Catatan Perjalanan Denny JA
Meminta Maaf Kepada Generasi yang Hilang
Buah paling ranum dari peradaban modern lahirnya prinsip Hak Asasi Manusia. Sejak abad ke 18, paham Hak Asasi terus berevolusi. Manusia, apapun etnik dan keyakinannya, berhak dilindungi secara adil. Diskriminasi menjadi musuh peradaban.
Tanggal 13 Febuari 2008 berlangsung peristiwa penting, di Australia. Melalui pidato Perdana Menteri Kevin Michael Rudd, di hadapan sidang Parlemen, pemerintah Australia secara secara resmi meminta maaf. Ujar Kevin, kami meminta maaf kepada Generasi yang Hilang. Ialah sesama warga Australia dari suku Aborigin. “Kepada anak-anak aborigin yang dipisahkan paksa dari orang tuanya, kami meminta maaf. Kepada orang tua, kakak dan adik, serta keluarga dari generasi yang hilang, kami meminta maaf. Kepada yang terkena pahit dan getir kebijakan pemerintah Australia yang salah, kami meminta maaf.”
Sekitar 60 tahun kebijakan “Half Caste” itu diterapkan, sejak tahun 1905 hingga 1967. Di era itu, anak dari kawin campur antara kulit putih dan suku aborigin dianggap ancaman bagi kemurnian peradaban kulit putih. Anak itu disebut Half Caste,” blasteran, campuran.
Mereka tak boleh berkembang biak menjadi sebuah suku tersendiri. Keberadaan mereka akan mengaburkan identitas kulit putih. Anak blasteran itu memang berasal dari darah kulit putih. Namun ada darah aborigin juga, yang dianggap mengotorinya. Bagaimana mencegahnya? Anak- anak blasteran itu sedini mungkin, harus dipisahkan dari orang tuanya. Umumnya mereka hidup dengan ibu atau keluarga Aborigin. Tak apa anak- anak itu dibawa paksa. Hukum membolehkan petugas menggunakan kekerasan jika diperlukan.
Lalu mereka dikarantina. Anak- anak blasteran itu perlu dididik untuk menjadi murni kulit putih kembali. Mereka harus dilatih kembali dalam agama, gaya hidup, dan keyakinan umumnya kulit putih. Sepanjang 60 tahun itu, sekitar 100 ribu anak anak aborigin sejak usia 3 dan 4 tahun diambil paksa dari komunitas. Kini seratus tahun setelah kebijakan itu diterapkan, pemerintah Australia menyadari. Betapa salahnya kebijakan itu. Secara resmi dan terbuka, pemerintah meminta maaf.
Saya berkunjung ke Australia, Canbera, di tahun 2013. Dalam Museum Nasional Australia (Australia National Museum, ANM), terdapat ruang khusus suku Aborigin. Soal Generasi Yang Hilang disajikan juga di sana. Ada beberapa studi kasus, “half caste” yang kini hidup sukses. Misalnya, kisah John Moroarty. Ia lahir tahun 1938. Ketika bocah, ia diambil begitu saja dari keluarga Aborigin. Ia dikarantina.
Ia sukses. Tahun 1960, ia terpilih sebagai team sepak bola nasional Australia. Tahun 1970, ia menjadi suku aborigin pertama yang lulus S1, di Adelaide University. Jenjang pendidikan formalnya terus meningkat. Di tahun 2001, ia mendapat medal kehormatan dari Flinders University. Yang menyentuh dari generasi yang hilang adalah kisah tiga bocah. Kisah ini kemudian diangkat ke layar lebar: Rabbit- Proof Fence (2002). Saya menonton filmnya kemudian.
Di tahun 1931, tiga bocah itu berusia sekitar 8, 10 dan 14 tahun. Mereka anak blasteran (half caste), hidup di kawasan Aborigin, di Jigalong, Australia Barat. Yang khas dari kawasan itu berdiri pagar kawat yang panjang sekali. Kawat itu menjaga wilayah pertanian dari serbuan kelinci dari seberang yang merusak tanaman. Molly, yang tertua, bertanya, apa guna pagar kawat itu? Ibu bercerita, ini petunjuk jika dirimu sesat berjalan. Cari saja pagar ini. Kau akan sampai ke rumah, berjumpa ibumu lagi.
Sesuai dengan kebijakan resmi pemerintah Australia, petugas datang mengambil paksa Moly dan dua bocah lain. Moly meronta. Ibunya juga melawan. Namun senjata dan pukulan keras para petugas kekar itu tak terlawan. Dengan menangis dan menjerit, Moly dan dua bocah lain dibawa pergi dengan mobil. Ibu berlari mengejar mobil itu. Ia hanya bisa meronta melihat ibunya dari mobil. Tapi mobil berlari lebih kencang membawa mereka semakin jauh.
Entah itu di daerah mana? Moly melihat dirinya ada di dalam asrama. Ia berjumpa aneka suster. Diajarkan pula Moly cara berdoa yang tak ia kenal. Suster membujuknya untuk betah di sana. Ujar suster, makanan kamu, pendidikan dan pekerjaan kamu di sini terjamin. Kamu diajarkan gaya hidup kulit putih, seperti Ayahmu, bukan seperti ibumu.
Di malam hari, bayangan Ibu kandung datang. Moly bertekad melarikan diri. Bersama dua bocah lain, mereka pun menyelinap diam diam di kala subuh.
Film itu kisah pelarian 3 bocah. Tak nanggung, jarak tempuh antara asrama dan tempat ibu kandungnya kini diketahui sepanjang 2400 kilo meter. Itu sama dengan 3 kali jarak antara Jakarta- Surabaya. Mereka harus menempuh jarak sejauh itu. Tapi tak ada pilihan. Mereka tak tahu seberapa jauh. Mereka hanya ingin berjumpa Ibu. Mereka terus berlari, berjalan, dalam waktu sembilan minggu.
Sejak di asrama, Moly tahu mereka akan diburu. Seorang pemburu budak dipekerjakan untuk melacak. Tiga bocah ini dengan segala ketakutan dan kerinduan pada ibu justru menjadi kekuatan. Kadang ada yang berbaik hati memberi mereka makanan dan penginapan. Kadang ada pula yang jahat melaporkan keberadan mereka.
Satu patokan Moly. Ibu pernah mengatakan, tempat kita dijaga pagar kawat yang panjang sekali. Jika kau tersesat, cari pagar kawat itu. Kau akan diantar menuju ibu. Molypun bertanya dan mencari pagar kawat. Setelah ketemu, pagar kawat menjadi penunjuk jalan. Akhir kata, Moly berhasil berjumpa Ibu kembali. Namun mereka memilih hidup di tempat lain. Petugas dari aneka penjuru mencari mereka. Anak-anak itu sungguh tak mengerti. Apa salah mereka diburu seperti ini. Situasi berubah ketika akhirnya pemerintah resmi mencabut kebijakan “Half Caste” itu. Kisah fenomenal Moly dituliskan kembali oleh anaknya menjadi buku. Film dibuat berdasarkan buku itu.
Menonton kisah bocah Aborigin yang berlari selama sembilan minggu, melintasi 2700 kilo meter, yang tak ingin dipisahkan dari ibu, sangat menyentuh. Betapa sering bocah dan ibu, yang tak mengerti apa- apa, menjadi korban dari kebijakan akibat gagasan yang salah. Sejarah sudah berjalan cukup panjang. Atas nama Facisme, misalnya, siapapun yang Yahudi ditumpas. Atas nama Komunisme, mereka yang menentang diktatur proletariat disikat. Negara menggunakan semua kekuasaan menjadi alat gagasan itu.
Atas nama supremasi kulit putih, gerakan KKK bahkan menggantung hidup-hidup kulit hitam. Atas nama Agama, tafsir yang berbeda dihancurkan. Rumah mereka dirusak. Tempat ibadah dibakar. Yang repot, jika pemerintah baik nasional atau pemerintah daerah pasif saja. Itu karena diam diam ada oknum yang menyetujuinya.
Buah paling ranum dari peradaban modern lahirnya prinsip Hak Asasi Manusia. Sejak abad ke 18, paham Hak Asasi terus berevolusi. Manusia, apapun etnik dan keyakinannya, berhak dilindungi secara adil. Diskriminasi menjadi musuh peradaban. Pemerintah dibuat untuk melindungi hak asasi warga negara. Bukan justru menjadi alat ideologi yang merusaknya. Apa yang harus dilakukan jika di masa silam pemerintah terlanjur diskriminatif?
Pemerintah mengambil inisiatif untuk mengoreksi. Kepada Generasi Yang Hilang, korban keganasan kebijakan publik yang salah, mereka layak dirangkul kembali. Bahkan pemerintah dapat lebih maju lagi meminta maaf secara resmi. Perdana Menteri Kevin Rudd mengambil leadership itu. Tahun 1967, kebijakan “Half Caste” dicabut. Dibutuhkan waktu 41 tahun kemudian, di tahun 2008 pemerintah Australia melangkah lebih jauh lagi: meminta maaf kepada suku aborigin.
Bagaimana dengan pengalaman di negara kita sendiri? Siapakah Generasi Yang Hilang dalam sejarah kebangsaan kita? Akankah datang permintaan maaf dari pemerintah, sekitar 40 tahun sejak era awal reformasi (1998), di tahun 2038 kelak? Ataukah permintaan maaf itu akan datang lebih cepat?
Editor: Tokohkita