Rokhmin Dahuri
Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Pelajaran yang bisa kita petik dari pemataan diatas adalah bahwa kualitas SDM lah yang menjadi kunci penentu kemajuan dan kemakmuran sebuah bangsa, bukan melimpahnya SDA.
Berdasarkan pada faktor kekayaan alam dan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) nya, negara-negara di dunia dapat dikelompokkan menjadi empat. Pertama adalah mereka yang kaya SDA (Sumber Daya Alam) dan memiliki kualitas SDM yang unggul. Hasilnya, negara-negara dalam kategori ini menjadi maju, makmur, dan berdaulat, seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis, Norwegia, Australia, dan Selandia Baru. Kedua, negara-negara yang miskin SDA, tetapi kualitas SDM nya unggul, maka mereka menjadi maju, makmur, dan berdaulat, seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Swiss, dan Israel. Ketiga, negara-negara yang miskin SDA dan kualitas SDM nya pun rendah. Maka, mereka menjadi negara terbelakang dan miskin. Contohnya Bangladesh, Pakistan, sebagian besar negara-negara di Afrika, dan mayoritas negara-negara di Pasifik Selatan.
Keempat, negara-negara dengan kekayaan alam melimpah, tetapi kualitas SDM nya rendah. Maka, mereka belum menjadi negara maju, makmur, dan berdaulat. Contohnya adalah Nigeria, Afrika Selatan, Barzil, Venezuela, Iran, dan Turki. Rata-rata pendapatan nasional kotor (GNI) per kapitanya berkisar antara US$ 1.036 – 12.615, tergolong ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah. Sedangkan, negara berpendapatan tinggi (kaya), rata-rata GNI per kapitanya diatas US$ 12.615. Dalam kelompok ini memang terdapat variasi. Misalnya ada negara-negara super kaya, berkat kekayaan migas yang melimpah (petro dolar), seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Brunei Darussalam itu rata-rata GNI per kapitanya lebih dari US$ 40.000. Namun, mereka belum dianggap sebagai negara maju, karena kapasitas IPTEK nya rendah, dimana lebih dari 75 persen kebutuhan teknologinya berasal dari impor. Sementara itu, ada negara-negara dalam kelompok ini yang kualitas SDM (IPTEK) nya cukup unggul, seperti Iran dan Turki, tetapi belum menjadi bangsa yang maju dan makmur. Karena, seringkali dilanda konflik, perang, dan instabilitas politik lainnya.
Pelajaran yang bisa kita petik dari pemataan diatas adalah bahwa kualitas SDM lah yang menjadi kunci penentu kemajuan dan kemakmuran sebuah bangsa, bukan melimpahnya SDA. Pasalnya, dengan kualitas SDM yang mumpuni (menguasai IPTEK, kreatif, inovatif, beretos kerja tinggi, dan berakhlak mulia), mereka mampu membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan mengembangkan beragam industri yang menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang bernilai tambah dan berdaya saing tinggi secara berkelanjutan. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya, tetapi juga untuk ekspor. Yang pasti, kekayaan SDA mempermudah bagi sebuah bangsa untuk menjadi maju dan makmur, sebagaimana yang telah dinikmati oleh negara-negara kelompok pertama. Selain itu, stabilitas politik dan keamanan juga turut menentukan maju – mundur nya sebuah bangsa.
Posisi Indonesia
Ironisnya, sudah 73 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan- menengah bawah dengan GNI perkapita US$ 3.700, sehingg tergolong ke dalam kelompok-4. Betapa tidak, Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang lengkap dan sangat besar, baik berupa SDA terbarukan maupun SDA tidak terbarukan. Di sektor energi tidak terbarukan, kita punya minyak bumi, gas alam, dan batubara. Per 1 Januari 2016 cadangan minyak bumi sebesar 7.251 juta barel, cadangan gas alam mencapai 144 Tscf, dan cadangan batubara sekitar 140 milyar ton. Potensi cadangan minyak bumi Indonesia menempati peringkat-28, dan gas alam di peringkat-14 dunia. Saat ini Indonesia merupakan produsen gas alam terbesar ke-12 , dan pengekspor LNG terbesar ke-5 dunia. Pada periode 1973-1983, kontirbusi pendapatan migas terhadap APBN mencapai 60 persen, dan sekarang tinggal 6 persen. Sementara itu, Indonesia merupakan produsen batubara terbesar ke-5 di dunia, dan pengekspor terbesar ke-2 (367 juta ton) di dunia di bawah Australia yang mengekspor 389 juta ton. Dengan laju produksi seperti sekarang, cadangan batubara diperkirakan akan habis pada 2096.
Indonesia juga dianugerahi potensi energi terbarukan yang melimpah, termasuk panas bumi, matahari, tenaga air, angin, bioenergi, dan energi kelautan seperti pasang surut, gelombang, arus laut, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Total potensi energi panas bumi sekitar 28,1 GW (Giga Watt), terbesar di dunia. Demikian juga energi matahari yang diperkirakan mencapai 207,8 GW. Total potensi bioenergi yang berasal dari tumbuhan darat sekitar 32,6 GW, belum lagi yang dari algae dan tanaman laut.
Nusantara ini juga mengandung beragam mineral, seperti emas, tembaga, perak, seng, nikel, bauksit, timah, bijih besi, pasir besi, mangan, timbal, dan mineral tanah jarang (rare earths) termasuk monazite, xenotime, zircon, ilmenite, dan anode slime. Rare earths, yang harganya super mahal (puluhan juta rupiah per gram), merupakan bahan baku untuk pembuatan produk bertekonologi canggih dan berkekuatan tinggi, seperti computer chips dan super conductor. Potensi cadangan emas Indonesia sekitar 2,3?dangan emas dunia (peringkat-7), dan produksinya sebesar 6,7% produksi dunia (peringkat-6). Potensi timah sekitar 8,1?dangan dunia (peringkat-5), dan produksinya 26% produksi dunia (peringkat-2). Potensi tembaga sebesar 4,1?dangan dunia (peringkat-7), dan produksinya 10,4% produksi dunia (peringkat-2). Potensi nikel 2,9?dangan dunia (peringkat-8), dan produksinya 8,6% produksi dunia (peringkat-4). Potensi bauksit menempati peringkat-6 dunia, dan produksinya menduduki peringkat-4 dunia.
Indonesia memiliki kawasan hutan tropis 120,39 juta ha, terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Pada 2017, dari total luas kawasan hutan itu, tinggal 85,9 juta ha (71%) yang masih berupa hutan, selebihnya (34,5 juta ha) sudah menjadi kawasan perkebunan, pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan penggunaan lahan lainnya. Hutan alam menghasilkan 5,4 juta m3, dan hutan tanaman industri memproduksi 38,6 juta m3 kayu bulat (Kementerian LHK, 2017). Total nilai ekspor produk kayu hasil hutan mencapai 9 milyar dolar AS terdiri dari kayu dan produk kayu sebesar 3,3 dolar milyar AS, pulp dan kertas 3,9 milyar dolar AS, dan furniture 1,8 milyar dolar AS. Ekosistem hutan juga menghasilkan beragam produk non-kayu (non-timber products) seperti damar, minyak kayu putih, getah pinus, madu, gondorukem, rotan, dan bambu. Selain itu, hutan juga menyediakan berbagai jasa-jasa lingkungan (environmental services) termasuk penyerap CO2 untuk mencegah global warming, pengatur siklus hidrologi, pengendali banjir dan erosi, dan sumber plasma nutfah.
Sebagian besar daratan pun merupakan lahan yang subur dan cocok untuk pertanian dan peternakan. Sehingga, pada 2017 Indonesia mampu memproduksi 47,3 juta ton beras (terbesar ketiga di dunia), dan 29 juta ton jagung (peringkat-8). Belum lagi tanaman pangan lainnya, seperti kedelai, kacang hijau, kacang tanah, ubi jalar, ubi kayu, tales, sagu, dan sorgum. Dengan luas perkebunan sawit sekitar 14,5 juta ha, Indonesia memproduksi rata-rata 40 juta ton CPO per tahun (terbesar di dunia) diikuti oleh Malaysia sekitar 16 juta ton CPO/tahun. Patut dicatat, bahwa kedua negara ini menghasilkan lebih dari 85% total produksi CPO dunia. Indonesia juga sebagai produsen karet terbesar kedua di dunia, teh terbesar kedua, kopi terbesar ketiga, kakao terbesar ketiga, dan lada serta pala terbesar di dunia. Wilayah Nusantara ini juga menghasilkan baragam jenis komoditas hortikultura yang mencakup sayuran; buah-buahan; tanaman biofarmaka (seperti jahe, kunyit, kencur, lengkuas, dan temulawak); dan florikultura (tanaman hias) seperti anggrek, mawar, sedap malam, krisan, dan anthurium.
Kita pun memproduksi hewan ternak cukup signifikan meliputi sapi, kambing, domba, babi, ayam buras (kampung), ayam ras pedaging, ayam ras petelur, dan itik. Pada 2017, total produksi daging ayam mencapai 2,4 juta ton, daging sapi sebesar 486 ribu ton, babi 317 ribu ton, kambing 70 ribu ton, domba 55 ribu ton, dan itik 36 ribu ton. Total produksi telur ayam mencapai 2,1 juta butir, dan susu sebesar 928 ribu ton.
Wilayah perairan laut Indonesia memiliki total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) ikan sekitar 12,5 juta ton/tahun atau 12,5% total MSY ikan laut dunia. Sedangkan, wilayah perairan umum darat (sungai, danau, waduk, dan rawa air tawar) mengandung beragam jenis ikan dengan MSY sekitar 0,9 juta ton/tahun. Sementara itu, total potensi produksi perikanan budidaya Indonesia sekitar 100 juta ton/tahun, 60 juta ton/tahun berasal dari perairan laut, 25 juta ton/tahun dari perairan payau (tambak), dan 15 juta ton/tahun dari perairan umum darat, termasuk kolam air tawar. Oleh sebab itu, Indonesia memiliki potensi produksi perikanan nomor wahid di dunia.
Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodoversity) terbesar di dunia, Indonesia mestinya menjadi raja produsen industri bioteknologi dunia. Dari ratusan jenis senyawa bioaktif (bioactive compounds) yang terkandung dalam flora dan fauna yang hidup di ekosistem darat maupun perairan, kita bisa memproduksi berbagai macam produk farmasi, kosmetik, makanan dan minuman sehat (functional foods), dan produk bioindustri lainnya.
Lebih dari itu, secara geoekonomi Indonesia juga terletak di jantung rantai suplai global. Dimana sekitar 40% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi US$ 15 triliun/tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2012). Sayangnya, hingga kini kita belum menjadi bangsa produsen barang dan jasa berdaya saing tinggi. Sehingga, posisi strategis kita dalam rantai suplai global, bukan kita manfaatkan untuk menjual barang dan jasa ke mancanegara. Sebaliknya, kita membeli begitu banyak barang dan jasa dari bangsa-bangsa lain. Akibatnya, kini neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit.
Kutukan SDA
Maka, dengan kekayaan SDA yang melimpah, lalu sampai sekarang Indonesia belum menjadi negara maju dan makmur, pasti ada yang salah dengan etos kerja kita atau cara-cara kita membangun bangsa ini. Kekayaan alam dan kesuburan lahan bukannya kita syukuri dengan memanfaatkanya secara optimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa (berkah), tetapi justru menjadi semacam ’kutukan (curse)’.
Kutukan itu berupa kemalasan dan tumpulnya kreativitas serta daya inovasi mayoritas komponen bangsa. Hal ini tercermin pada rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia, yang hanya setara dengan 23.390 dolar AS/tahun. Jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand yang mencapai 141.227, 56.084, dan 27.101 dolar AS per tahun (WEF, 2018). Daya inovasi bangsa kita pun hanya berada di peringkat-88 dari 126 negara yang disurvei, dan di urutan-6 diantara negara-negara ASEAN. Swiss merupakan bangsa yang paling inovatif sejagat raya. Singapura bertengger pada peringkat-6, Malyasia ke-35, Thailand ke-52, Vietnam ke-59, dan Pilipina ke-74.
Kutukan lainnya melanda mentalitas kebanyakan pengusaha swasta maupun BUMN kita yang hanya mengejar keuntungan pribadi semaksimal mungkin, tanpa peduli dengan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat kecil. Mereka merasa nyaman mengekspor komoditas mentah (CPO, biji kakao, rumput laut, udang, tembaga, emas, nikel, bijih besi, dan lainnya), tanpa mengolahnya menjadi beragam produk bernilai tambah dan berdaya saing tinggi. Sejumlah komoditas yang total produksinya lebih besar dari kebutuhan nasional (seperti beras, jagung, garam, dan ikan) pun acap kali mereka impor, di kala para petani dan nelayan kita sedang panen raya.
Di era globalisasi dan perdagangan bebas, yang mestinya para pengusaha itu menggenjot produksi barang dan jasa yang lebih berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Alih-alih, mereka malah mengurangi kapasitas produksi, bahkan menutup pabriknya, dan beralih menjadi importir barang dan jasa bangsa-bangsa lain, lalu dijual di tanah air. Mereka pun seringkali menambang atau berkebun di kawasan lindung atau kawasan lain yang tidak sesuai dengan RTRW. Dalam menjalankan industri manufakturing, mereka membuang limbah B3, jenis limbah lain, dan emisi karbon yang melebihi kapasitas asimilasi ekosistem alam. Akibatnya, banyak wilayah yang tercemar berat. Sungguh ironis, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dimana Islam mengajarkan bahwa ’kebersihan itu sebagian dari iman’ (Hadits), kita menjadi bangsa pembuang sampah plastik terbesar kedua di dunia, setelah China. Sungai Citarum dinobatkan oleh UNEP (2017) menjadi sungai terkotor kedua di dunia, hanya kalah dari S. Gangga di India. Deforestasi secara masif (rata-rata 100.000 ha per tahun), penebangan pohon hutan dan cara bertani yang tidak sesuai dengan azas konservasi tanah, tergerusnya sempadan (green belt) di sepanjang kanan-kiri sungai dan ruang terbuka hijau telah mengakibatkan bencana kebakaran hutan, banjir, longsor, dan erosi yang merenggut jutaan nyawa, hancurnya infrastruktur dan bangunan, dan kerugian ekonomi mencapai triliunan rupaih.
Rendahnya jiwa nasionalisme para pengusaha diatas sangat boleh jadi lantaran ulah para pejabat negara, kepala daerah, dan elit politik yang membuat kebijakan, regulasi, dan iklim investasi yang tidak kondusif bagi para pengusaha (entrepreneur) untuk mengembangkan industri dan bisnis yang dapat memproduksi barang dan jasa bernilai tambah serta berdaya saing tinggi untuk mencukupi kebutuhan nasional dan ekspor secara berkelanjutan.
Hampir semua proyek strategis nasional maupun daerah, seperti Meikarta, PLTU Riau-1, E-KTP, dan sejumlah proyek PUPR harus melalui backing orang kuat dan ’sogokan’. Selain, prosesnya sangat lama, pekerjaan pembangunan menjadi berbiaya tinggi (high cost economy). Praktik kolusi dan koruptif semacam inilah yang mengakibatkan harga listrik, gas, dan jasa lainnya menjadi sangat mahal. Dan, ujungnya membuat daya saing produk, jasa, dan ekonomi Indonesia kurang kompetitif. Lebih dari itu, mengakibatkan defisit neraca perdagangan dan transkasi berjalan. Sejak era Reformasi dan desentralisasi, banyak kepala daerah yang mengeluarkan izin HPH, perkebunan, dan tambang lebih dari satu surat izin untuk satu bidang lahan yang sama. Kawasan lindung dengan mudahnya mereka alih fungsikan untuk kawasan industri, tambang, mall, dan peruntukan lahan lainnya, dengan imbalan milyaran bahkan trilyunan rupiah. Katannya, untuk menutupi biaya memengangkan pilkada atau pileg yang begitu sarat dengan politik uang.
SDA sebagai berkah
Oleh sebab itu, para pejabat negara, elit politik, pengusaha, dan kita rakyat mulai sekarang juga melakukan taubatan nasuha secara kolektif nasional. Enough is enough!. Mari kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945, bahwa ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Maknanya, migas, batubara, mineral, bahan tambang, hutan, air, dan SDA milik bersama (common-property resources) lainnya harus dimanfaatkan dan dikelola oleh pemerintah c.q. BUMN, BUMD, dan BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat). Sudah barang tentu, BUMN, BUMD dan BUMR nya harus dikelola secara profesional dan tidak menjadi ’ATM’ para pejabat dan elit politik. Kalaupun, eksplotasi dan pengelolaanya diserahkan kepada swasta, baik nasional maupun multinasional, negara (rakyat) harus mendapatkan porsi keuntugan lebih besar dan memegang penuh kedaulatan atas lahannya serta pemasaran. Sebaiknya, korporasi besar di bidang pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan SDA lainnya bermitra dengan masyarakat sekitar secara win-win dan saling menghormati, dalam ikatan inti-plasma.
Pada tataran praksis, semua kegiatan eksploitasi (produksi), pengolahan (manufakturing), distribusi, dan pemasaran SDA harus sesuai dengan RTRW. Semua batubara berkalori rendah harus dijadikan gas (coal-bed methan) dan digunakan untuk memasok kebutuhan energi PLTU, industri, dan rumah tangga dalam negeri. Dengan PLTU yang lebih ramah lingkungan, seperti teknologi super critical, batubara berkalori tinggi pun mesti bisa diprioritaskan untuk membangkitkan PLTU dalam negeri. Sehingga, dalam waktu tidak terlalu lama, sebagian besar produk minyak bumi bisa kita ekspor, dan gas bisa dihilirisasi untuk menghasilkan pupuk, polietelin, dan produk petrokimia lainnya. Mulai sekarang kita akselerasi pengembangan dan penggunaan energi terbarukan, supaya bauran energi nasional secara bertahap akan lebih besar porsi energi terbarukannya.
Penguatan dan pengembangan hilirisasi semua komoditas mentah menjadi berbagai produk hilir yang bernilai tambah dan berdaya saing tinggi. Contohnya, karagenan dari rumput laut Eucheuma spp merupakan bahan baku untuk menghasilkan ratusan jenis produk hilir. Demikian juga, CPO bisa diproses menjadi minyak goreng, mentega, cokelat makanan, farmasi, biofuel, dan beragam produk oleokimia lainnya.
Pastikan bahwa tingkat pemanenan pohon hutan, ikan di laut dan perairan umum darat, dan SDA terbarukan lainnya harus tidak melebihi potensi produksi lestarinya. Begitu selesai menebang pohon hutan secara selektif, segera lakukan penanaman kembali. Kita lakukan restocking dan stock enhancement wilayah-wilayah perairang yang overfishing dengan jenis-jenis ikan serta biota perairan lainnya, yang secara bio-ekologis cocok. Eksploitasi, produksi, dan distribusi SDA tidak terbarukan harus dilakukan secara ramah lingkungan. Dan, sebagian keuntungannya digunakan untuk mengembangkan material alternatif dan ekonomi wilayah yang lebih produktif, mensehajterakan masyarakat sekitar, dan berkelanjutan.
Semua unit usaha (bisnis) di sektor SDA harus: (1) memenuhi economy of scale; (2) menerapkan integrated supply chain management system, dari hulu hingga ke hilir; (3) menggunakan teknologi mutakhir (state of the art technology), khusunya teknologi era Industri 4.0; dan (4) ramah lingkungan dan sosial-budaya. Dengan begitu, maka usaha dan produk SDA yang Indonesia hasilkan akan lebih produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Di dalam melakukan pembukaan lahan, design, dan pembangunan kawasan pemukiman, kawasan industri, gedung dan bangunan lainnya, dan infrastruktur harus dikerjakan sesuai dengan karakteristik dan dinamika alam setempat, design and constrution with nature. Pencemaran lingkungan mesti kita stop, dengan cara menerapkan teknologi 3R (Reduce, Reuse, and Recycle), mengolah limbah sampai netral sebelum dibuang ke lingkungan. Kita kembangkan dan aplikasikan teknologi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, tsunami, gempa bumi, dan becana alam lainnya.
Akhirnya, kita harus tingkatkan kualitas SDM dan kapasitas inovasi IPTEK melalui penguatan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan R & D. Kebijakan politik-ekonomi harus mendukung bagi terwujudnya penglolaan SDA seperti diuraikan diatas. Semoga, presiden dan wakil presiden terpilih pada Pilpres 17 April tahun ini mampu mengubah SDA sebagai ’kutukan’ menjadi ’berkah’ untuk Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.
*Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan–IPB
Ketua Umum Gerakan Nelayan Tani Indonesia
Editor: Tokohkita