Muhammad Akbar
Krisis Adab Guru dan Murid
Ruh pendidikan kita mesti di tarik kembali kepada akarnya, bahwa peserta harus memiliki akhlak, adab yang baik setelah melewati proses pendidikan di sekolah dan kampus. Peran guru, orang tua dan masyarakat sangat menentukan kualitas dan keberhasilan menanamkan nilai-nilai adab bagi para anak didik.
Pendidikan di era globalisasi ini menjadi salah satu kunci untuk mencetak generasi yang baik. Tantangan pendidikan di era keterbukaan sistem informasi dan komunikasi menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan proses pendidikan, baik yang dilakukan oleh orang tua dan guru di sekolah.
Setiap proses pendidikan adalah untuk melahirkan sumber daya manusia yang cerdas, berakhlak dll, serta mampu bersaing di era global saat ini. Kita perlu sadari, kebangkitan sebuah peradaban sangatlah ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya.
Sistem pendidikan nasional di Indonesia telah memberikan arah dan tujuan yang jelas, proses pendidikan untuk menjadikan manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia dan beradab, berilmu, mandiri serta bertanggung jawab. Namun faktanya, pada proses pelaksanaan pendidikan terjadi begitu banyak krisis, baik terjadi kepada siswa dan guru. Kasus kekerasan, pemerkosaan, pergaulan bebas, tawuran antar pelajar, dan menjamurnya remaja geng motor dalam lembaga pendidikan menjadi kabar duka bagi pendidikan di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan adanya krisis moral yang terjadi, bukan hanya kepada siswa tetapi juga guru.
Berdasarkan data International Center for Research on Women (ICRW), pada 2015 setidaknya sebanyak 84% peserta didik di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah, tentu data tersebut berkembang dari beberapa tahun terakhir ini.
Tidak hanya itu, 75% siswa mengaku pernah melakukan aksi kekerasan di lingkungan sekolah. Fakta lain mengungkapkan, pelaku kekerasan tidak hanya dilakukan oleh murid, tetapi oknum guru atau petugas sekolah. Data yang sama mengungkapkan 45% murid laki-laki di Indonesia mengaku pernah menerima tindak kekerasan dari guru maupun petugas sekolah. Adapun, 22% siswa perempuan menyebutkan pernah mengalami hal serupa.
Krisis moralitas terjadi dalam segala linik, belum lagi dengan data-data terbaru yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang kekerasan seksual yang menunjukkan begitu hancurnya adab dan moralitas siswa dan guru. Berdasarkan pada pengawasan KPAI terhadap berbagai kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan sepanjang Januari-Juni 2019 dari pemberitaan di media massa tergambar bahwa sekolah menjadi tempat yang tidak aman dan nyaman bagi anak didik.
Seorang siswa SD di Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak (Kalbar) menjadi korban pencabulan gurunya dengan modus diajari matematika. Perbuatan tidak senonoh tersebut dilakukan pelaku sebanyak 5 kali di ruang kelas dan kebun dekat sekolah. Kepada keluarganya korban mengeluh sakit pada kemaluannya, kemudian menceritakan apa yang dialaminya. Keluarga kemudian melakukan pelaporan terhadap guru ASN yang berusia 47 tahun tersebut kepada polisi.
Kasus serupa ini baru terjadi dimana ada tiga guru sekaligus melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap 3 siswi (semua berusia 14 tahun) di salah satu SMPN di Serang, Banten. Modus yang dilakukan para guru yang menjadi terduga pelaku adalah “memacari korban” yang notabene adalah muridnya sendiri, padahal ketiga guru tersebut sudah beristri dan memiliki anak.
Perbuatan dua guru honorer dan satu guru ASN tersebut dilakukan di lingkungan sekolah, seperti di kelas, di laboratorium sekolah, bahkan di kebun belakang sekolah. Perbuatan tidak senonoh bahkan dilakukan secara bersama-sama. Perbuatan ketiga guru tersebut terungkap setelah salah satu anak korban hamil dan kepada orangtuanya korban menceritakan semuanya.
Data di atas adalah bagian dari sekian banyak data-data kerusakan moral guru dan muridnya. Cukuplah hal ini membuat hati setiap pendidik menjadi risih dan menangis atas rusaknya akhlak para guru dan muridnya. Menurut penulis, krisis adab guru dan murid adalah tantangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini.
Pendidikan nasional hari mestinya mencetak guru-guru yang beradab dan berakhlak mulia. Pendidik adalah orang tua bagi para muridnya, yang membimbing, mengarahkan dan memberikan teladan yang baik bagi setiap muridnya. Hal ini juga, telah di sebutkan dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Ada empat kompetensi guru yang tertuang yaitu pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.
Spirit kepribadian inilah yang mestinya diperhatikan oleh setiap guru. Sebab, mereka akan menjadi contoh bagi para muridnya. Sehingga, akhlak dan adab yang baik harus ada dalam diri setiap pendidik (guru). Pendidikan saat ini harus menekankan pendidikan adab, agar lahirnya para guru yang beradab melalui kampus-kampus dan melahirkan murid-murid yang beradab pula melalui proses pendidikan di sekolah-sekolah.
Allah subhanahu wa Ta?ala telah menjelaskan bahwa adab memiliki pengaruh yang besar untuk mendatangkan kecintaan dari manusia, sebagaimana firman-Nya berikut. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali 'Imran: 159)
Adab dijelaskan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan, dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan untuk disiplin diri agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranan seseorang sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu. “Mengenai sebab dalaman dilema yang kita hadapi sekarang bagi saya, masalah dasar dapat disimpulkan pada suatu krisis yang jelas saya sebut sebagai kehilangan adab (the loss of adab).” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, 2011, hal. 129).
Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah dan meletakkan?-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh
pada tahap ihsan. (Adian Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, hal. 78).
Adab merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan seorang guru dan murid, adab tidak bisa terlepas dalam aktivitas sehari-hari. Ibadah kepada Allah, menghormati guru dan orang tua, bermuamalah. Maka semuanya membutuhkan adab yang baik. Dan para ulama kita dahulu, lebih mendahulukan adab dibandingkan dengan ilmu.
Adab ditampilkan sebagai sikap selayaknya terhadap otoritas yang sah, dan otoritas yang sah mengakui hirarki otoritas yang puncaknya adalah Nabi Muhammad. Pengakuan tersebut adalah dengan penghormatan, cinta, kerendahan hati, dan kepercayaan yang cerdas atas ketepatan ilmu yang ditafsirkan dan dijelaskan oleh otoritas tersebut. Penghormatan, penghargaan, cinta, kerendahan hati, dan kepercayaan yang cerdas hanya akan terwujud pada seseorang jika ia mengakui hakikat bahwa ada suatu hirarki dalam tingkatan manusia dan dalam otoritas mengikuti kecerdasan, ilmu spiritual, dan budi pekerti (Al-Attas, Ibid., hal. 130).
Maka dari itu, krisis adab yang di alami oleh guru dan murid harus di tanamkan dan di ajarkan di kampus dan sekolah-sekolah. Tugas besar bagi para orang tua dan pendidik adalah memberikan arahan terhadap murid tentang klasifikasi ilmu yang di pelajari. Lebih mendahulukan ilmu yang sifatnya fardhu ain daripada fardhu kifayah.
Teladan dalam mempelajari adab lebih di dahulukan di bandingkan dengan ilmu. Telah di lakukan oleh para ulama dan tokoh-tokoh cendekiawan muslim dahulu, di antaranya. Imam Ibnul Mubarak berkata, “Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan aku belajar ilmu selama dua puluh tahun.” Imam Ibnu Wahab berkata, “Aku lebih mengutamakan belajar adab kepada Imam Malik dibandingkan dengan belajar ilmu darinya.”
Imam Abu Hanifah (Imam Hanifah) berkata, “Kisah-kisah tentang kehidupan para ulama dan duduk dalam majelis mereka lebih aku sukai dari mempelajari banyak ilmu, karena kisah-kisah itu penuh dengan ketinggian adab dan akhlak mereka.”
Olehnya itu, apabila sekarang di dunia pendidikan Indonesia sedang ramai menggalakkan pendidikan berkarakter, maka akan timbul pertanyaan, “Apakah cukup?” Sekarang kata “akhlak” diganti dengan kata “karakter”. Karakter diartikan sebagai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tetapi karakter juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara drama atau lakonan.
Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber”peran” baik. Sangat manusiawi tetapi tidak mesti berdimensi Ilahi. Seseorang bisa berkarakter tetapi belum tentu beradab. Pemimpin berkarakter jika ia seorang yang tekun, berwibawa, santun dengan masyarakat, namun ia tidak beradab jika melegalkan judi, minuman keras, tempat prostitusi, kesyirikan dan sebagainya. Sebab itu, pendidikan karakter saja tidak cukup bagi peserta didik tetapi pendidikan adab juga sangat di butuhkan.
Ruh pendidikan kita mesti di tarik kembali kepada akarnya, bahwa peserta harus memiliki akhlak, adab yang baik setelah melewati proses pendidikan di sekolah dan kampus. Peran guru, orang tua dan masyarakat sangat menentukan kualitas dan keberhasilan menanamkan nilai-nilai adab bagi para anak didik.
Dengan berjalannya kembali tahun ajaran baru 2019-2020 di sekolah-sekolah dan kampus, semoga guru dan murid menjunjung tinggi nilai-nilai adab dan dapat melahirkan generasi yang beriman, bertakwa, beradab, cerdas dan kreatif mandiri. Serta, memulainya dengan memperbaiki kualitas pengajaran di kampus-kampus kita. Sebab, para alumni kampuslah yang akan menjadi pendidik bagi anak-anak didik di sekolah.
Penulis adalah guru dan Pendiri Madani Institute - Center For Islamic Studies
Editor: Tokohkita