Pemberian Amnesti Disetujui, Baiq Nuril Pun Menangis di Gedung DPR
- Beranda /
- Parlemen Kita /
- Kamis, 25 Juli 2019 - 18:05 WIB
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengirim surat ke DPR untuk memberikan pertimbangan terhadap amnesti bagi Baiq Nuril
TOKOHKITA. Dewan Perwakilan Rayat (DPR) menyetujui agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi amnesti (pengampunan) kepada terpidana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun. Kesepakatan tersebut diambil dalam sidang paripurna ke-23 masa sidang V Tahun 2018/2019 yang dipimpin Wakil Ketua DPR Utut Adianto sebagai pimpinan sidang.
Sebelum pengesahan, Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik menyampaikan laporan kerja dari pihaknya soal pertimbangan pemberian amnesti tersebut. Erma menilai, Komisi III DPR telah mempertimbangkan aspek keadilan untuk memberikan pertimbangan amnesti bagi Nuril. Ia turut memandang Baiq Nuril bukan seorang pelaku, melainkan korban yang melindungi diri dari kekerasan verbal dan seksual.
"Saudara Baiq Nuril adalah korban kekerasan verbal, dan yang dilakukan Baiq menurut Komisi III adalah upaya melindungi diri dari kekerasan verbal dan seksual," kata Erma saat membacakan laporannya di sidang paripurna DPR, Jakarta, Kamis (25/7).
Dilansir dari cnnindonesia.com, usai mendengarkan laporan dari Komisi III DPR, Utut lantas melempar pertimbangan amnesti tersebut untuk disetujui apakah akan diberikan DPR atau tidak. "Apakah laporan Komisi III tentang pertimbangan atas pemberian amnesti kepada saudara Baiq Nuril Maqnun dapat disetujui?" tanya Utut. "Setuju," serempak anggota sidang.
Keputusan persetujuan amnesti untuk Baiq Nuril itu langsung disambut tepuk tangan meriah para peserta sidang yang hadir. Tampak pula Baiq Nuril yang berada di balkon ruang sidang memberi isyarat berterima kasih kepada para anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna tersebut. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengirim surat ke DPR untuk memberikan pertimbangan terhadap amnesti bagi Baiq Nuril. Amnesti tersebut muncul setelah Mahkamah Agung (MA) menolak PK Baiq Nuril terkait UU ITE.
Atas keputusan DPR tersebut, Baiq Nuril mengungkapkan rasa syukurnya atas apa yang telah dilakukan para anggota dewan mengenai pemberian amnesti. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima kasih," ucap Baiq Nuril sembari mengusap matanya seperti dilaporkan suara.com.
Perkara ini bermula ketika Baiq Nuril dituding menyebarkan rekaman percakapan telepon dengan atasannya, Muslim, yang diduga melakukan pelecehan. Merasa dipermalukan, Muslim pun melaporkan perkara itu ke polisi. Baiq Nuril sebelumnya dinyatakan tidak bersalah melakukan pelanggaran UU ITE dalam putusan pengadilan tingkat pertama.
Namun, putusan di tingkat kasasi MA pada 26 September 2018 menjatuhkan vonis kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Sebelum amnesti disetujui DPR, perempuan asal NTB itu sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, namun langkah hukumnya ditolak majelis hakim agung.
Kronologi kasus Baiq Nuril
Nama mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril Maknun, menuai perbincangan usai dinyatakan bersalah menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan dan dihukum enam bulan penjara serta denda Rp500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Baiq Nuril pun merasa diperlakukan tidak adil lantaran dirinya adalah korban kasus perbuatan pelecehan yang dilakukan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, M. Pelecehan itu disebutnya terjadi lebih dari sekali.
Rentetan kasus pelecehan itu dimulai pada medio 2012. Saat itu, Baiq masih berstatus sebagai Pegawai Honorer di SMAN 7 Mataram. Satu ketika dia ditelepon oleh M. Perbincangan antara M dan Baiq berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit perbincangan itu, hanya sekitar 5 menitnya yang membicarakan soal pekerjaan. Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya.
Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq. Terlebih M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.
Ilustrasi korban pelecehan seksual.Ilustrasi korban pelecehan seksual. (Istockphoto/Favor_of_God)
Merasa jengah dengan semua itu, Baiq berinisiatif merekam perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Baiq tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam.
Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram. Diketahui, penyerahan rekaman percakapnnya dengan M Baiq itu hanya dilakukan dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.
Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, M pun melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman tersebut disebarkan oleh Imam, namun malah Baiq yang dilaporkan oleh M.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota. Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah.
Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima 9 November 2018 menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan tindak pidana, "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." Ia kemudian dihukum enam bulan penjara dan dipidana denda senilai Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Putusan ini menuai kritik dan jadi bahan perbincangan. Dalam rilis resminya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut hakim seharusnya berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 huruf b Perma tersebut menyebutkan hakim mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
ICJR juga menyoroti pemahaman hakim MA terhadap UU ITE. Menurut ICJR Baiq tidak dapat dijatuhi hukuman lantaran putusan PN Mataram menyatakan bahwa Baiq tak melanggar ketentuan pidana. Berdasarkan fakta persidangan Baiq tidak pernah menyebarkan rekaman tersebut.
Menurut ICJR, Pasal 27 ayat (1) UU ITE itu dalam penjelasannya didesain untuk penyebaran dalam sistem elektronik dan harus dikaitkan dengan pasal kesusilaan dalam KUHP. Perbuatan yang dilarang adalah penyebaran konten bermuatan pelanggaran asusila yang diniatkan untuk menyebarkannya di muka umum.
Editor: Tokohkita