Teddy Syamsuri
Cetak SDM Pelaut Unggul, Butuh Political Will Pemerintah Tanpa Dikhotomi
Saat tahun 2016, ada sekitar 1,2 juta pelaut yang bekerja mengantarkan barang-barang tersebut melalui kapal-kapal niaga, dimana mereka bekerja. Tidak terkecuali termasuk pelaut Indonesia, yang bekerja dikapal-kapal asing di luar negeri saja sudah berjumlah sekitar 200 ribu lebih.
Untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) awak kapal atau pelaut yang unggul, butuh menyadari bahwa SDM pelaut adalah pekerja yang memiliki karakter dan sifat pekerjaan yang berbeda dengan pekerja di industri sektor lain.
Salah satunya adalah jika mereka menyandang status pelaut, sejak naik kapal untuk bekerja secara otomatis sudah terbekali dan memiliki knowledge, skill, attitude and others (KSAO) yang melekat dalam kesejatian dirinya, yang membedakannya dengan pekerja pemula di industri lainnya.
Jika menyadari bahwa hasil survei yang dilakukan oleh berbagai organisasi transportasi internasiol, dimana barang-barang dari satu tempat ke satu tempat lainnya, dari satu negara ke satu negara yang lain, 90 persen dilakukan dengan menggunakan transportasi laut atau angkutan laut, tentunya tak perlu diperdebatkan.
Saat tahun 2016, ada sekitar 1,2 juta pelaut yang bekerja mengantarkan barang-barang tersebut melalui kapal-kapal niaga, dimana mereka bekerja. Tidak terkecuali termasuk pelaut Indonesia, yang bekerja dikapal-kapal asing di luar negeri saja sudah berjumlah sekitar 200 ribu lebih, belum yang bekerja di kapal-kapal niaga nasional yang berlayar di dalam negeri.
Pelaut dengan demikian adalah tenaga kerja maritim yang berada di garis terdepan dan tulang punggung bagi pembangunan perhubungan laut khususnya, dan pembangunan kemaritiman pada umumnya.
Karena begitu pentingnya keberadaan SDM pelaut, dalam Rapat Paripurna DPR pada 8 September 2016, 3 tahun lalu. RUU tentang Pengesahan Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006, atau Ratifikasi Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) yang diajukan pemerintah yang diwakili Menteri Tenaga Kerja sejak 8 April 2016, telah disetujui.
Hal ini terjadi setelah Komisi IX DPR menindaklanjuti keputusan dari Bamus DPR pada 9 Mei 2016, dan menerima surat tugas untuk pembahasan dari Pimpinan DPR pada 20 Mei 2016. Sebelum diajukan ke DPR, pemerintah lebih dulu melakukan proses persiapan yang seksama dengan mempelajari dan memperhatikan setiap akibat yang timbul akibat diratifikasinya MLC 2006, yang seharusnya pada tahun 2013 di era pemerintahan Presiden SBY sudah bisa diratifikasi sesuai masa berlakunya konvensi tersebut. MLC 2006 merupakan standard ketenagakerjaan internasiol yang telah diadopsi pada Sidang ILO ke-94 pada Februari 2006 di Jenewa, Swiss.
Kemudian MLC 2006 berlaku effektif diseluruh negara-negara anggota ILO pada 20 Agustus 2013, setelah 30 negara anggota meratifikasi. Dan sampai September 2016 yang telah meratifikasi, mencapai 79 negara anggota ILO. Berdasarkan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka MLC 2006 perlu disahkan dengan undang-undang. Presiden Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) yang concern segera mensahkan RUU Ratifikasi MLC 2006 ke dalam UU No. 15 Tahun 2016 pada 6 Oktober 2016.
Adanya definisi "seafarer" pada MLC 2006, mempunyai makna awak kapal atau pelaut. Sementara tujuan MLC 2006 adalah dalam rangka memberikan perlindungan kepada pelaut yang tidak berlaku untuk pelaut pada kapal perang atau angkatan laut.
Hal ini terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar pelaut antara lain soal upah, syarat kerja, waktu kerja dan istirahat, perawatan medik, jaminan kesehatan, perekrutan dan penempatan, serta pelatihan dan pengawasan. Hak-hak dasar pelaut ini mempunyai hak yang sama sebagaimana pekerja yang bekerja di darat. UU No. 15 Tahun 2016 tentang Ratifikasi MLC 2006 sebenarnya segala ketentuannya sudah diakomidir dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
PP No. 7 Tahun 2008 tentang Kepelautan, Permenhub No. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, termasuk UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang merupakan wadah kebebasan berserikat untuk pelaut. Dengan demikian UU No. 15 Tahun 2016 dalam implementasinya dibawah pembinaan fungsional Kementerian Tenaga Kerja, dan pembinaan teknisnya dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan.
Jika ada perselisihan hal penegakan hukumnya, hanya bisa diselesaikan pada Pengadilan Negeri Industrial yang merupakan domain Kemenaker dan serikat pekerja pelaut. Dalam Hal ini organisasi Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) yang berdasarkan SK Dirjen Hubla tahun 1975 semasa Laksma TNI Haryono Nimpuno disebutkan wadah tunggal pelaut Indonesia.
Sayangnya hak-hak dasar pelaut Indonesia yang di akses pada 16 April 2014 sebelum MLC 2006 diratifikasi, nasib pelaut masih termarjinalkan. Dan yang di akses pada 20 Juni 2014, masih tetap tersisihkan. Seharusnya ditengah visi Poros Maritim Dunia Presiden Jokowi sejak terpilih dalam Pilpres 2014 dan digulirkan pada Oktober 2014. Nasib pelaut yang termarjinalkan dan masih tersisihkan, mestinya sudah tidak ada lagi.
Namun sekalipun gaung visi Poros Maritim Dunia kurang terdengar jelang periode keduanya Presiden Jokowi. Semoga visi Indonesia Maju yang diyakini masih didorong oleh ruh, jiwa dan semangat visi Poros Maritim Dunia, dengan skala prioritas kebijakan membangun SDM unggul untuk terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tentunya termasuk untuk keadilan sosial dan kesejahteraan bagi pelaut dan keluarganya, adalah suatu keniscayaan. Untuk itulah sangat diharapkan dalam mencetak SDM pelaut yang unggul, sangatlah dibutuhkan political will yang terlepas dari ego sektoral diantara kementerian yang berkompeten, serta tanpa dikhotomi.
Dikhotomi yang dimaksud, adalah yang membedakan pelaut perwira dan rating, serta pelaut yang bekerja dikapal-kapal asing di luar negeri dengan pelaut yang bekerja dikapal-kapal niaga nasional di dalam negeri. Karena dalam MLC 2006 sudah jelas diamanatkan agar hak-hak dasar pelaut mempunyai hak yang sama sebagaimana pekerja yang bekerja didarat. Artinya, jangan ada lagi keluhan "Standard IMO, Gaji Antimo", yang jika tidak segera dibenahi maka kelanjutan visi Poros Maritim Dunia Presiden Jokowi masih berada diawang-awang.
Termasuk program kebijakan pembangunan Tol Laut, tak tertutup kemungkinan akan jalan ditempat malah bisa saja mundur kebelakang, manakala keadilan sosial dan kesejahteraan pelaut kurang diperhatikan. Juga termasuk kehidupan akan kebebasan berserikatnya di organisasi KPI, yang dimohon negara hadir untuk menyelamatkan dan memberdayakan.
Dengan pemerintah selaku pembina eks officio, diharapkan bisa membersihkan lebih dulu oknum kepengurusannya yang sejak 2001 tidak amanah, yang merusak eksistensi organisasi KPI yang sudah berumur 33 tahun. Serikat pekerja yang paling tua di negeri ini.
*Penulis adalah Juru Bicara Komunitas Pelaut Senior.
Editor: Tokohkita