Kisah Garuda Sebelum Menjadi Lambang Negara
Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, menjelaskan kisah Adiparwa telah disadur pada masa pemerintahan Dharmmawangsa Tguh pada awal abad ke-9. Kala itu kisahnya diterjemahkan dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno.
TOKOHKITA. Sewaktu para Dewa dan Asura sibuk mengaduk Lautan Susu demi mendapatkan air kehidupan (amrta), Winata bermain tebak-tebakan dengan madunya, Kadru. Siapa yang salah tebak, harus menjadi budak yang menang taruhan. “Coba terka, apa warna ekor kuda Ucchaihsrawa?” kata Sang Kadru.
“Putih,” jawab Winata.
Maka keluarlah kuda Ucchaihsrawa dari dalam lautan yang diaduk. Sesungguhnya jawaban Winata benar adanya. Namun Kadru yang licik meminta anak-anaknya, para ular, untuk menyemburkan bisa ke arah kuda itu. Ekor Ucchaihsrawa yang semula putih, berubah menjadi hitam.
Winata dianggap kalah. Ia pun harus menjadi budak Kadru. Begitu pula putranya, Garudeya yang berwujud burung Garuda itu. Ia ikut diperbudak ular-ular, anak Sang Kadru. Ketika tahu Winata bisa bebas apabila ditebus dengan air amrta, Garu?a pun berusaha mengambilnya di dunia para dewa. Kepada Wisnu ia berjanji, jika diberi air keabadian itu, ia bersedia menjadi kendaraannya. Air amrta pun ia bawa kepada ibu tirinya. Ia tebus Winata dari perbudakan.
Kisah tentang Garudeya itu berasal dari cerita Samuderamantana yang merupakan salah satu episode dalam wiracarita Mahabarata, yaitu Adiparwa. Garis besar kisahnya bertalian dengan dua istri Bhagawan Kasyapa, Winata dan Kadru yang tak kunjung hamil.
Sang Bhagawan pun memberikan tiga butir telur kepada Winata dan 100 telur kepada Kadru. Di antara 100 telur yang dierami Kadru, semuanya menetas menjadi 100 ekor ular. Sementara dari tiga telur yang dierami Winata, hanya satu yang menetas. Ia menjadi makhluk setengah burung, setengah manusia. Ia dinamai Garudeya.
Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, menjelaskan kisah Adiparwa telah disadur pada masa pemerintahan Dharmmawangsa Tguh pada awal abad ke-9. Kala itu kisahnya diterjemahkan dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno.
Kisah itu kemudian banyak diwujudkan dalam bentuk relief pada masa Majapahit, sekira abad ke-14. Contohnya seperti yang terlihat di dinding Candi Kidal, yang pernah direnovasi pada masa keemasan Majapahit oleh Hayam Wuruk. Pun pada Candi Kedaton dan Candi Sukuh.
Ada juga arca Wisnu naik Garu?a yang diperkirakan berasal dari Petirtaan Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Menurut arkeolog Hariani Santiko dalam "Ragam Hias Ular-Naga di Tempat Sakral Periode Jawa Timur", terbit di Jurnal Amerta, arca itu sering dianggap sebagai perwujudan Raja Airlangga. Arcanya menggambarkan Garu?a tengah mencengkeram Naga.
Dwi Cahyono menjelaskan, perjuangan yang dilakukan oleh Sang Garuda merupakan ekspresi bakti anak kepada ibu. Dalam konteks yang lebih luas, kisah itu bisa disebut sebagai bakti kepada ibu pertiwi atau tanah air. Artinya, perjuangan untuk membebaskan tanah air dari penjajahan asing demi meraih kemerdekaan. “Dalam konteks demikian, Sang Garuda tercitrakan sebagai ikon pejuang kemerdekaan,” katanya seperti dikutip dari Historia, Kamis (15/8/2019).
Makna itulah yang kemudian menjadi pertimbangan tim perumus lambang negara Indonesia, di antaranya Moh. Yamin, R.M. Ng. Poerbatjaraka, dan Soepomo.“Teks susastra dan relief cerita tentang Garudeya itu dijadikan referensi bagi penentuan figur lambang negara,” lanjut Dwi.
Ketika mendesain lambang, relief Garuda di Candi Sukuh menjadi inspirasinya. Bentuknya berupa seekor burung Garuda berukuran besar dalam posisi mengepakkan sayap. Kedua kakinya setengah jongkok, mencengkeram dua ekor Naga yang saling membelit dengan arah hadap berlawanan. “Relief ini dalam baberapa hal mengingatkan kita kepada wahana Wisnu pada arca perwujudan Airlangga,” kata Dwi.
Lalu lambang ini juga mirip dengan dua buah arca manusia setengah burung di halaman Candi Sukuh. Arca ini digambarkan dalam posisi berdiri sambil mengepakkan sayap.“Kedua data ikonografis itu dimodifikasi seperlunya dan dipadukan, antara lain dengan mengganti sepasang Naga yang saling membelit dengan pita Bhineka Tunggal Ika,” jelas Dwi. Semboyan ini pun beratus tahun lalu sudah bisa ditemukan dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular.
Editor: Tokohkita