All Amin
Berbagi Rugi
Bagi saya; tidak masuk akal, bisnis tidak ada rugi. Sehebat apapun teorinya. Sebagus apapun kondisinya. Karena itu melawan sunatullah. Bisnis itu, pasti selalu berganti untung dan rugi. Dan, Rasulullah mengharamkan mengambil keuntungan dari sesuatu yang tidak ada kerugian di dalamnya.
Kawan! Please deh.
Jangan lagi, saya ditawarkan bisnis yang tidak ada ruginya. Yang selalu untung. Sama sekali saya tidak tertarik. Bagi saya; tidak masuk akal, bisnis tidak ada rugi. Sehebat apapun teorinya. Sebagus apapun kondisinya. Karena itu melawan sunatullah. Bisnis itu, pasti selalu berganti untung dan rugi. Dan, Rasulullah mengharamkan mengambil keuntungan dari sesuatu yang tidak ada kerugian di dalamnya.
Apalagi dibumbui kalimat; ini bisnis luar biasa. Dapat uang tanpa kerja keras. Lalu, bisa beli kapal pesiar. Jalan-jalan keluar negeri. Lansung mati rasa, saya mendengarnya. Bualan yang sudah penuhi kuping ini sejak zaman orde baru. Dan, yang dulu berbusa-busa meyakinkan. Sampai sekarang belum tampak ada foto jalan-jalan keluar negerinya.
Saya wirausaha konservatif. Berpikirnya sederhana. Misal; ada modal 10 juta. Dibelikan barang. Atau dibuatkan sarana untuk menjual jasa. Lalu terjadi transaksi. Uang bertukar dengan barang dan jasa. Tumbuh perlahan. Berputar alamiah. Dan, akan selalu bertemu dua kemungkinan. Berkembang atau hilang. Kalau berkembang; Alhamdulillah. Kalau hilang; ya sudah. Itu hukum alam. Dan, nyatanya lebih banyak bisnis yang mati daripada hidup panjang. Penyebabnya seringkali hal-hal yang tidak disangka-sangka. Tidak terduga.
Saya kasih contoh. Yang terbaru. Di dekat rumah ada toko beras. Sudah lama toko itu di situ. Kemarin kena banjir. Kemasukan air hampir dua meter. Barangnya baru diisi. Sekitar 20 ton beras ludes direndam banjir. Sebutir pun tak selamat.
Yang lebih dramatis. Show room mobil bekas. Baru menang lelangan. Belasan unit. Dapat murah. Secara hitung-hitungan akan untung besar. Banyak stok jualan di awal tahun. Malamnya mobil datang. Paginya diterjang banjir. Sekejap, mobil-mobil itu berubah bentuk seperti tumpukan kue gemblong yang baru diangkat dari cairan gula merah. Berlumur lumpur. Semuanya.
Qadarullah. Tak ada yang kuasa melawan. Boleh semangat. Boleh merasa hebat. Kalau tiba giliran nyungsep, ya nyungsep. Maka, selalulah sisipkan keyakinan; kalau berbisnis, harus siap rugi. Ikhlas ketika mengalaminya. Seperti mengikuti pertandingan. Siap menang, siap kalah.
Dan kesiapan kalah itu, harus berbanding lurus dengan hasil yang mau dicapai. Kalau mau untung ratusan juta. Pun harus siap rugi ratusan juta. Kalau mau untung milyaran. Risiko ruginya juga kisaran segitu. Kalau rugi ratusan ribu saja sudah teriak-teriak. Sepertinya Anda belum siap jadi pelaku usaha.
Kalau tidak siap rugi; jangan. Apalagi ketika kongsian. Baiknya detail di awal, perihal pembagian kerugian. Kalau tidak, ujungnya bisa runyam. Saudara bisa menjauh. Kawan jadi musuh. Dan itu menyakitkan.
Berbagi rugi itu sangat tidak mudah. Rumit. Sedikit sekali yang bersedia. Apalagi lembaga keuangan konvensional: sama sekali mereka tidak mau ikut rugi. Sedikitpun. Mereka tampak seperti kawan. Hanya ketika ada keuntungan yang diambil. Kalau sudah kering, lebih sadis dari kalimat satire; ada uang abang sayang. Tak ada uang abang melayang.
Hanya aturan perniagaan sesuai syariat Islam yang mengakomodir berbagi untung dan berbagi rugi. Aturannya fair. Adil. Sesuai siklus alamiah. Pelajarilah.
*Penulis adalah seorang entrepreneaur, salesman dan Owner PT Amco Sejahtera Jakarta
Editor: Tokohkita