Syarifudin Yunus
Politik di Mata Kaum Sarungan
Ambil sarung kita sekarang juga. Kenakan lagi. Agar tidak kebablasan, biar lebih adem. Dan jangan lupa, sarung itu gulungannya di depan bukan di belakang. Biar enggak kebanyakan mengingat masa lalu. Tapi lebih fokus ke masa depan. Tanpa perlu membenci atau menghujat.
Pilpres telah usai, kini sidang sengketa pun bergulirdi MK. Tapi hingga-bingar politik pun belum reda. Saling serang, hoakshingga diksi kebencian pun tetap merebak. Politik dan pilpres sekarang sudah tidak asyik. Terlalu panas dan malah kian sangar. Panasnya pun hampir mengalahkan orang yang sakit demam tingkat tinggi.
Kemarin lagi kampanye disuruh "jual program" malah ngomongin kejelekan orang. Sekarang sudah nyoblos, masih saling gontok-gontokan. Semua terlalu nafsu; ingin berkuasa; ingin mengejar tahta. Alih-alih ngotot bela calon pujaan. Terpaksa kebencian, hujatan, hasutan mungkin juga fitnahan jadi bahan obrolan. Kenapa begitu? Bisa jadi, mereka udah lama lupa sarungan. Tidak lagi gemar "sarungan".
Sarungan. Sebut saja politik kaum sarungan. Karena kaum sarungan hidupnya gak sudi dikuasai ego. Bila mau menang pun bukan untuk mengalahkan orang lain. Tapi ingin memperbaiki diri. Orang zaman now, mungkin, udah gak suka pake sarung. Jarang sarungan. Jadi gak bisa menahan diri lagi, gemar dengan yang sia-sia. Pidato kalo jadinya bikin gaduh buat apa. Berkata-kata kalo cuma mau bilang menebar kebencian juga buat apa. Negeri ini banyak sia-sia. Mereka, bisa jadi sudah jarang sarungan.
Sarung atau sarungan. Bukan soal harga atau prestise. Tapi soal nilai-nilai. Nilai untuk menahan ego, nilai untuk menjaga keutuhan bangsa biar gak bubar. Sarungan itu ada adabnya, ada akhlaknya. Agar semuanya yang telah diperjuangkan tidak sia-sia. Kata pepatah "bagai menghasta kain sarung". Agar kita ikhtiar untuk tidak melakukan pekerjaan yang sia-sia; sibuk tapi gak menghasilkan apa-apa. Begitu kira-kira artinya.
Kaum sarungan. Karena memakai sarung berarti mau menahan diri. Karena yang ada di dalam sarung itu "sesuatu" yang berbahaya. Keris, pistol pun ada sarungnya. Disarungi, agar tidak bahaya buat orang lain. Maka sarungan itu untuk menahan apa-apa yang ada di dalamnya. Tidak untuk diperlihatkan dan dipamerkan ke orang lain. Sayang sekali, mulut gak ada sarungnya?
Orang yang sering sarungan. Harusnya mampu menjaga diri. Menjaga diri dari nafsu berkuasa, nafsu dunia. Bahkan mampu menjaga orang lain agar tidak mendapat keburukan darinya. Makanya sarungan, agar gak cidera atau menciderai.
Sarung itu hanya simbol. Agar lebih legowo dan mau menerima realitas. Karena siapapun, orang besar atau orang kecil sama saja bila pakai sarung. Sarung gak pernah membeda-bedakan ukuran. Semua cocok dan pas bila pakai sarung. Jangankan ke masjid atau di rumah. Sarung juga pantas dipakai ke undangan, ke tempat kerja atau ke sawah sekalipun. Ngobrol pakai sarung pantes, main bola pakai sarung pun bisa. Walimahan pakai sarung juga pantes. Sarung itu serba pantas; buat siapa saja dan pangkat apa saja.
Maka pakailah sarung. Jadilah kaum sarungan. Agar bisa menahan diri, bisa menjaga apa-apa yang berbahaya. Bukan asal omong, asal celoteh. Susah bangsa ini maju, kalo dasarnya benci dan gak suka orang lain. Sarung itu memang sulit bila dibanding sama teknologi digital. Walau sarungan belum tentu gak ngerti digital. Atau mentang-mentang era digital ekarang emang zaman digital lantas melupakan sarung. Karena sarung, itu tempat singgah kita yang paling apa adanya, paling asli.
Sarung, bisa bikin kita singgah sebentar di masa lalu. Tapi lebih banyak bersiap untuk masa depan, masa jelang kematian tiap anak manusia. Agar lebih rajin ibadah, rajin berbuat dan menebar kebaikan. Buat kaum sarungan. Pegangannya adalah "Allah menguji kamu dengan sesuatu yang kamu cintai di dunia. Maka janganlah berlebihan untuk mencintainya, agar kelak penyesalan dan kesedihan tidak berlebihan".
Jadi, pakailah sarung. Ambil sarung kita sekarang juga. Kenakan lagi. Agar tidak kebablasan, biar lebih adem. Dan jangan lupa, sarung itu gulungannya di depan bukan di belakang. Biar enggak kebanyakan mengingat masa lalu. Tapi lebih fokus ke masa depan. Tanpa perlu membenci atau menghujat. Seperti sarung. Apapun yang terjadi di luar sana, sarung selalu melindungi apapun yang ada di dalamnya. Selalu bersyukur atas apa yang sudah dimiliki.
*Penulis adalah Pendiri TBM Lentera Pustaka
Editor: Tokohkita