Farouk Abdullah Alwyni
Kenaikan Iuran dan Inkompetensi Manajemen BPJS Kesehatan
Sistim penggajian yang fantastis yang diberikan kepada segenap direksi dan anggota dewan pengawas BPJS. Direksi BPJS bahkan bisa mendptkan gaji sebesar Rp. 200 juta/orang per bulan. Belum lagi beberapa bulan yang lalu Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyetujui penambahan tunjangan cuti tahunan untuk mereka.
Dalam beberapa hari ini, kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan menuai polemik di masyarakat. Adapun kenaikan iuran BPJS Kesehatan berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid ini akan berlaku efektif pada 1 Januari 2020 mendatang.
Untuk peserta mandiri, iuran kelas III naik menjadi Rp 42 ribu dari semula Rp 25.500 per orang per bulan. Iuran kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu. Adapun premi bulanan untuk kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen ini menimbulkan ketidakpuasan di berbagai daerah.
Terkait kenaikan iuran BPJS kesehatan yang dianggap akan memberatkan masyarakat Indonesia, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Pertama, sistim penggajian yang fantastis yang diberikan kepada segenap direksi dan anggota dewan pengawas BPJS. Direksi BPJS bahkan bisa mendptkan gaji sebesar Rp. 200 juta/orang per bulan. Belum lagi beberapa bulan yang lalu Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyetujui penambahan tunjangan cuti tahunan untuk mereka.
Kedua, terkait pembengkakan defisit BPJS Kesehatan dimana akhirnya yang harus menanggung adalah seluruh rakyat dengan disetujuinya kenaikan iuran sebesar 100% oleh Presiden Jokowi. Ketiga, atau yang terakhir, masih banyaknya keluhan peserta terkait layanan BPJS yang masih jauh dibawah asuransi swasta. Tiga hal diatas membuat saya benar-benar tidak habis pikir melihat cara kerja dari orang-orang yang diamanahkan untuk mengelola dana dan institusi publik. Kinerja-nya tidak jelas tidak ada pula “sense of crisis.
Dengan kondisi BPJS Kesehatan yang seperti diatas, bagaimana mungkin Presiden bisa menyetujui rencana kenaikan iuran sebesar 100% yang pada akhirnya akan dibebankan kepada rakyat. Seharusnya yang pertama-tama perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi kritis atas cara kerja dan kinerja Direksi dan Badan Pengawas BPJS Kesehatan, belum lagi banyaknya catatan BPK terkait audit BPJS, dimana masih banyak hal diluar iuran yang masih bisa dilakukan.
Melihat layanan BPJS Kesehatan yang dianggap masih perlu banyak perbaikan disatu sisi, dan disisi lain para direksi mendapatkan remunerasi yang sangat besar sekali, apalagi kalau mengingat mereka semua ini bekerja di institusi layanan publik. Belum lagi jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita rata-rata masyarakat Indonesia yang nota bene-nya adalah para konsumen mereka.
Sebenarnya, kondisi BPJS Kesehatan yang seperti sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari kualitas direksi yang meragukan. Ketika defisit terjadi hanya bisa berfikir menaikkan iuran. Lalu mencari “kambing hitam” bahwa para peserta tidak membayar iuran dengan baik. Seharusnya dengan gaji yang begitu besar mereka bisa lebih cerdas berfikir, bagaimana membuat sebuah mekanisme yang bisa memastikan para peserta melakukan kewajiban pembayaran iurannya dengan baik tanpa harus juga menggunakan tangan-tangan kekuasaan.
Banyak pula “komplain” terkait kinerja BPJS Kesehatan dilapangan mulai dari “secondary second class status” dari BPJS Kesehatan di mata para penyedia sarana kesehatan di sejumlah rumah sakit hingga persoalan tunggakan pembayaran BPJS Kesehatan di rumah sakit-rumah sakit. “Secondary/second class status” ini tidak bisa lepas dari persoalan lamanya pembayaran tunggakan BPJS Kesehatan kepada pihak rumah sakit yang berakibat masyarakat pengguna fasilitas BPJS Kesehatan menjadi pihak yang harus menanggung akibatnya, dengan mendapatkan layanan yang kurang baik.
Saya rasa persoalan BPJS Kesehatan ini perlu mendapatkan perhatian serius semua pihak. Pihak BPJS Kesehatan dan segenap pihak yang terlibat didalamnya, tidak bisa hanya dibiarkan menjalankan institusi penting ini semaunya, dengan kinerja yang buruk tetapi ingin gaji sangat tinggi. Ini adalah bentuk “mismanagement” yg sangat kasat mata.
Salah satu ukuran kinerja yang harus dituntut dari direksi dan pengawas BPJS adalah bagaimana institusi ini bisa dihargai di rumah sakit-rumah sakit, tidak kalah dari asuransi swasta, dan para peserta tidak dinomor duakan dalam mendapatkan layanan kesehatan.
Secara konsep BPJS Kesehatan dituntut untuk bisa memberikan ‘excellent quality health care (kualitas layanan kesehatan yang baik)’ kepada segenap anggotanya, yaitu mayoritas rakyat Indonesia. Jika para direksi dan pengawas BPJS Kesehatan ini tidak bisa memberikan itu buat apa mereka tetap duduk dengan menikmati gaji yang besar? Kenapa negara mewajibkan masyarakat harus mensubsidi “inkompetensi” para direksi dan pengawas BPJS Kesehatan?
*Penulis adalah Chairman Center For Islamic Studies in Finance, Ecinomics & Development (CISFED. yang juga Dosen Perbanas Institute
Editor: Tokohkita