalan dengan seimbang. HPN ini dilangsungkan untuk memperingati perjuangan para wartawan dan pers zaman dulu untuk memerdekakan pers yang ada di Indonesia kala itu.
Dengan adanya HPN, diharapkan pers terus berjaya dan meneruskan kiprah serta perannya sebagai media penyebaran informasi yang benar dan menegakkan keadilan seperti sejarah berdirinya pers Indonesia. Kini, pers, sebagai pilar keempat demokrasi di samping legislatif, eksekutif, dan yudikatif semakin dituntut dengan peran dan fungsinya lebih profesional, independen, berimbang dan akurat dalam pemberitaannya.
Dalam konteks politik saat ini, Aisyah Nurul Janna, Peneliti Institute for Strategic Initiatives (ISI) menangkap ada semacam keprihatikan terkait posisi media dalam arus pemberitaan terkait Pemilu 2019. Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) bidang kajian perencanaan dan kebijakan publik ini berharap, HPN 2019 menjadi momentum bagi masyarakat dan insan pers untuk bersikap independen dan tidak terpolarisasi dengan kekuatan-kekuatan politik yang tengah bersaing di Pilpes 2019.
“Saya sebagai mahasiswa, juga masyarakat melihat pada saat pemilu ini media cenderung berpihak kepada salah satu kandidat baik itu pasangan calon 01 maupun 02. Saya tidak berhaap media jadi terpolarisasi dengan kekuatan politik,” katanya saat berbincang dengan Tokohkita, Sabtu (9/2/2019).
Menurut Aisyah yang sempat berkiprah di Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPOOD)-sebuah organisasi riset independen di Jakarta yang memantau kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta pelaksanaan otonomi daerah, ketika posisi media sudah terpolarisasi, maka dampaknya menyebabkan polarisasi juga pada pembaca atau masyarakat. Sebab, mereka akan terpengaruh dengan informasi yang dibacanya.
Dalam kaitan ini, media harus memosisikan independen dengan memberitakan secara akurat dan berimbang untuk masing-masing pasangan calon. “Kebepihakan media itu harus kepada kepentingan publiik, masyarakat. Kalau politik ini masuk di konten pemberitaan dan tujuannya untuk memengaruhi masyarakat, saya pikir itu tidak baik,” tukas perempuan berhijab yang tengah melakukan kajian tentang dampak kebijakan bantuan sosial bagi organisasi keagamaan di Kota Depok.
Aisyah menilai, media sebagai pilar keempat demokrasi semestinya tidak terseret dengan kepentingan-kepentingan politik praktis. Relasi media dengan pemerintahan juga harus tegas dan jelas sesuai fungsi dan perannya. “Memang, media adalah mitra strategis pemerintah. Tapi media bukan corong pemerintah. Media bukan humasnya pemerintah,” jelasnya.
Artinya, kalau beritanya bagus, ya beritakan dengan baik, tapi ketika ada kebijakan pemerintah yang kurang dan merugikan masyarakat, maka media harus mengkritisinya secara objektif dan berimbang. “Prinsipnya, kebenaran harus diungkap meski itu pahit,” kata Aisyah.
Sebagai warga kampus, Aisyah mengibaratkan posisi pers kampus yang kritis terhadap kebijakan kebijakan rektorat misalnya biaya pendidikan yang memberatkan. Bagi kebanyakan mahasiswa memang apatis dengan persoalan civitas akademik, tentang pemilihan rektor dan sebagainya. Tapi bagi mahasiswa yang tidak mampu, biaya pendidikan yang mahal tentunya sangat memberatkan.
Nah, aktivis pers kampus hadir untuk menyuarakan hal-hal itu, mengkritisi kebijakan-kebijakan rektorat yang tidak tetap. Yang terang, konten yang dimuat tetap berimbang dan akuat. “Kebeadaan pers kampus menjadi penting selain sebagai penyeimbang kebijakan kampus, tapi juga menyadarkan mahasiswa lainnya agar tidak apatis dengan persoal kampus,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan, media memiliki kewajiban untuk menyebarkuaskan informasi yang berimbang dan akurat. Dalam hal ini, berita yang disajikan harus terverifikasi sumber atau narasumbernya masing-masing. Saat ini, kata Aisyah, pers juga dituntut menggali infomasi secara mendalam terkait satu isu. Kalau perlu kontennya diperkaya dengan data hasil kajian-kajian sehingga informasi yang disajikan menjadi lebih komprehensif.
Hal ini penting karena saat ini semakin banyak beredar informasi-informasi yang tidak benar bahkan menyesatkan alias hoax. Nah, peran insan pers yang harus meminimalisasi viralnya berita hoax di masyarakat.
Editor: Tokohkita