Akibat Surplus Jenderal
Di awal revolusi, Angkatan Perang Republik Indonesia berisi lebih dari 60 jenderal yang tak memiliki kejelasan kerja secara profesional.
TOKHKITA. Masin ingat Nagabonar? Tukang copet asal Medan di era revolusi yang mengangkat dirinya menjadi jenderal. Rupanya kisah konyol itu bukan rekaan penulis Asrul Sani semata, namun memang fenomena yang kerap terjadi dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949).
Menurut Salim Said, begitu banalnya organisasi kemiliteran zaman tersebut, hingga siapa pun yang merasa kuat dan memiliki anak buah merasa berhak mengangkat dirinya menjadi jenderal.
“Dalam revolusi kita, ada cerita seorang jagoan yang berhasil merampas jip tentara Belanda langsung mengangkat dirinya sendiri menjadi jenderal,” ujar sejarawan militer Indonesia itu seperti dikutip Historia.
Memang tak ada yang tak mungkin dalam suasana revolusi. Ketika menjadi kaum pemanggul senjata dianggap sebagai puncak dari pengabdian terhadap nusa dan bangsa, maka para pentolan grup-grup pemuda berlomba untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai “yang terhebat”, termasuk dalam soal kepangkatan.
“Sesudah proklamasi, negara yang tak bermatapencaharian (kecuali dengan terus mencetak uang), memelihara lebih dari setengah juta tentara dan lasykar serta 60 jenderal,”ungkap A.H. Nasution dalam TNI: Tentara Nasional Indonesia Jilid 1.
Di Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara di Yogyakarta saja ditempatkan sekitar selusin jenderal ditambah setengah lusin jenderal politik dari Pepolit (Pendidikan Politik Tentara, bentukan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin) seperti Jenderal Mayor Sukono Dojopratiknjo, Jenderal Mayor Wiyono, Jenderal Mayor Anwar Tjokroaminito serta jenderal-jenderal Angkatan Laut dan Angkatan Udara seperti Laksamana Nazir, Laksamana Atmadji, Laksamana Pardi, Komodor Suryadarma dan Komodor Zulkarnaen.
Surplusnya militer Indonesia kala itu dengan para jenderal menyebabkan banyaknya dari petinggi-petinggi tentara itu yang tak memiliki pekerjaan secara professional. Karena itu sebagai upaya untuk menjadikan mereka “sibuk” maka sebagain besar para jenderal tersebut dikaryakan ke dalam “tugas-tugas istimewa” seperti mengurus beras, mengurus kina, menangani opium, mengurus tawanan perang, mengurus kereta api dan mengurus istana negara.
Di tingkat bawah, surplus jenderal itu juga menumbuhkan kebingungan dan justru rasa tidak hormat. Terjadi gap antara atasan dan bawahan. Para komandan dari kesatuan-kesatuan kecil yang langsung berhadapan dengan musuh di garis depan menjadi kecewa dan kesal dengan situasi tersebut. Terlebih para jenderal itu bisa dengan seenaknya mengangkat pangkat seseorang yang dia sukai.
A.H, Nasution membuat suatu contoh kasus ketika seorang sersan mayor menyumbangkan beberapa ban mobil (yang sangat sukar didapat kala itu) kepada seorang jenderal. Karena merasa suka, sang jenderal lalu menaikan pangkat si sersan mayor menjadi mayor. Suatu loncatan kenaikan pangkat yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi di zaman sekarang.
“Orang-orang yang kemarin sore dikenal sebagai anggota tentara yang memiliki tugas “kurang berarti”, sekonyong-konyong muncul di Yogyakarta selaku letnan kolonel atau kolonel,” ujar Nasution.
Dengan kondisi seperti itu adalah wajar kalau para prajurit di bawah tidak lagi memiliki rasa hormat dan kepercayaan kepada “para pemilik bintang gemeralapan” itu. Jika berpapasan di jalan, alih-alih memberikan salut secara militer, para prajurit lebih memilih untuk pura-pura tidak melihat atau melengos begitu saja.
“Karena kami tahu mereka tidak berjuang seperti kami yang mempertaruhkan nyawa di front pertempuran,” ujar Soedarja (95), salah seorang eks prajurit dari seksi intelijejen Divisi Siliwangi.
Kebiasaan “berlomba-lomba tampil sebagai jenderal” di dinas ketentaraan resmi, ternyata diikuti pula oleh rekan-rekan mereka di kelasykaran. Bahkan obral pangkat dibuat lebih murah lagi oleh mereka. Seorang jago atau jawara yang memimpin puluhan orang dalam satu badan lasykar, maka dengan semena-mena akan menyatakan diri sebagai “komandan resimen A” atau “komandan divisi B”. Di kalangan lasykar proses pengangkatan perwira dan jenderal malah cenderung lebih “kacau” lagi. Ya laiknya dalam film Nagabonar.
Tidaklah aneh, kata Nasution, jika saat itu ada ejekan yang beredar di kalangan masyarakat: “Sudah dipastikan kita akan menang melawan Belanda, karena jumlah jenderal kita jauh sepuluh kali lipat banyaknya dari jumlah jenderal mereka.”
Editor: Tokohkita