Johan J Anwari
Meneladani Semangat Jihad dari Hari Santri
- Beranda /
- Parlemen Kita /
- Selasa, 22 Oktober 2019 - 21:38 WIB
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat, Johan J Anwari yang juga dibesarkan sebagai pribadi santri menyadari betul makna di balik momentum Hari Santri.
TOKOHKITA. Kini, setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Adapun penetapan Hari Santri Nasional ini dilakukan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Yang terang, saat ini, Hari Santri menjadi milik umat Islam Indonesia secara keseluruhan.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat, Johan J Anwari yang juga dibesarkan sebagai pribadi santri menyadari betul makna di balik momentum Hari Santri. "Selamat Hari Santri Nasional 22 Oktober 2019," ujar dia pada laman Facebooknya, Selasa (22/10/2019).
Politikus dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kembali menuliskan, sejarah adalah rangkaian peristiwa yang sudah terjadi. Perjuangan para kiai dan santri adalah bukti sejarah. "Di bawah kepemmpinan Rois Akbar Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyech Kyai Haji Hasyim Asy'ari bersama para kiai lainnya menerbitkan Resolusi Jihad," ungkap Sekertaris Gerakan Pemuda (GP) Anshor Jawa Barat ini.
Menurut Johan, Resolusi Jihad merupakan sebuah fatwa agama menyerukan kepada seluruh ummat, rakyat dan bangsa Indonesia untuk berperang mengusir penjajah atawa kolonialism dan mempertaruhkan jiwa-raga untuk melawan, sekaligus mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945. "Resolusi Jihad adalah sebuah kewajiban, peperangan suci, dan mati sebagai syahid," tulis Johan.
Mengutip Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994:52), pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci)
Johan menambahkan, Hari Santri Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta, dimaksudkan untuk meneladani semangat jihad kepada para santri tentang ke Indonesiaan yang digelorakan para ulama dan pendahulu mereka dalam mengusir penjajah. Di sisi lain, keberadaan orang-orang pesantren bisa dibilang kurang diungkap dalam sejarah Revolusi Indonesia.
Bahkan, Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang disusun rezim Orde Baru pada pertengahan 1980-an, misalnya, tak memberi banyak tempat untuk perjuangan kaum santri. Narasi besar era Revolusi dalam pelajaran itu didominasi peran tentara.
Catatan saja, sebelum datang Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, kalangan santri merasa tentara asing akan datang dan perang tak bisa dihindarkan. Di Surabaya yang panas pada akhir Oktober 1945, para kiai pun berkumpul. Mereka mantap berdiri di belakang Republik Indonesia. Setidaknya waktu itu Wahid Hasyim, anak dari Rais Akbar NU Kiai Haji Hasyim Asy'ari, adalah Menteri Agama Republik Indonesia sejak September 1945. Hasyim Asy'ari sendiri merupakan ulama besar yang berpengaruh sejak zaman kolonial hingga pendudukan Jepang.
Editor: Tokohkita