Ena Nurjanah, Ketua LPA Generasi
Hak Pendidikan Anak Diuji Sistem Zonasi
Kebijakan sistem zonasi yang berlandaskan sebaran sekolah negeri, justru menafikan fakta bahwa jumlah sekolah negeri masih kurang dan sebarannya tidak merata di hampir semua wilayah di Indonesia. Maka, berdasarkan hal ini sudah dapat dipastikan bahwa sistem ini akan menuai masalah.
Gagasan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa “ menjadi cikal bakal kebijakan sebuah Negara bahwa tidak boleh ada satu pun rakyatnya yang tertinggal karena tidak mendapatkan hak pendidikan. Kebijakan ini kemudian diperkuat melalui UUD 1945 Pasal 31 ayat (1), bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Pendidikan menjadi hak setiap rakyat Indonesia. Maka, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengimplementasikan tanggung jawab besarnya dalam mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali.
Itikad baik pemerintah terhadap hak pendidikan tergambar melalui pengalokasian 20?na APBN untuk anggaran pendidikan. Namun, sangat disayangkan hingga saat ini anggaran pendidikan sebesar 20% masih belum mampu memberikan pemerataan ketersediaan sekolah negeri bagi anak-anak Indonesia.
Pengelolaan pendidikan di Indonesia juga belum menjadikan rakyat/ siswa didik sebagai subjek pendidikan yang utama. Kebijakan pendidikan justru sering menjadikan para siswa hanya sebagai objek yang tidak punya hak untuk berpendapat atas kebijakan yang dibuat. Kebijakan pendidikan pun sering berganti dan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi para siswa didik. Contoh nyata adalah kurikulum pendidikan, yang sering berubah mengikuti kebijakan menteri yang menjabat.
Persoalan pendidikan yang muncul belakangan ini berbeda. Kali ini yang menimbulkan polemik dan perbincangan tiada henti yaitu persoalan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui sistem zonasi.
Kemendikbud menganggap bahwa sistem zonasi sebagai langkah paling penting dalam mencapai berbagai pemerataan dalam dunia pendidikan. Dikatakan bahwa dengan sistem zonasi setiap anak mendapat kesempatan yang sama dengan fasilitas yang sama. Tidak ada pengistimewaan sekolah favorit–tidak favorit .
Zonasi menjadi basis data perumusan kebijakan dalam memetakan dan memberikan intervensi pendidikan, baik terkait fasilitas sekolah, metode pembelajaran, maupun kualitas dan distribusi guru, sehingga dapat mempercepat pemerataan mutu pendidikan di seluruh daerah. Aturan baru mengenai PPDB 2019 tertuang dalam Peraturan Mendikbud No. 51/2018.
Melihat tujuan PPDB sistem zonasi tentunya menimbulkan harapan besar bagi pendidikan yang lebih baik bagi setiap anak Indonesia. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut bukan perkara sederhana. Pemerintah melalui kemendikbud tidak bisa mengabaikan kondisi yang ada, baik itu kondisi siswa didik, orangtua, maupun kondisi sekolah negeri yang ada.
kebijakan sistem zonasi pada kenyataanya telah menghapus dengan tiba-tiba capaian nilai Ujian Nasional (UN) anak didik dalam seleksi PPDB. Kondisi ini sesungguhnya benar benar menghempas semangat anak-anak yang sudah belajar keras untuk mendapatkan nilai UN terbaik namun berada dalam zona yang jauh dari sekolah negeri atau bahkan tidak ada sekolah negeri di wilayahnya.
Kebijakan sistem zonasi yang berlandaskan sebaran sekolah negeri, justru menafikan fakta bahwa jumlah sekolah negeri masih kurang dan sebarannya tidak merata di hampir semua wilayah di Indonesia. Maka, berdasarkan hal ini sudah dapat dipastikan bahwa sistem ini akan menuai masalah.
Saat ini, PPDB sistem zonasi memasuki tahun ketiga. Kekhawatiran siswa didik dan orangtua dengan sistem ini masih terus terjadi, karena minimnya antisipasi persoalan yang muncul dalam penerapan PPDB sistem zonasi ini.
Dengan terbatasnya jumlah sekolah negeri maka kemungkinan akan banyak anak yang tidak tertampung. Terutama pada siswa yang rumahnya jauh dari zona sekolah, atau tidak ada sekolah negeri di wilayah tempat tinggalnya. Padahal nilai UN mereka sangat memungkinkan untuk mendapatkan sekolah negeri.
Mencari sekolah bagi keluarga dengan keterbatasan ekonomi tidaklah semudah yang dikatakan kemendikbud, bahwa ketika anak tidak diterima sekolah negeri, mereka tetap bisa bersekolah, masih ada sekolah swasta yang mau menampung.
Mencari sekolah swasta butuh persiapan biaya yang tidak sedikit. Pilihan sekolah swasta yang sesuai dengan budget mereka pun sulit ditemui. Belum lagi waktu pendaftaran yang pendek dengan dimulainya tahun ajaran baru. Bagi anak-anak dari kalangan tidak mampu, ketidakberdayaan orangtua mereka mendaftarkan ke sekolah swasta akan memunculkan kemungkinan anak-anak menjadi putus sekolah.
Persoalan diatas hanya sebagian kecil dari persoalan PPDB sistem zonasi. Masih banyak persoalan lain yang muncul dalam PPDB sistem zonasi. Melihat kondisi ini, seharusnya Kemendikbud mengkaji kembali penerapan sistem zonasi. PPDB sistem zonasi harus diperbaiki dan disempurnakan agar tidak merugikan siswa didik. Kemendikbud juga seharusnya lebih mengutamakan kebutuhan ketersediaan jumlah sekolah negeri sebelum memaksakan kebijakan mutlak PPDB dengan sistem zonasi.
Ketersediaan sekolah-sekolah harus dibarengi dengan pemenuhan fasilitas sarana dan prasarana yang layak. Sehingga, setiap sekolah mampu melahirkan anak-anak hebat. Pada akhirnya, para orangtua dan siswa didik pun tidak akan berebut mendaftar masuk sekolah negeri tertentu. Karena semua sekolah memiliki standar yang sama.
*Penulis adalah Ketua Lembaga Perlindungan Anak Generasi
Editor: Tokohkita