Rokhmin Dahuri
Transformasi Struktur Ekonomi Menuju Indonesia Maju dan Sejahtera
Dengan bonus demografi dan kualitas SDM yang mumpuni, pada 2031-2045, rata-rata pertumbuhan ekonomi akan mencapai 9 persen/tahun, dan GNI perkapita sekitar USD 20.000 dengan PDB sebesar USD 7 triliun, terbesar keempat di dunia setelah China, AS, dan India. Dengan perkataan lain, Indonesia pada 2045 akan berhasil mewujudkan cita-cita luhur Kemerdekaannya, menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.
Cita-cita Kemerdekaan NKRI adalah mewujudkan Indonesia yang maju, adil-makmur (sejahtera), dan berdaulat. Sebuah negara dikatakan makmur (berpendapatan tinggi), bila pendapatan per kapita nya lebih besar dari USD 12.161.
Sedangkan, negara maju ialah yang kapasitas IPTEK nya sudah mencapai kelas-1, dimana lebih dari 75 persen kebutuhan teknologinya dihasilkan oleh bangsa sendiri. Yang jelas, negara maju itu pasti makmur. Contohnya, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Inggris, Perancis, Swiss, Swedia, Finlandia, Norwegia, Belanda, Australia, dan Singapura.
Namun, ada sejumlah negara yang super kaya dengan pendapatan per kapita diatas USD 50.000, seperti Kuwait, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Brunei Darussalam, tetapi tidak dikategorikan sebagai negara maju, karena kapasitas IPTEK nya baru mencapai kelas-3.
Dimana, lebih dari 75 kebutuhan teknologinya berasal dari impor. Sementara itu, suatu negara dinyatakan adil sosial-ekonominya, bila koefisien Gini nya lebih kecil dari 0,3. Fakta empiris membuktikan, bahwa semua negara yang maju, adil dan makmur (negara- negara OECD) itu semuanya berdaulat, baik secara ekonomi, politik maupun hankam.
Pasalnya, dengan kapasitas IPTEK mumpuni dan kekayaan ekonominya, bangsa-bangsa tersebut mampu membangun kekuatan hankam berkelas dunia, dan secara politik independen serta disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Sejak merdeka bangsa Indonesia mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Sebut saja, angka kemiskinan yang pada 1970 sebesar 60% total penduduk, tahun lalu hanya tinggal 9,66 persen. Pertama kali dalam sejarah NKRI, dimana angka kemiskinan dibawah 10 persen.
Baru pertama kali pula dalam sejarah NKRI, PDB Indonesia mencapai USD 1,1 triliun. Patut dicatat, bahwa dari 195 negara di dunia, hanya 16 negara yang PDB (besaran ekonomi) nya mencapai lebih dari 1 trilyun dolar AS. Namun, hingga tahun lalu pendapatan per kapita rakyat Indonesia baru mencapai USD 3.927, masih sebagai negara berpendapatan-menengah.
Negara miskin (berpendapatan rendah) adalah yang pendapatan per kapitanya dibawah USD 1.035 (Bank Dunia, 2018). Sementara itu, sampai sekarang kapasitas IPTEK bangsa Indonesia masih di kelas-3 (UNESCO, 2018).
Problem struktural ekonomi lainnya adalah kesenjangan kaya vs miskin yang sangat lebar, tercermin pada koefisien Gini 0,39 dan fakta bahwa 1 persen orang terkaya Indonesia memiliki total kekayaan setara dengan 49,3% total kekayaan NKRI.
Ini merupakan kesenjangan (inequality) ekonomi terburuk keempat di dunia, setelah Rusia, India, dan Thailand (Credit Suisse, 2016). Disparitas pembangunan antar wilayah juga luar biasa timpang. Betapa tidak, P. Jawa yang luas lahannya hanya sekitar 5% total wilayah lahan NKRI menyumbangkan hampir 58,6% PDB dan dihuni oleh sekitar 60% penduduk Indonesia.
P. Sumater dengan luas lahan 10% total wilayah NKRI berkontribusi sekitar 23% PDB. Sementara, Bali, Kalimantan, NTB, NTT, Sulawesi, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat dengan luas lahan sekitar 85% total wilayah NKRI hanya menyumbangkan sekitar 18,4 persen terhadap PDB.
Jika tidak segera dibenahi, maka biaya logistik bakal tetap mahal dan ekonomi Indonesia menjadi kurang efisien dan berdaya saing. Lebih dari itu, terkonsentrasinya penduduk di P. Jawa, telah mengakibatkan pulau ini kelebihan beban ekologis.
Saat musin penghujan dilanda banjir, erosi, dan tanah longsor yang kian masif. Di musim kemarau, menderita kekeringan dan kekurangan air. Sementara itu, SDA dan potensi pembangunan lainnya di luar Jawa tidak termanfaatkan secara optimal, alias mubazir.
Ketergantungan kita pada ekspor komoditas (seperti CPO, kakao, rumput laut, batubara, dan mineral) sejak lima belas tahun terakhir pun membuat kinerja ekonomi RI sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global. Yang lebih mencemaskan, sejak awal reformasi Indonesia telah mengalami deindustrialisasi.
Suatu kondisi, dimana pendapatan per kapita belum mencapai status negara berpendapatan tinggi (diatas USD 12.166), tapi kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB sudah menurun. Sebelum Reformasi (tahun 1996), kontribusi sektor manufaktur mencapai 29 persen, tahun 2014 menurun menjadi 24 persen, dan tahun lalu malah hanya sekitar 20 persen.
Di tengah lesunya perekonomian global dan dinamika geopolitik yang tidak menentu, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5 persen dalam lima tahun terakhir sebenarnya sebuah prestasi tersendiri.
Sayangnya, sumber pertumbuhannya sebagian besar berasal dari konsumsi rumah tangga (56 persen), sektor finansial, dan sektor non-tradable yang rata-rata hanya mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak 200.000 orang per satu persen pertumbuhan.
Dan, kebanyakan aktivitasnya berlangsung di Jabodetabek dan wilayah-wilayah perkotaan lainnya. Selain itu, sektor-sektor riil tradable yang memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB dan menyerap banyak tenaga kerja (industri manufaktur, pertambangan, dan pertanian) masing-masing hanya tumbuh 4,27 persen, 4 persen, dan 3,91 persen.
Deindustrialisasi, dan iklim investasi serta kemudahan berbisnis yang kalah atraktif dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, apalagi Singapura telah mengakibatkan kontirbusi total sektor investasi dan ekspor lebih kecil ketimbang kontribusi total sektor konsumsi dan impor dalam pembentukan PDB Indonesia.
Sehingga, tahun lalu neraca perdagangan menjadi minus dan neraca transaksi berjalan (CAD) mengalami defisit yang terbesar dalam dua dekade terakhir.
Transformasi struktur ekonomi
Supaya bisa keluar dari middle-income trap (jebakan negara berpendapatan menengah) menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat; maka ke depan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia harus diatas 7 persen per tahun. Selain itu, sifat pertumbuhannya harus berkualitas dan inklusif.
Artinya, banyak menyerap tenaga kerja, tersebar secara proporsional ke seluruh wilayah Nusantara (jangan terkonsentrasi di P. Jawa), dan mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan. Juga, mesti ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable).
Untuk itu, dalam jangka pendek-menengah (2020-2025), kita mesti merevitalisasi seluruh sektor ekonomi dan unit usaha (bisnis) yang ada saat ini agar lebih produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan. Contohnya, industri TPT, elektronik, otomotif, makanan dan minuman, agroindustri (CPO, kakao, kopi, teh, rempah, nenas, dan pisang), farmasi, industri petrokimia, kelautan dan perikanan, pariwisata, ekonomi kreatif, galangan kapal, dan industri maritim lainnya.
Caranya, pertama adalah bahwa semua unit bisnis harus memenuhi skala ekonominya. Kedua, semua unit bisnis menerapkan sistem manajemen rantai pasok terpadu, dari hulu- processing and packaging sampai marketing. Ketiga, menggunakan teknologi mutakhir yang tepat pada setiap mata rantai pasok.
Khususnya, teknologi-teknologi di era Industri 4.0 termasuk AI (Artificial Inteliggent), IoT (Internet of Things), big data, cloud computing, block chain, robotic, bioteknologi, dan nanoteknologi.
Keempat, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, seperti RTRW, optimal and sustainable production, pengendalian pencemaran (zero-wate processes, Reduce, Reuse, dan Recycle), rendah karbon, dan konservasi keanekaragaman hayati.
Kini saatnya kita mengakselerasi pengembangan industri pengolahan dan pengemasan SDA yang meliputi gas (LNG), batubara kalori rendah, mineral, komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultur, peternakan, perikanan, kehutanan, dan senaya bioaktif (bioactive compounds) menjadi berbagai jenis produk hilir (final products) yang menghasilkan nilai tambah dan daya saing lebih tinggi.
Pengembangan industri manufakturing (hilirisasi) SDA dipastikan akan membangkitkan beragam jenis aktivitas ekonomi dan bisnis (multiplier effects), mulai dari kegiatan eksplorasi SDA, transportasi dan distribusi, pemasaran, hotel dan kuliner, pariwisata, sampai jasa keuangan dan konsultan. Lapangan kerja juga akan bertambah luas dan besar. Lebih dari itu, produk hilir SDA itu lebih tahan terhadap gejolak pasar global (ekspor) ketimbang kita menjual komoditas mentah SDA.
Program tol laut yang kini sudah beroprasi sebanyak 18 trayek, pembangunan pelabuhan serta bandara baru di luar Jawa harus segera dibarengi dengan akselerasi pembangunan industri dan ekonomi wilayah berbasis keunggulan daerah dan inovasi teknologi 4.0.
Delapan belas kawasan industri baru di luar Jawa yang sudah mulai beroperasi sejak lima tahun terakhir (Lhokseumawe, Ladong, Medan, Sei Mangke, Tanjung Api-api, Tanjung Jabung, Tanggamus, Landak, Batulicin, Maloy, Tanah Kuning, Gandus, Jorong, Buli, Bitung, Tanjung Buton, Morotai, dan Teluk Bintuni) harus ditingkatkan kinerjanya supaya lebih produktif, efisien, kompetitif, dan berkelanjutan.
Dalam jangka panjang (2020-2045), mulai sekarang kita harus melakukan transformasi struktur ekonomi nasional. Yakni, suatu proses pembangunan ekonomi atau realokasi sejumlah aset ekonomi produktif (seperti APBN/APBD, kredit perbankan, teknologi, SDM, infrastruktur, dan informasi) yang dapat mentransformasi ekonomi suatu negara dari berbasis sektor primer (pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, dan pertambangan) tradisional ke basis ekonomi sektor primer yang modern, industri manufaktur (sektor sekunder) modern, dan sektor tersier (jasa) modern secara proporsional. Yang dimaksud modern di sini adalah penggunaan inovasi teknologi mutakhir (khususnya teknologi era industri 4.0) dan manajemen profesional dalam pembangunan seluruh sektor ekonomi dan unit bisnis.
Sehingga, semua sektor ekonomi dan unit bisnis dapat menghasilkan produk dan jasa (goods and services) yang kompetitif (kualitasnya unggul, harganya relatif murah, dan ramah lingkungan) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun pasar global (ekspor) secara berkelanjutan.
Transformasi struktur ekonomi juga merupakan upaya dalam rangka meningkatkan kapasitas bangsa untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional, mengembangkan sektor-sektor ekonomi (sumber pertumbuhan) baru, memperbaiki keterkaitan ekonomi (economic linkages) baik antar sektor maupun antar wilayah, dan mengembangkan kapasitas inovasi (IPTEKS) secara berkelanjutan.
Baik program pembangunan jangka pendek, menengah maupun panjang hanya akan berhasil, bila didukung oleh SDM (human capital) yang unggul dengan kuantitas mencukupi, kapasitas inovasi IPTEKS, infrastruktur berkualitas yang memadai, kredit permodalan mencukupi, dan iklim investasi serta kemudahan berbisnis yang kondusif serta atraktif.
Selain itu, kebijakan politik ekonomi (fiskal, moneter, tata ruang, pengelolaan lingkungan, dan ketengakerjaan) mesti kondusif, meniadakan ekonomi biaya tinggi, memberantas mafia, dan menghadirkan masyarakat meritokrasi.
Apabila kebijakan dan program pembangunan jangka pendek, dan transformasi struktur ekonomi diatas dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan, insha Allah pada 2020 -- 2024 pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal mencapai rata-rata 7 persen/tahun, dan pada 2024 GNI perkapita akan mencapai USD 6.000 dan PDB sekitar USD 2,5 triliun.
Pada 2025-2030, rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen/tahun, dan pada 2030 GNI perkapita bakal mencapai USD 10.000 dan PDB sekitar USD 3,5 triliun.
Dengan bonus demografi dan kualitas SDM yang mumpuni, pada 2031-2045, rata-rata pertumbuhan ekonomi akan mencapai 9 persen/tahun, dan GNI perkapita sekitar USD 20.000 dengan PDB sebesar USD 7 triliun, terbesar keempat di dunia setelah China, AS, dan India. Dengan perkataan lain, Indonesia pada 2045 akan berhasil mewujudkan cita-cita luhur Kemerdekaannya, menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.
*Guru Besar Manajemen Pembangunan Sumber Daya Pesisir dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB)
Editor: Tokohkita