Jeanne Noveline Tedja
Keseteraan Gender dan Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Menurut survei Women's Health and Life Experiences pada 2016 silam, satu dari tiga perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Kebutuhan sudah sangat mendesak, namun produk hukum tidak kunjung dirampungkan.
Sejak tahun 1913, PBB menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD). IWD masih diperingati sampai saat ini, tak lain karena masalah kesetaraan gender di seluruh dunia belum tercapai dan masih terus diperjuangkan oleh kaum perempuan diseluruh balahan dunia termasuk di Indonesia.
Tema yang diusung pada IWD tahun ini adalah Balance for Better-yang mengacu pada gender equality (kesetaraan gender) di bidang-bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, ekonomi dan politik maupun pemerintahan.
PBB memiliki Indeks Kesenjangan Gender yang setiap tahun dirilis Badan Program Pembangunan PBB (UNDP). Indeks tersebut menggunakan tiga indikator, yakni kesehatan reproduktif yang diukur berdasarkan tingkat harapan hidup ibu dan angka kelahiran, pemberdayaan yang mengacu pada keterwakilan perempuan di parlemen dan politik, serta status ekonomi yang dihitung berdasarkan partisipasi perempuan pada pasar tenaga kerja.
Dalam Indeks Kesetaraan Gender yang dirilis Equal Measures, Indonesia mendapat hasil beragam di berbagai indikator yang dijadikan acuan. Indonesia misalnya dipuji lantaran mencatat tingkat melek aksara yang termasuk paling tinggi di Asia (Perempuan 93,59?n Laki-laki 97,17%). Selain itu kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang mencakup 3/4 populasi dan tercatat sebagai salah satu program kesehatan nasional terbesar di dunia, berhasil mengurangi angka kematian ibu.
Namun pengaruh konservatisme dalam berbagai produk perundang-undangan masih menafikan hak-hak sipil kaum perempuan. Selain itu produk legislasi yang melindungi perempuan dari pelecehan seksual dan kekerasan domestik masih lemah dan tidak ditegakkan. Hal ini tentunya tidak terlepas dari keterwakilan perempuan di parlemen yang masih belum balance atau setara dengan keterwakilan laki-laki.
Padahal sejak Pemilihan Legislatif 2009 Pemerintah telah menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Bahkan dengan besarnya angka populasi penduduk perempuan di Indonesia yang mencapai hampir 50%, seharusnya keterwakilan perempuan di parlemen juga ditingkatkan. Sayangnya, kuota 30% tidak pernah terpenuhi.
Pada periode 2014-2019, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR hanya sebanyak 97 orang atau 17,32?ri total anggota DPR. Maka tidak heran apabila produk perundang-undangan yang memihak pada kepentingan perempuan belum banyak dihasilkan oleh lembaga DPR.
Tentunya ini juga akan berpengaruh pada produk legislasi yang dihasilkan oleh DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten, karena produk legislasi yang dihasilkan oleh DPRD harus mengacu atau tidak bertentangan dengan produk perundang-undangan diatasnya.
Rendahnya keterwakilan perempuan di DPR bisa jadi merupakan salah satu penyebab RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum disahkan sampai saat ini. Padahal, kasus kekerasan seksual pada wanita tahun 2018 meningkat mencapai 348.446 kasus (Komnas Perempuan, 2018).
Menurut survei Women's Health and Life Experiences pada 2016 silam, satu dari tiga perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Kebutuhan sudah sangat mendesak, namun produk hukum tidak kunjung dirampungkan.
Keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Jawa Barat juga belum pernah mencapai kuota 30%. Untuk periode 2014-2019, jumlah perempuan di DPRD Provinsi Jawa Barat hanya 22 orang atau 22?ri total 100 anggota. Padahal Jawa Barat merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia (48 juta atau 18?ri total penduduk Indonesia).
Sedangkan jumlah penduduk perempuannya mencapai 48?ri total penduduk Jawa Barat. Masalah terkait isu perempuan yang marak di Jawa Barat antara lain masih tingginya angka pernikahan dini yang tidak sesuai standar kesehatan reproduksi, tingginya angka kekerasan seksual (termasuk kekerasan seksual terhadap anak) dan kekerasan dalam rumah tangga, kasus human trafficking dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu sangat penting bagi kita memilih perempuan untuk duduk di parlemen, mulai dari tingkat Kota, Provinsi dan pusat. Namun tentunya perempuan yang dipilih juga yang mempunyai visi yang jelas untuk membela kepentingan perempuan dan anak, juga berani dengan lantang menyuarakan aspirasi perempuan yang diwakilinya, serta tulus berpolitik untuk kepentingan masyarakat.
Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan dan anak. Semakin baik kesetaaraan gender di sebuah negara maka semakin baik kehidupan bangsa itu.
*Penulis adalah Penggiat Kota Layak Anak, Caleg DPRD Provinsi Jawa Barat
Editor: Tokohkita