Marwan Batubara
Batalkan Perpanjangan Kontrak Blok Corridor kepada ConocoPhillips
Kontrak awal Blok Corridor ditandatangani pada 21 Desember 1983 dengan tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), yaitu ConocoPhillips (54%), Talisman (36%) dan Pertamina (10%).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dituntut segera membatalkan perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Corridor, Sumatera Selatan, kepada ConocoPhillips karena bertentangan dengan konstitusi, mengurangi potensi pendapatan negara dan tidak sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan energi nasional. Perpanjangan kontrak pengelolaan tersebut telah ditetapkan oleh Kementrian ESDM kepada ConocoPhillips sebagai operator eksisting pada tanggal 22 Juli 2019 bertempat di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta.
Kontrak awal Blok Corridor ditandatangani pada 21 Desember 1983 dengan tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), yaitu ConocoPhillips (54%), Talisman (36%) dan Pertamina (10%). Kontrak blok migas tersebut akan berakhir pada 19 Desember 2023. Dengan perpanjangan kontrak, KESDM menetapkan komposisi pemilikan saham berubah menjadi ConocoPhilips 46%, Pertamina 30%, dan Repsol 24%. Blok Corridor merupakan blok gas terbesar ketiga di Indonesia setelah Proyek Tangguh dan Blok Mahakam. Sampai akhir Juni 2019, realisasi lifting gas dari Blok Corridor tercatat sebesar 827 juta kaki kubik per hari atau million standard cubic feet per day (mmscfd).
Dalam jumpa pers di Jakarta Senin (22/7/2019), Menteri ESDM menyatakan pemberian perpanjangan pengelolaan Blok Corridor selama 20 tahun hingga 2043 didasari antara lain oleh pertimbangan signature bonus (US$ 250 juta dan komitmen kerja pasti (US$ 250 juta). Blok Corridor disebutkan akan menggunakan skema bagi hasil kotor (gross split). Kontrak bagi hasil akan menerapkan skema gross split dimana KKKS memperoleh jatah 48,5% untuk minyak dan 53,5% untuk gas.
Keputusan Kementerian ESDM di atas didasarkan pada Permen ESDM No.23/2018 yang inskonstitusional. Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said telah menerbitkan Permen ESDM No.15/2015 yang memberi prioritas pengelolaan blok-blok migas habis kontrak kepada Pertamina. Namun, setelah Ignatius Jonan menjadi Menteri ESDM, Permen ESDM No.15/2015 tersebut dirubah dengan Permen No.23/2018. Permen No.23/2018 ini sengaja disiapkan guna memberi kesempatan kepada asing untuk terus bercokol menguasai pengelolaan migas nasional walau telah mengelola puluhan tahun.
Berdasarkan Putusan MK No.36/PUU-X/2012 wilayah kerja (WK) migas hanya boleh dikelola BUMN sebagai wujud penguasaan negara. Hal ini sesuai amanat Pasal 33 UDD 1945 di mana negara melalui Pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola dan mengawasi sumbar daya alam milik negara. Khusus untuk pengelolaan, penguasaan negara dijalankan pemerintah melalui BUMN. Jika pemerintah patuh pada konstitusi, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK migas yang KKS-nya berakhir kepada BUMN.
Permen ESDM No.23 juga bertentangan dengan UU Energi No.30/2007. Pasal 2 UU Energi menyatakan energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, berkeadilan, berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Pasal 4 UU Energi menyatakan dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Permen ESDM No.23/2018 menyimpan misteri kemungkinan terjadinya korupsi dan perburuan rente melalui penunjukan langsung kontraktor KKS eksisting untuk melanjutkan pengelolaan suatu WK migas. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan produksi migas di Blok Corridor akan stabil jika ditemukan tambahan cadangan. Saat ini, cadangan gas terbukti di blok ini tercatat sebanyak 4 triliun kaki kubik (TCF). “Mungkin sampai 2043, itu tinggal beberapa TCF. Kalau dikalkulasikan sampai 2026, kemungkinan tinggal 2 TCF”, kata Dwi.
Jika diasumsikan cadangan tersisa Blok Corridor sekitar 3 TCF dan harga rata-rata gas adalah US$ 8-10/mmbtu, maka potensi pendapatan kotor Blok Corridor (sebelum dipotong biaya eksploitasi) adalah sekitar US$ 24 miliar–US$ 30 miliar atau sekitar Rp 336 triliun–Rp 420 triliun, pada kurs Rp 14.000 per US$. Biaya akuisisi cadangan terbukti suatu blok migas berkisar antara 10% hingga 15% nilai cadangan. Oleh sebab itu, maka biaya akuisisi 100?dangan Blok Corridor adalah (10% – 15%) x US$ (24-30) miliar = US$ 2,4 miliar – US$ 4,5 miliar.
Ternyata Kementerian ESDM “membiarkan” kontraktor-kontrator asing yang akan menguasai 70% saham Blok Corridor (30% akan dikuasai Pertamina) cukup membayar 70% x US 250 juta (sebagai signature bonus), atau sekitar US 175 juta. Wuiih, enak benar nih kontraktor asing, dapat durian runtuh! Kenapa pula Kementerian ESDM membiarkan kontraktor-kontraktor asing tersebut membayar aset negara sangat murah? Saya yakin KESDM bukan tidak faham tentang praktek-praktek yang berlaku umum dalam akuisisi blok-blok operasional di seluruh dunia!
Sebagai pengingat bagi yang ingin menggunakan akal dan berfikir, Indonesia harus membayar US$ 3,85 miliar kepada Freeport McMorant pada 2018 untuk mengakuisisi 42% saham. Pembayaran yang tinggi tersebut terutama didasarkan pada cadangan emas dan tembaga yang masih sangat besar, dan “diakui oleh pemerintah sesuai klaim” Freeport McMoran hingga 2041. Barang berharga milik bangsa sendiri “bersedia dibayar sangat mahal oleh pemerintah” agar dapat dikelola oleh BUMN. Lantas, mengapa untuk Blok Corrridor, yang tidak memiliki aspek dan kisruh kontrak yang rumit seperti pada kontrak Freeport, tidak dapat dikuasai dengan mudah oleh BUMN bangsa sendiri, malah ANDA (Pemerintah RI) perpanjang untuk dikelola asing dengan harga sangat murah pula?
Hal-hal di atas menunjukkan seperti apa kinerja dan komitmen pemerimtah untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Bukan saja tidak mendukung dominasi BUMN untuk menjadi tuan di negara sendiri, pemerintah pun malah terus memberi peluang kepada swasta dan asing untuk mengambil hak-hak dan porsi bisnis milik BUMN. BUMN telah menjadi korban kebijakan populis dalam program-program subsidi energi, BBM satu harga, bio energi, dll. Untuk dapat mengelola Blok Rokan pada 2021, pemerintah telah memaksa Pertamina membayar Rp 11 triliun pada 2018. Padahal penguasaan Blok Rokan tersebut adalah hak konstitusional Pertamina, tanpa harus membayar bonus.
Memperhatikan berbagai anomali kebijakan di atas, guna mencegah terjadinya kerugian negara, kami menuntut agar DPR segera menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, sekaligus meminta pembatalan perpanjangan kontrak Blok Corridor. Selain itu, kami juga menuntut agar KPK segera melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak terkait atas kemungkinan adanya potensi korupsi dan kerugian negara dalam kebijakan tersebut.
Karena adanya surat dari KPK kepada Presiden Jokowi, Kementerian ESDM membatalkan perpanjangan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) yang semula diberikan kepada PT Tanito Harum pada Januari 2019. KPK melakukan hal tersebut karena kebijakan Jonan melanggar UU Minerba No.4/2009. Pada kasus Blok Corridor yang terjadi adalah pelanggaran konstitusi dan UU, serta juga adanya potensi kerugian keuangan negara dan penurunan ketahanan energi nasional. Akankah KPK bersikap sama?
Kita tidak tahu apakah Presiden Jokowi mengikuti lahirnya kebijakan penting dan strategis yang bermasalah tersebut. Namun, terlepas dilaporkan atau tidak oleh Menteri ESDM, tanggungjawab ditetapkannya suatu kebijakan pemerintah ada di tangan Presiden. Sebelum terlambat, kami kembali mengingatkan agar Presiden Jokowi segera membatalkan perpanjangan pengelolaan Blok Corridor tersebut kepada asing. Masa transisi bukanlah waktu yang tepat untuk mengambil keputusan strategis. Toh akhir kontrak Blok Corridor masih lama, yakni 2023. Presiden pernah berjanji akan menjadikan Pertamina mengungguli Pteronas… semoga tidak lupa ya..!
*Penulis adalah Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)
Editor: Tokohkita