Nelayan Aceh Keluhkan Limbah Batubara yang Mencemari Laut
- Beranda /
- Kabar /
- LINGKUNGAN /
- Sabtu, 27 Juli 2019 - 11:36 WIB
Menurut KuALA, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten setempat juga jangan hanya memikirkan pendapatan daerah saja, tetapi juga harus memikirkan keberlangsungan hidup nelayan di pesisir Aceh.
TOKOHKITA. Nagan Raya, Panglima Laot dan Nelayan Nagan Raya yang didampingi Sekretariat Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA) menggelar diskusi bersama untuk merespon pencemaran lingkungan akibat limbah batubara yang terjadi di Pesisir dan Laut tangkapan nelayan.
Pertemuan ini dilakukan di Lhok Kuala Tuha yang di hadiri oleh 50an nelayan yang berada di bawah arahan lembaga panglima laot kabupaten Nagan Raya. Kegiatan yang dilaksanakan pada 25 – 26 Juli 2019 ini tidak hanya melakukan diskusi saja, tetapi malakukan kunjungan langsung kelapangan untuk melihat kondisi pesisir di sepanjang pantai yang berdekatan dengan aktifitas perusahaan.
Sekretaris Jenderal Jaringan KuALA Rahmi Fajri mengatakan, dalam pertemuan ini nelayan mengeluhkan turunnya hasil tangkapan nelayan sejak tiga tahun terakhir. "Penurunan hasil tangkapan ini bahkan dirasakan pada masa musim panen yang seharusnya nelayan mendapatkan hasil tangkapan dalam jumlah banyak," katanya dalam keterangan resminya, Sabtu (27/7/2019).
Panglima Laot Kabupaten Nagan Raya Pawang Zainal dalam sesi diskusi menyampaikan bahwa selain kurangnya hasil tangkapan nelayan karena kondisi perairan yang mulai tidak bersih ini juga berdampak pada biaya operasional yang tinggi meskipun tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapatkan. Hal tersebut juga disampaikan langsung oleh nelayan yang menyebutkan bahwa mereka merasa resah karena kondisi lingkungan saat ini yang membuat hasil tangkapan mereka menurun.
“Tiga tahun terakhir ini pak, nelayan kami sudah sangat hancur hidupnya karena pencemaran laut. Kami merasa tidak ada lagi tempat kami untuk mencari ikan. Terkadang ketika kami menjaring ikan yang terjaring batu bara,” ungkap Zainal.
Menanggapi hal ini, Rahmi menyampaikan kekecewaannya terhadap perusahaan yang tidak memikirkan keberlangsungan hidup nelayan kecil dan nelayan tradisional tersebut. Harusnya aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan jangan sampai menggangu ruang hidup dan ruang tangkapan nelayan di pesisir dan laut Aceh.
Ketika hal tersebut terjadi akan sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir yang akan berujung pada konflik antara nelayan dan perusahaan. Hal ini juga perlu di respon positif oleh Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Nagan Raya dan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat. Baiknya pemerintah tidak hanya memikirkan inkam daerah saja tetapi juga harus memikirkan ekonomi dan keberlangsungan hidup masyarakat di pesisir.
“Saya sangat kecewa dengan perusahaan yang tidak memikirkan keberlangsungan hidup nelayan kecil dan nelayan tradisional kami. Perusahaan seharusnya berfikir jangan samapai karena kegiatan mereka mengganggu ruang hidup nelayan, apa lagi hal ini mengakibatkan kesenjangan ekonomi. Kami menakutkan jika hal ini terjadi akan muncul konflik antara nelayan dan perusahaan,” kecam Rahmi.
Menurut KuALA, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten setempat juga jangan hanya memikirkan pendapatan daerah saja, tetapi juga harus memikirkan keberlangsungan hidup nelayan di pesisir Aceh.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA menilai aktifitas yang dilakukan oleh perusahaan tidak memikirkan kedaulatan dan kepentingan nelayan. “Pencemaran yang terjadi di Pesisir Aceh menjadi catatan penting bagi bangsa ini. KKP harus bisa memberi sanksi juga bagi para pelaku kejahatan lingkungan. Karena ini jelas melanggar hak konstitusi masyarakat pesisir,” tegasnya.
Adapun kegiatan diskusi ini juga turut didukung oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Pada kegiatan ini, peserta yang hadir adalah Panglima Laot Kabupaten Nagan Raya, seluruh Panglima Laot Lhok yang berada di wilayah kabupaten Nagan Raya, Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA) dan Suara Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Aceh Barat.
Editor: Tokohkita