Budi Agustinah
Saya Enggak Mau Kalau Penari Tradisional Itu Disebut dari Kampung Atau Gunung
Ayodya Pala juga patut berbangga atas pengakuan dari Unesco tersebut. Sebab dari dua sanggar tari di Indonesia yang diamati CID hanya Ayodya Pala yang lolos dan berhak mendapatkan sertifikat keanggotan 26619, karena konsisten menyelenggarakan kegiatan kesenian tradisional, dari tari Aceh hingga tari Papua dan menjadi bagian kurikulum pengajarannya.
TOKOHKITA. Tepat 24 April 2020 nanti, Sanggar Tari Ayodya Pala genap berusia 40 tahun. Di usianya tersebut, Ayodya Pala mampu membuktikan kosistensinya dalam menjaga dan mewarisi seni budaya tradisional Indonesia. Di tengah gempuran seni dan budaya asing, Ayodya Pala tidak hanya berhasil melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya tradisional nusantara tapi mengangkat warisan leluhur ini menjadi sebuah industri kreatif.
Rekam jejak Ayodya Pala pun melanglang buana dari Jerman, Korea, China, dan banyak lagi negara lainnya. Alhasil, tahun ini, Ayodya Pala didaulat menjadi anggota Council Dance International (CID) Unesco, dengan nomor keanggotaan 26619. CID merupakan organisasi payung bagi semua bentuk tarian di dunia non pemerintah internasional yang nirlaba, didirikan pada 1973 di dalam organ Unesco.
Ayodya Pala juga patut berbangga atas pengakuan dari Unesco tersebut. Sebab dari dua sanggar tari di Indonesia yang diamati CID, hanya Ayodya Pala yang lolos dan berhak mendapatkan sertifikat keanggotan 26619, karena konsisten menyelenggarakan kegiatan kesenian tradisional secara berkesinambungan, dari tari Aceh hingga tari Papua dan menjadi bagian dari kurikulum pengajarannya.
Tidak hanya itu, Ayodya Pala mendapatkan bantuan APBN 2019 sebesar Rp 2 miliar yang dikucurkan melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Dana hibah ini untuk revitalisasi pembangunan gedung sanggarnya di Jalan Melati, Kelurahan Depok Jaya, Pancoranmas. Ini berkat kontribusi Ayodya Pala yang tidak hanya menjaga dan melestarikan niai budaya tradisional tapi sekaligus menyiapkan kemandirian bagi para siswa binaan dan pekerja seninya.
Adapun di balik esistensi Ayodya Pala hingga sekarang, setidaknya ada dua sosok yang sangat berjasa dalam membesarkan nama sanggar tari ini, yakni Budi Agustinah dan Baas Cichno Sueko. Di sela-sela kegiatan tes persiapan ujian kenaikan tingkat bagi 2.800 siswa yang berasal dari 41 cabang Ayodya Pala di Dmall,Sabtu (23/11/2013), Etin, biasa Budi Agustinah berkisah seputar perjalanan Ayodya Pala.
Yang terang, sanggar ini berdiri dan menjadi rumah kedua bagi pelaku seni berbentuk sebuah yayasan. Di yayasan tersebut pelaku seni aktif dan fokus melestarikan, mengembangkan sekaligus pelatihan bagi seni budaya tradisional Indonesia. Adapun nama Ayodya diambil dari epos Ramayana, yakni tempat Rama dilahirkan, yang mana para kesatria belajar ilmu.
Sedangkan, kata Pala diambil dari Sumpah Palapa Majapahit karena sanggar ini mengajarkan beragam kesenian dari semua daerah di Nusantara. Sanggar yang memiliki moto “Membangun Bangsa Melalui Seni Budaya” ini telah melahirkan banyak penari profesional, pelatih tari, dan pekerja seni. “Kami sedang menyiapkan agenda Gempita 40 Tahun Ayodya Pala untuk April tahun depan. Ayodya Pala genap berusia 40 tahun dan kami ingin memberikan sesuatu yang berbeda dan istimewa,” ungkap Etin. Sayang, ia tak membeberkan lebih detail mengenai konsep acara tersebut.
Ke depan, Etin menuturkan, Ayodya Pala ingin terus berupaya meningkatkan kualitas SDM yang dibinanya, karena secara kuntitas bisa dibilang sudah tercapai. Hingga kini sedikitnya sudah ada 10.000 orang yang belajar seni tari di Ayodya Pala yang cabangnya tersebar di 41 daerah. “Dari ribuan itu, kami menjaring 500 orang yang akan dibina lebih lanjut, diajari manajemen produksi, bisa bikin kostum, sehingga memiliki karakter yang unggul sesuai dengan motto kami Membangun Bangsa Melalui Seni Budaya,” tuturnya.
Lantas nilai-nilai apa yang dipupuk Ayodya Pala kepada peserata didiknya? Pimpinan Ayodya Pala Art Center ini menuturkan, para peserta didik tidak hanya dibekali dengan kemampuan seni tari, olah vokal, modelling dan tata rias panggung. “Kami juga membiasakan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris terutama pada setiap akan pementasan. Saya ingin membuktikan kalau Ayodya Pala bereda dengan sanggar tari lainnya. Saya engak mau kalau penari tradisional disebut dari kampung atau gunung,” sebut wanita berkerudung ini.
Memang, itu bukan isapan jempol belaka kalau jebolan Ayodya Pala cukup bertalenta. Ayodya Pala kerap diundang pentas di berbagai acara penting di dalam negeri maupun mancanegara. Tim dari Sanggar Ayodya Pala juga dipercaya Pala menjadi tenaga pengajar tari tradisional Indonesia pada diklat di Kementerian Luar Negeri, dari Agustus hingga Oktober 2019. Tujuannya, guna mendukung tugas dan fungsi sebagai diplomat, maka peserta diklat perlu dibekali dengan keterampilan yang mendukung pelaksanaan tugas diplomasi, salah satunya penguasaan tari tradisional Indonesia.
Menurut wanita berusia 45 tahun ini, kecintaannya kepada tari tradisional mengantarkannya ke berbagai negara. “Karena kecintaan dan komitmen kuat terhadap seni tari yang membuat Ayodya Pala bisa bertahan sampai saat ini. Kami di Ayodya Pala tidak hanya mengajarkan seni tari dari Aceh hingga Papua, tapi bagaimana menciptakan kesenian tradisional memberikan nilai lebih bagi para pelakunya, bisa membuka peluang kerja juga. Banyak dari penari, pelatihan, pekerja seni mendapatkan job di tempat lain dari mulai pelatih di sekolah sekoah, menjadi MC dan lainnya. Dari talenta yang dimiliki bisa menatangkan penghasilan untuk membiayaai kuliah sendiri atau cicilan motor,” beber Etin.
Bahkan, Ayodya Pala kewalahan memenuhi permintaan dari sekolah di berbagai daerah karena SDM pelatih yang terbatas. Untuk itu, dengan kegiatan pelatihan, tes kenaikan kelas juga menjadi sarana kaderisasi dan menjaring bibit bibit baru yang potensia, sehingga kemampuannya terus diasah dan dikembangkan.
Misalnya pada tes persiapan kenaikan kelas kali ini yang diikuti sebanyak 2.800 siswa yang berasal dari 41 cabang Ayodya Pala. Mereka mengikuti tes persiapan ujian kenaikan tingkat dalam bidang seni tari, musik, vokal, dan tata rias panggung pada 23, 24, 30 November dan 1 Desember 2019. Etin bilang, tes ini merupakan kegiatan rutin untuk melihat kesiapan siswa-siswa dalam menghadapi ujian kenaikan tingkat sesungguhnya yang akan dilaksanakan di Gedung IX FIB Universitas Indonesia pada 5, 12, 19, dan 26 Januari 2020. "Besarnya kepercayaan masyarakat kepada Ayodya Pala membuat kami selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi para siswa, tidak hanya dalam seni tapi juga dalam pembentukan karakter bangsa yang unggul," tuturnya.
Pada akhirnya, bagi Etin, tari tradisional sudan menjadi bagian dari pasion. Pertama mengenal tari pada usia empat tahun. Agustinah melakukannya karena dorongan orangtuanya, H Radikin dan Ny Suminah, keduanya paramedis RSCM Jakarta asal Kroya, Jawa Tengah. Doroangan aya dan ibunya itu yang membuat wanita kelahiran Jakarta 16 Agustus 1962 ini akhirnya jatuh cinta pada seni tari. “Kala itu saya masih kelas I SD,” kenang dia.
Pengalaman pertamanya menari di pentas nasional pada tahun 1977 ketika ikut misi kebudayaan sebagai wakil DKI Jakarta, ke Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Solo. Pada tahun itu Agustinah lulus dari SMPN Depok dan tercatat sebagai siswa teladan se-Kabupaten Bogor. Kala itu Depok, salah satu kecamatan di Kabapten Bogor. Sedangkan pertama kali ke luar negeri ketika dia duduk di kelas I SMA, tahun 1978. Saat itu, dia pentas menari ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Editor: Tokohkita