Koesmarihati
Srikandi Dunia Telekomunikasi
Kala itu, Telkomsel satu-satunya perusahaan yang memisahkan bisnis layanan telekomunikasi dengan penjualan perangkat sebelum liberalisasi telekomunikasi dilakukan besar-besaran oleh pemerintah pada awal 2000.
TOKOHKITA. Telepon selular (ponsel) kini jadi barang “wajib” bagi hampir semua orang. Maraknya penggunaan ponsel ini bermula dari inisiatif Telkomsel untuk meliberalisasi perangkat sejak berdiri pada 1995. Harga ponsel yang semula selangit, turun jadi terjangkau. Kala itu, Telkomsel satu-satunya perusahaan yang memisahkan bisnis layanan telekomunikasi dengan penjualan perangkat sebelum liberalisasi telekomunikasi dilakukan besar-besaran oleh pemerintah pada awal 2000.
Di balik turunnaya harga ponsel itu, ada seorang perempuan yang duduk di tataran elite. Dialah Koesmarihati, direktur utama (dirut) Telkomsel pertama. Marie, begitu ia disapa, menjabat posisi dirut pada 1995 hingga pensiun pada 1998 ketika usianya 58 tahun.
Lahir di Bogor, 9 Oktober 1942, Koesmarihati merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Koesnowarso, bekerja sebagai inspektur kehutanan Provinsi Jawa Barat. Sebagian masa kecil Marie dihabiskan di Bandung, di rumah dinas ayahnya. Begitu ayahnya meninggal pada 1951, Marie sekeluarga pindah ke Madiun.
Di Madiun, mereka tinggal di rumah nenek. Lantaran uang pensiun ayahnya tidak kunjung cair selama beberapa tahun, ibunya, Koesmarlinah, jungkir-balik membiayai tujuh anaknya. Koesmarlinah bekerja sebagai penjilid buku di percetakan milik saudaranya. Tiap pulang sekolah, Marie dan saudara-saudaranya membantu ibu menyortir halaman-halaman yang akan dijilid dan mengoleskan lem.
Melihat ibu dan neneknya bahwa perempuan mampu dan aktif pantang menyerah untuk terus bergerak, Marie mencontoh. Langkah pertamanya, Marie berhasil menyelesaikan SMA sebagai lulusan terbaik kedua se-Kota Madiun pada 1961. Prestasi itu membawanya mendapat beasiswa Colombo Plan, yang mengambil siswa terbaik di tiap kota. Dari Madiun, Marie terpilih bersama rekannya yang rangking 1, Sungkowo.
Selain Marie, ada satu siswi lain yang terpilih dalam beasiswa itu, yakni Trismiati asal Kediri. Gadis keturunan Tionghoa itu kemudian jadi sahabat Marie setelah tinggal di tempat yang sama, saat sama-sama kuliah di jurusan Teknik Elektro, Universitas Tasmania, Australia.
“Tapi Tris tidak bekerja di Indonesia. Mungkin karena ada sentimen Tionghoa, maka agak lebih sulit dapat pekerjaan,” kata Koesmarihati seperti dikutip dari Historia.
Di Australia, Marie juga seangkatan dengan Jonathan L Parapak, direktur utama Indosat periode 1976-1980. Marie, Tris, dan Jonathan lulus tahun 1966. Marie kemudian bekerja sebagai teknisi Kelas 1 di Hydro Electric Commission. Setelah itu, dia bergonta-ganti pekerjaan baik di Indonesia maupun Australia, mulai dari Laboratorium PLN, Telcom Australia, sampai Nederlandse Kabel Fabriek (NKF).
Pada 1975, NKF bekerjasama dengan Kabelindo untuk merencanakan pembangunan kabel jaringan Telkom di Jabodetabek. Marie terlibat dalam proyek ini mewakili NKF. Pada 1976, Marie bergabung dengan Telkom Indonesia. Di hari pertamanya bertugas di Telkom, Marie langsung diminta memimpin rapat. Orang-orang NKF yang sebelumnya bekerja dengannya keheranan. “NKF ada di situ, bengong semua ujug-ujug aku yang mimpin rapat,” katanya.
Usai rapat, salah satu rekan Marie di NKF menanyakan alasannya pindah ke Telkom. Rekannya itu juga meledek keputusan Marie yang bakal membuatnya kurus lantaran tak bisa lagi makan enak. “Katanya, nanti kalau aku nggak bisa makan steak lagi, mau ditraktir di Hotel Indonesia,” sambungnya.
Karier Marie di Telkom dirintis dari posisi staf dalam proyek Telekomunikasi Nusantara untuk menyambung kabel jaringan se-Jabodetabek. Pada 1978, Marie naik jadi kepala teknik jaringan hingga proyek itu kelar tahun 1980.
Ketika itu, Telkom masih menggunakan kabel tembaga. Ketika teknologi fiber optic mulai digunakan untuk sambungan telepon pada 1977 di Amerika, Marie mulai memikirkan agar Telkom ikut menggunakan teknologi mutakhir itu. Ide Marie diterima, dia pun ditunjuk menjadi kepala Pilot Project pembangunan fiber optic sepanjang Jatinegara-Gambir pada 1980. Proyek inilah yang mempelopori penggunaan kabel fiber optic dalam sistem telekomunikasi di Indonesia dan memberi Marie anugerah Satya Lancana Pembangunan pada 1996.
Koesmatihati bersalaman dengan Menparpostel Soesilo Sudarman
Ketika teknologi telepon seluler makin dikembangkan, pada 1993 Marie ditunjuk menjadi Direktur Pembangunan Telkom. Divisinya bertugas merancang masa depan telepon seluler dan membangun teknologi GSM. Sementara, pilot project pembangunan BTS dikepalai Garuda Sugardo. “Kami ditantang, sebelum ayam berkokok 1 Januari 1994 GSM harus sudah mengudara,” kata Marie.
Kerja keras semua akhirnya tak sia-sia, proyek percontohan itu berhasil. Pada sore 31 Desember 1993, Marie menjajal komunikasi GSM pertama itu.
Keberhasilan itu dilanjutkan Telkom, dengan membangun sarana lanjutan untuk calon anak perusahaan telekomunikasi selulernya, Telkomsel. Proyek kelar menjelang akhir 1994. Menristek Habibie meresmikannya dengan menjajal teknologi baru itu untuk menghubungi beberapa duta besar Indonesia di luar negeri.
Kesuksesan proyek ini mengantarkan Marie jadi Direktur Utama Telkomsel pada 1995 sekaligus jadi perempuan pertama yang duduk sebagai pemimpin di dunia telekomunikasi. Sementara, Garuda Sugardo duduk di jajaran direksi.
Dalam 1,5 tahun, Telkomsel berhasil mambangun BTS di seluruh ibukota provinsi. Bukan hanya itu, lewat strategi yang hanya menjual layanan jaringan –sedangkan penjualan ponsel diserahkan ke pasar atau distributor– Telkomsel berhasil membuat harga ponsel turun dari 15 juta-an rupiah jadi empat juta-an. Model pemasaran itu berbeda dari NMT, AMPS, dan Satelindo yang menjual perangkat dan nomor sekaligus dengan harga selangit.
Gebrakan Telkomsel membuat para pesaingnya kelimpungan. Pernah dalam sebuah rapat, Telkomsel diminta untuk mengeluarkan daftar resmi merek perangkat GSM yang bisa dipilih masyarakat. Telkom menolak dan tetap tegas untuk tidak ikut campur dalam penjualan ponsel. “Kertasnya disobek-sobek sama Pak Garuda,” kata Marie.
Usai pensiun dari Telkomsel, Marie tetap aktif di dunia telekomunikasi sebagai konsultan, pengawas, dan terkahir sebagai penasihat Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo.
Atas ketelatenannya di dunia telekomunikasi, Marie mendapat gelar kehormatan honoris causa dari Universitas Tasmania pada 2017. “Tidak ada masalah perempuan memimpin. Saya pun tak pernah merasa dunia teknik atau telekomunikasi itu maskulin kalau kesempatan yang diberikasan sama. Perempuan sangat bisa terjun,” kata Marie.
Editor: Tokohkita