Hari Pangan Sedunia
Pembangunan Ekstraktif dan Krisis Iklim Ancam Kedaulatan Pangan Laut
Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, produksi pangan laut sebanyak 90.9 juta ton. Ini adalah total produksi perikanan tangkap dunia. Jika ditambahkan dengan total produksi perikanan budidaya sebanyak 80 juta ton, maka total produksi perikanan dunia tercatat sebanyak 170.9 juta ton. Dari angka itu, tercatat 151.2 juta ton telah dikonsumsi oleh manusia.
TOKOHKITA. Masyarakat internasional memperingati Hari Pangan Dunia yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober. Peringatan ini penting dilakukan mengingat keberadaan manusia tidak akan bisa dipertahankan tanpa ketersediaan pangan yang berdaulat, berkualitas, adil, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, keberlangsungan pangan laut, penting untuk dipikirkan sekaligus diperjuangkan oleh semua lapisan masyarakat karena mampu memberikan supply pangan bagi tujuh miliar lebih manusia yang menghuni planet ini.
Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, produksi pangan laut sebanyak 90.9 juta ton. Ini adalah total produksi perikanan tangkap dunia. Jika ditambahkan dengan total produksi perikanan budidaya sebanyak 80 juta ton, maka total produksi perikanan dunia tercatat sebanyak 170.9 juta ton. Dari angka itu, tercatat 151.2 juta ton telah dikonsumsi oleh manusia.
“Ini merupakan bukti bahwa pangan laut merupakan sektor strategis dan penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, siapapun penting untuk terlibat memperjuangkan keberlangsungan pangan laut, mulai dari level nasional sampai dengan internasional,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Namun, keberlangsungan pangan laut terus terancam oleh proyek pembangunan ekstraktif yang dibangun di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada level nasional pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi salah satu proyek yang mengancam kehidupan nelayan sebagai produsen pangan laut. Dalam Catatan KIARA, sampai dengan tahun 2028 Pemerintah Indonesia akan membangun lebih dari 60 proyek PLTU dengan dukungan investasi dan utang dari sejumlah lembaga keuangan internasional.
“PLTU sangat tergantung kepada komoditas batu bara yang terbukti mencemari udara dan perairan. Hal ini jelas mengancam ruang hidup nelayan, ekosistem perairan, dan keberlangsungan pangan laut,” tutur Susan.
Tak hanya pembangunan PLTU, proyek pembangunan reklamasi yang tersebar di kawasan pesisir menjadi kontributor utama yang mengancam ruang hidup nelayan serta keberlangsungan pangan laut di Indonesia. Reklamasi jelas terbukti menghancurkan kawasan pesisir, yang merupakan ruang hidup nelayan serta fishing ground. “Berbagai fakta di lapangan, proyek reklamasi di 41 wilayah pesisir terbukti merampas ruang hidup nelayan serta keberlanjutan pangan laut,” tambah Susan.
Hal lain yang mengancam keberlangsungan pangan laut adalah penambangan laut: seperti penambangan pasir, minyak, dan gas. “Proyek penambangan pasir, minyak, dan gas ini dilegalisasi oleh Pemerintah melalui Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Dalam praktiknya, RZWP3K justru sangat berpihak terhadap proyek-proyek ekstraktif yang mengancam keberlanjutan pangan laut,” tegas Susan.
Secara umum, kebijakan Pemerintah di level nasional sangat memprioritaskan investasi. Tetapi pada saat yang sama, tidak memiliki orientasi perlindungan terhadap kehidupan nelayan, sebagai produsen utama pangan laut. Akibat orientasi kebijakan seperti itu, Badan Pusat Statistik (tahun 2017) mencatat, 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional adalah mereka yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan. “Mereka adalah nelayan yang selama ini mendiami pesisir dan pulau-pulau kecil,” imbuh Susan.
Pada level internasional, krisis iklim terbukti mengancam keberlanjutan pangan laut. Krisis iklim merupakan dampak akumulatif dari proyek pembangunan ekstraktif dan eksploitatif pada level global. “Negara-negara industri adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap situasi krisis iklim,” ungkap Susan.
Krisis iklim terbukti mempercepat kenaikan suhu laut yang menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) secara massif dan eksesif. Dalam kondisi ini, reproduksi ikan akan mengalami kesulitan. Dampaknya, dalam jangka panjang produksi pangan laut dipastikan akan mengalami penurunan yang sangat signifikan.
KIARA mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk mengevaluasi berbagai proyek ekstraktif yang terbukti mencemari laut dan mengancam keberlangsungan pangan laut. Tak hanya itu, KIARA mendesak Pemerintah Indonesia serius untuk meminta negara-negara industri menghentikan pembangunan yang menjadi kontributor utama krisis iklim.
“Kami meminta pemerintah Indonesia menghentikan proyek ekstraktif yang terbukti mengancam keberlangsungan pangan laut serta mendesak Pemerintah meminta pertanggungjawaban negara-negara industri untuk menghentikan pembangunan yang merusak iklim global,” pungkas Susan.
Editor: Tokohkita