Susan Herawati, Sekjen Kiara
Tiga Warga Pulau Sangian Dibui Bukti Lemahnya Perlindungan Terhadap Masyarakat Pesisir
Hak atas tanah yang dimiliki masyarakat belum kembali kepada pemiliknya dan rakyat selalu diadu domba dengan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada perusahaan.
TOKOHKITA. Hakim Ketua Pengadilan Negeri Serang, Banten, menjatuhkan empat bulan pidana kurungan dan delapan bulan masa pencobaan terhadap tiga warga Pulau Sangiang.
Putusan akhir hakim yang dibacakan Selasa (23/4/219) diambil dari dakwaan alternatif berdasarkan pasal 167 ayat 1 dan pasal 385 ke-4 KUHP, karena diniai menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggadaikan atau menyewakan tanah sebagaimana diantaranya diancam pidana penjara paling lama empat tahun.
Tim koalisi dan kuasa hukum terdakwa mengaku kecewa dengan keputusan pengadilan tersebut, karena warga tidak pernah menjual tanah yang ditempati dan yang digarap oleh warga kepada perusahaan, yakni PT Pondok Kalimaya Putih dan bukti-bukti otentik juga tidak pernah dihadirkan didalam proses persidangan, melainkan hanya hasil foto.
Selama proses pengadilan, beberapa fakta yang didapat adalah warga Pulau Sangiang sudah hidup puluhan tahun, bahkan sudah beberapa generasi tinggal di pulau tersebut. Warga dapat menggantungkan hidup selama puluhan tahun dengan memanfaatkan seluruh ekosistem yang ada di Pulau Sangiang, baik bertani, bernelayan dan menjadi pegiat wisata berbasis masyarakat. Fakta lainnya adalah PT Pondok Kalimaya Putih secara sah saat ini masih menunggak pajak sebesar Rp 6 milliar selama enam tahun kepada pemerintah daerah.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati menyatakan, putusan ini bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat pesisir dan UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. "Dalam regulasi tersebut dengan tegas menyatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak untuk mengelola dan mendapatkan manfaat dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," katanya.
Menurut Susan, dalam putusan Makhamah Konstitusi Nomor 3/PPU-VIII/2010 juga telah memandatkan bahwa negara harus menjamin terpenuhinya empat hak konstitusional nelayan Indonesia, salah satunya adalah hak untuk mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil.
Koordinator LBH-Rakyat Banten, Aeng, menyatakan terjadinya kriminalisasi yang telah dialami oleh ketiga warga Pulau Sangiang menjadi bukti dimana pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak adil dan tidak bisa menyejahterakan rakyatnya karena konflik lahan yang terjadi didalam masyarakat.
Pemerintah juga tidak bisa membagi porsi dimana hak atas tanah yang dimiliki masyarakat dan hak atas tanah milik perusahaan. Mirisnya, masyarakat selalu dijadikan sebagai kambing hitam atas permasalahan yang terjadi pada saat ini.
Hak atas tanah yang dimiliki masyarakat belum kembali kepada pemiliknya dan rakyat selalu diadu domba dengan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada perusahaan. "Pemerintah sebagai penguasa atas negeri ini tidak pernah melihat, merasakan, dan mendengar keluhan yang dirasakan dan disuarakan oleh warga negara," tukasnya.
Atas putusan Pengadilan Negeri Serang tersebut, Aeng menilai, semakin maraknya kriminalisasi terhadap masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebab itu Kiara dan LBH-Rakyat Banten mendesak pemerintah untuk memastikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat pesisir dengan implemetasi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, melalui penyusunan panduan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditujukan kepada seluruh aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum.
Editor: Tokohkita