Rokhmin Dahuri, Pakar Ekonomi Maritim IPB
Kinerja Ekonomi Kelautan Masih Jauh dari Optimal
Kehidupan nelayan dan pembudidaya terutama marikultur dan perairan payau semakin susah. Sebanyak 14 pabrik surimi di Pantura mati suri, sentra industri pengolahan perikanan di Belawan, Muara Baru, Cilacap, Benoa, Bitung, Ambon, Kaimana, dan Sorong juga mati suri akibat kekurangan bahan baku.
TOKOHKITA. Yayasan The Habibie Center menggelar seminar nasional bertajuk Prospek Poros Maritim Dunia di Periode Kedua Jokowi. Seminar dibuka oleh Prof. Dr. Sofian Effendi, Ketua Dewan Penasehat The Habibie Center di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Seminar tersebut menghadirkan empat narasumber yaitu, Prof. Rokhmin Dahuri (Guru Besar Kelautan dan peirkanan IPB), Dr. Jaleswari Prordhawardhani (Deputi V Kantor Staf Presiden), Ir. Thomas Darmawan (Apindo), Dr. Muhammad Arif (Peneliti The Habibie Center), serta bertindak sebagai keynote speach Prof. Sjarief Wijaya (Kepala Badan Libang dan SDM Kementerian Kelautan dan Perikanan).
Dalam paparannya, Rokhmin menyebutkan, capaian kinerja kabinet Jokowi periode pertama diantaranya efek jera IUU fishing oleh nelayan asing, dwelling time menurun dari 8,5 hari menjadi 4 hari, logistic performance index membaik sehingga persentase biaya logistik terhadap PDB menurun. Kemudian, program tol laut pada umumnya telah meningkatkan efisiensi angkutan penumpang dan barang antarpulau yang berdampak pengurangan pada disparitas harga barang antara Jawa vs Luar Jawa, serta meningkatnya jumlah wisman dan devisa pariwisata.
"Tapi kinerja ekonomi kelautan dari nelayan dan masyarakat kelautan lain, pertumbuhan ekonomi, kontribusi terhadap PDB, nilai ekspor, pemerataan pembangunan, dan penyediaan lapangan kerja masih jauh dari optimal," ungkap Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kemaritiman ini.
Bahkan kehidupan nelayan dan pembudidaya terutama marikultur dan perairan payau semakin susah. "14 pabrik surimi di Pantura mati suri dan sentra industri pengolahan perikanan di Belawan, Muara Baru, Cilacap, Benoa, Bitung, Ambon, Kaimana, dan Sorong juga mati suri akibat kekurangan bahan baku," beber Ketua umum Masyarakat Akualtur Indonesia (MAI) ini.
Rokhmin bilang, di bawah kepemimpinan Susi Pudjiastuti, banyak industri perikanan yang gulung tikar karena terus-terusan menerbitkan larangan. "Masalah utamanya di ekonomi sektoral hancur lebur. Walaupun dari sudut penegakan hukum saya kira sudah cukup membuahkan hasil. Paling tidak, ada efek jera soal illegal fishing, soal konservasi juga," akunya.
Rokhmin juga menilai Menteri Susi kurang menangkap peluang pengembangan industri perikanan. Salah satunya budidaya perikanan atawa aquaculture. Padahal, potensinya di Indonesia sangat besar. Belum lagi mengenai value edit process, industri pengolahan dan industri bioteknologi juga dinilai belum dikembangkan dengan baik.
"Karena eksekusinya tadi hanya di satu dimensi saja, yakni di dimensi penegakan hukum. Tapi dimensi kesejahteraan dan dimensi ekonomi serta dimensi ipteknya kurang didorong," kritik dia. Apabila dari segi ekonomi, kesejahteraan dan iptek didorong dengan baik, maka pencapaiannya diyakini akan sangat baik.
Kepala Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan KKP Sjarief Widjaja menepis anggapan tersebut. Ia berdaih, efek penegakan hukum di perairan Indonesia sangat positif terhadap keberlangsungan kehidupan nelayan. "Yang terbesar capaiannya adalah, stok ikan sudah meningkat. Tahun 2013 masih 6,5 juta ton, sekarang sejak 2017 bisa mencapai 12,54 juta ton," kata dia.
Peningkatan stok ikan otomatis meningkatkan penghasilan nelayan. Selain itu, nilai tukar nelayan juga melesat dari yang semula 102-103 ke 113-114. Di sisi lain, nilai tukar usaha perikanan juga naik menjadi 127. Alhasi, Sjarief mengklaim, nilai kesejahteraan nelayan saat ini sudah meningkat.
Editor: Tokohkita