KPK Harus Tangkap Mafia Pengadaan Kapal Nelayan
Pusat Data dan Informasi KIARA (2017) mencatat, pada tahun 2016 KKP telah mengalokasikan dana mencapai Rp 4 triliun untuk pengadaan kapal berbagai ukuran. Untuk pembuatan 1.365 kapal ukuran 3 GT (gross tonage) disediakan anggaran Rp 291,19 miliar. Pembuatan 1.020 kapal dengan ukuran 5 GT sebesar Rp 435,19 miliar. Anggaran yang sama dialokasikan untuk membuat 720 kapal 10 GT.
TOKOHKITA. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas dan menangkap mafia pengadaan kapal yang selama ini merugikan nelayan di Indonesia.
Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, saat merespon penggeledahan yang dilakukan KPK terhadap kantor Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Perusahaan swasta PT Daya Radar Utama di Tanjung Priok, Jakarta Utara, satu hari yang lalu.
Menurut Susan, target proyek pengadaan kapal yang menjadi program KKP telah menjadi persoalan serius sejak proyek Pengadaan kapal Inka Mina sepanjang tahun 2010-2014, dimana KKP memberikan bantuan kapal sebanyak 1.000 kapal kepada nelayan dengan total dana Rp 1,5 triliun. “Dalam pelaksanaannya, proyek ini penuh masalah, mulai dari salah peruntukan, spesifikasi kapal tidak memadai, hingga kesulitan operasional,” tuturnya di Jakarta, Sabtu (18/5/2019).
Setelah kasus Inka Mina, pada 2016, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia memberikan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau Disclaimer atas laporan keuangan tahun buku 2016 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Di antara yang menjadi pertimbangan BPK adalah realisasi belanja barang per 31 Desember 2016 yang menjadi batas akhir tahun buku. Dalam laporan tersebut, realisasi belanja barang dilaporkan sebesar Rp4,49 triliun.
Menurut BPK, dalam realisasi belanja barang tersebut, sebesar Rp209,22 miliar dihabiskan untuk membayar proyek pembangunan kapal perikanan yang akan diberikan kepada nelayan. Akan tetapi, pembayaran untuk pembangunan kapal tersebut yang sudah dilakukan secara tuntas, pada pengerjaan fisiknya justru belum tuntas terlaksana.
Dari berita acara serah terima yang dilakukan pada 31 Desember 2016, BPK mencatat, dari 756 kapal yang akan dibangun, baru 48 kapal yang berhasil diserahterimakan dari galangan kepada koperasi yang menjadi kelompok nelayan penerima bantuan kapal.
Pusat Data dan Informasi Kiara (2017) mencatat, pada tahun 2016 KKP telah mengalokasikan dana mencapai Rp 4 triliun untuk pengadaan kapal berbagai ukuran. Untuk pembuatan 1.365 kapal ukuran 3 GT (gross tonage) disediakan anggaran Rp 291,19 miliar. Pembuatan 1.020 kapal dengan ukuran 5 GT sebesar Rp 435,19 miliar. Anggaran yang sama dialokasikan untuk membuat 720 kapal 10 GT.
Sekjen PPNI, Masnuah menambahkan jika nelayan tradisional sulit mengakses kapal bantuan karena diduga sudah ada penerima ‘siluman’ atau tidak jelas siapa penerima bantuan kapal. “KPK seharusnya turun dan menangkap para makelar kapal, karena banyak sekali penerima siluman yang tidak berhak mendapatkan bantuan tapi malah mendapatkan bantuan kapal. Tapi ini semua jadi hal yang tahu sama tahu. KKP pun tidak punya mekanisme monitoring, jadinya ya banyak orang mencuri,” ujarnya.
Kiara melihat permasalahan serius dari pengadaan kapal karena sedari ada awal nelayan tidak dilibatkan dalam mekanisme pengadaan kapal. Nelayan menjadi subjek passif dan cenderung tidak memiliki posisi tawar dalam hal pengadaan kapal. “Penilaian disclaimer BPK terhadap buku keuangan KKP pada tahun 2016 yang lalu menjadi indikator kuat adanya persoalan serius dalam proyek pengadaan kapal yang harus segera diusut tuntas oleh KPK,” ujaranya.
Susan mengatakan, persoalan pengadaan kapal nelayan di KKP sejak 2010 sampai saat ini tak tersentuh hukum. Berdasarkan hal tersebut, KIARA mendesak KPK untuk membongkar mafia pengadaan kapal dan menangkap mereka karena merugikan negara sekaligus merugikan nelayan di seluruh Indonesia. “KKP itu ibarat rumah nelayan baik laki-laki dan perempuan, jika rumahnya saja sudah,” tukas Susan.
Editor: Tokohkita