Kalau Tarif Ojol Naik Drastis, Konsumen Anjlok Hingga 71,12%
Dari hasil survei yang dilakukan RISED diketahui bahwa jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 8,8 km/hari. Dengan jarak tempuh sejauh itu, apabila terjadi kenaikan tarif dari Rp. 2200/km menjadi 3.100/km (sebesar Rp 900/km), maka pengeluaran Konsumen akan bertambah sebesar Rp 7.920/hari.
TOKOHKITA. Rencana Pemerintah menaikkan tarif online (ojol) diprediksi akan banyak memiliki dampak negatif ketimbang positif. Permintaan Konsumen akan turun dengan drastis sehingga menurunkan pendapatan pengemudi ojol, bahkan meningkatkan frekuensi masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dalam beraktivitas sehari-hari sehingga dapat menambah kemacetan.
Hal itu terungkap dalam hasil survei konsumen ojol yang dilakukan oleh Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) dengan melibatkan sebanyak 2001 konsumen pengguna ojol di 10 provinsi. Survei ini dilakukan untuk menjawab dampak dari berbagai kemungkinan kebijakan terlait ojol dan respon konsumen terhadapnya. Ini dilakukan untuk memperkaya khasanah keilmuan dan membantu pengambilan kebijakan secara komprehensif dan obyektif dalam keputusan.
Ketua Tim Peniliti RISED Rumayya Batubara, Ph.D mengatakan, konsumen sangat sensitif terhadap segala kemungkinan peningkatan tarif. Hari ini terlihat dalam hasil survei. "Kenaikan tarif ojek online berpontensi menurunkan permintaan konsumen hingga 71,12%", kata Rumaya Batubara pada peluncuran hasil survei di Jakarta, Senin (11/12).
Hasil survei juga menyebutkan 45,83% responden menyatakan tarif ojol yang adaa saat ini sudah sesuai. Bahkan 28% responden lainnya mengaku bahwa tarif ojol saat ini sudah mahal dan sangat mahal. Jika memang ada kenaikan, sebanyak 48,13% responden hanya mau mengeluarkan biaya tambahan kurang dari Rp. 5000/hari. Ada juga sebanyak 23% responden yang tidak ingin mengeluarkan biaya tambahan sama sekali.
Dari hasil survei yang dilakukan RISED diketahui bahwa jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 8,8 km/hari. Dengan jarak tempuh sejauh itu, apabila terjadi kenaikan tarif dari Rp. 2200/km menjadi 3.100/km (sebesar Rp 900/km), maka pengeluaran Konsumen akan bertambah sebesar Rp 7.920/hari.
"Bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak oleh kelompok Konsumen yang tidak mau mengeluarkan biaya tambahan sama sekali dan yang hanya ingin mengeluarkan biaya tambahan kurang dari Rp 5.000/hari. Total persentansenya mencapai 71,12%," ujar Rumayya.
Peluncuran hasil survei ini juga dihadiri oleh Mantan Ketua YLKI & Mantan Komisioner Komnas HAM Zumrotin K. Susilo dan Ekonom Universitas Indonesia Dr. Fithra Faisal sebagai sebagai narasumber sekaligus penanggap hasil riset.
Menurut Zumrotin, tarif memang selalu menjadi pertimbangan penting Konsumen dalam menggunakan layanan atau produk. Itu terlihat dari hasil survei yang dilakukan RISED bahwa 64% responden mengaku menggunakan aplikasi dari dua perusahaan aplikasi ojek online. "Persentase ini menunjukkan layanan ojol amat sensitif dengan harga ditawarkan," kata Zumrotin.
Oleh karena itu, menurutnya kebijakan yang mempengaruhi harga sebaiknya dilakukan secara hati-hati sehingga tidak menggangu stabilitas pasar secara menyeluruh. "Seluruh pemangku kepentingan harus diperhitungkan dalam proses perumusan regulasi, karena konsumen yang terdampak secara signifikan," ujarnya.
Apalagi saat ini konsumen telah merasakan nyamanya menggunakan layanan ojol. Seperti tergambar dari hasil survei bahwa 75% responden lebih nyaman menggunakan ojol dibandingkan moda transportasi lainnya. Sebesar 83% responden juga menyatakan bahwa ojol lebih unggul dikarenakan faktor kemudahan dalam bermobilitas, waktu yang fleksibel dan layanan door-to-door.
Berdasarkan hasil survei juga terlihat bahwa masyarakat menggunakan ojol dominan untuk pergi ke sekolah, kuliah dan kantor (72% responden). Sementara dari sisi jarak tempuh 79,21% responden menggunakan ojek online untuk bertransportasi sejauh 0-10 km per hari.
Fakta ini membuktikan bahwa ojol digunakan untuk mengisi kebutuhan masyarakat dalam bermobilitas jarak pendek. Ojol juga mendukung konsumen terhubung dengan transportasi publik massal yang terus berkembang. Sementara yang menggunakannya untuk rentang jarak 15 km - lebih dari 25 km per hari persentasenya hanya 20,78% responden.
Fakta menarik lain yang ditemukan dalam survei ini yakni ada 8,85% responden yang tidak pernah kembali menggunakan kendaraan pribadi, namun frekuensinya hanya 1-10 kali/minggu. Jika tarif ojol naik drastis, ada kemungkinan konsumen akan beralih ke kendaraan pribadi, sehingga frekuensi penggunaan kendaraan pribadi dijalanan akan semakin tinggi," kata Zumrotin.
Fithra Faisal mengapresiasi riset yang dilakukan RISED. Menurutnya, dengan adanya riset atau survei ini dapat dilihat banyak sisi negatif dari kenaikan tarif. Seperti potensi menurunnya pengguna ojek online, yang pada akhirnya dapat menggerus pendapatan mitra ojek online. Padahal tingkat konsumsi pengguna layanan ojek online menjadi faktor kunci penggerak keberlangsungan usaha Transportasi online dan sumber utama pendapatan mitra. "Faktor ini juga wajib diperhatikan secara seksama. Ekonomi digital harus terus didorong dalam penciptaan lapangan kerja dan juga mensejahterakan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, Pemerintah hendaknya tidak gegabah dalam menetapkan regulasi dalam bisnis ojol. Pada akhirnya, berkurangnya permintaan ojol tidak hanya akan menggerus manfaat yang diterima masyarakat dari sektor ini, tapi juga akan berdampak pada pengahasilan pengemudi karena konsumen enggan menggunakan ojol lagi. "Risiko regulasi yang terlalu membatasi dan tarif yang tinggi akan mengakibatkan Konsumen beralih, pendapatan pengemudi hilang, hingga kemudian menjadi beban Pemerintah juga pada akhirnya," tutupnya.
Mengenai RISED
Research Institute for Socio-Economic Development (RISED) merupakan organisasi penelitian independen, memiliki misi untuk mendorong pengembangan pengentahuan dan inovasi dibidang sosial dan ekonomi & menyerbarluaskan kepada masyarakat.
Editor: Tokohkita