Susan Herawati, Sekjen Kiara
Hentikan Seluruh Tambang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
- Beranda /
- Kabar /
- LINGKUNGAN /
- Jumat, 31 Mei 2019 - 04:35 WIB
Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat, sampai dengan tahun 2018 telah terdapat lebih dari 1890 izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. IUP tersebut dialokasikan untuk berbagai jenis tambang mineral mulai dari nikel, timah, batu bara, tambang pasir, dan juga pasir besi.
TOKOHKITA. Dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang (Hatam) 2019, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan seluruh proyek tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil karena terbukti menghancurkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sekaligus menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir yang sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan.
Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat, sampai dengan tahun 2018 telah terdapat lebih dari 1890 izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. IUP tersebut dialokasikan untuk berbagai jenis tambang mineral mulai dari nikel, timah, batu bara, tambang pasir, dan juga pasir besi. “Tak satu pun dari seluruh proyek tersebut memberikan dampak positif untuk kehidupan masyarakat pesisir, khususnya untuk nelayan,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (30/5/2019)
Berdasarkan hal tersebut, Susan mendesak pemerintah untuk menghentikan berbagai proyek tambang. “Kiara bersama seluruh masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya nelayan tradisional, meminta pemerintah untuk menghentikan lebih dari 1890 IUP di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegasnya.
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan, ekspansi proyek tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil berbanding lurus dengan ekspansi krisis ekologis yang dialami oleh masyarakat pesisir di lebih dari 12 ribu desa pesisir dalam bentuk banjir dan longsor. Berdasarkan hal tersebut, Statistik Sumberdaya Pesisir dan Laut 2018 mencatat, di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil telah terjadi bencana longsor sebanyak 737 kali dan banjir sebanyak 2.958 kali.
“Jika pemerintah tidak berhenti dan terus memberikan izin tambang kepada korporasi untuk menambang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan akan terus terdampak proyek destruktif ini,” ujar Susan.
Di sisi lain, Kiara melihat ancaman ekspansi dan eksploitasi tambang di pesisir malah dilegalkan melalui Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Salah satunya di RZWP3K Lampung, Off Shore Mining (Pertambangan di Tengah Laut) yang dapat mengganggu jalur migrasi ikan. Kiara menilai RZWP3K menjadi peluang perampasan ruang hidup masyarakat bahari.
Selain mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh proyek tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, Kiara bersama dengan nelayan menggelar aksi di sejumlah aksi di pelbagai daerah. Di Jepara, Jawa Tengah, Kiara bersama dengan Forum Nelayan Jepara dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menggelar aksi memasang papan menolak tambang di lokasi pertambangan pasir besi. Di Palu, Sulawesi Tengah, Kiara bareng Serikat Nelayan Teluk Palu, melakukan aksi untuk menutup PLTU Panau.
Ini adalah ekspresi perlawanan nelayan yang telah terdampak buruh oleh proyek tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. “Kenapa nelayan melawan Tambang? Jawabannya, karena proyek ini hanya menguntungkan sekelompok orang, melahirkan banyak krisis bagi masyarakat, serta tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain menutup semua proyek tambang yang ada,” pungkas Susan.
Editor: Tokohkita