Rokhmin Dahuri
Swasembada Garam Rakyat Harus Berorientasi Ekspor
Sejatinya, sejak 2010 Indonesia sudah mampu swasembada garam konsumsi. Namun, hingga kini hampir semua kebutuhan garam industri nasional berasal dari impor.
TOKOHKITA. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan Sosialisasi Nasional Program Pengembangan Usaha Garam Rakyat (Pugar) 2020 di Aston Hotel, Semarang, Kamis (30/1/2019).
Dalam kegiatan ini, Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan IPB Prof Rokhmin Dahuri menyampaikan pemaparan tentang swasembada garam yang menyejahterakan rakyat. Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong dalam Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ini, dengan potensi yang besar, garam rakyat sebaiknya tidak hanya ditujukan untuk mencapai swasembada namun harus mampu berorientasi ekspor.
Sejatinya, Rokhmin menyebutkan, sejak 2010 Indonesia sudah mampu swasembada garam konsumsi. Namun, hingga kini hampir semua kebutuhan garam industri nasional berasal dari impor. Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu menyebutkan, dalam periode 2010-2019, rata-rata kebutuhan garam nasional sebesar 3,5 juta ton per tahun atau lebih besar ketimbang rata-rata produksi nasional yang hanya 1,6 juta ton per tahun.
Tak pelak, impor garam rata-rata sebesar 2,3 juta ton per tahun. “Hampir seluruh kebutuhan garam untuk industri nasional berasal dari impor,” ungkap Rokhmin yang juga Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan itu. Di sisi lain, sebagian besar (84%) produsen garam nasional berupa petambak garam rakyat, dan sisanya dikelola oleh BUMN. Hingga saat ini, produsen garam rakyat hanya menggunakan teknologi evaporasi dengan produktivitas relatif rendah yakni 70-100 ton per hektare per tahun dan kualitas garam yang dihasilkan hampir seluruhnya untuk garam konsumsi dan industri makanan dan minuman (mamin).
Meski Indonesia memiliki garis pantai sekitar 95.000 km atau terpanjang kedua di dunia setelah Kanada dan lahan pesisir (coastal land) yang luas, tetapi yang cocok (suitable) untuk usaha tambak garam hanya sekitar 68.755 hektare. "Itupun yang baru diusahakan sekitar 22.000 hektare atau hanya 30%,” ungkap Duta Besar Kehormatan Jeju Island Korea Selatan ini.
Rokhmin juga menjabarkan hal lain yang memengaruhi rendahnya produktifitas garam nasional menurut adalah kondisi iklim Indonesia yang musim kemaraunya pendek, sekitar empat bulan dalam setahun dan kelembaban tinggi (>70%). Alhasil, produktivitas tambak garam dengan teknologi evaporasi konvensional menjadi rendah, yakni rata-rata 70 ton per hektare per tahun. “Sedangkan di Australia, India, dan negara produsen garam lain mencapai 200-300 ton per hektare per tahun,” sebutnya.
Untuk menjawab persoalan dan tantangan tersebut, Rokhmin meminta pemerintah melakukan berbagai upaya diantaranya pertama, perluasan areal (ekstensifikasi) usaha tambak garam berbasis evaporasi menjadi 30.000 ha pada 2020, 40.000 ha pada 2021, 50.000 ha pada 2022, 60.000 ha pada 2023, dan 70.000 ha di tahun 2024 mendatang.
Kedua, dengan aplikasi teknologi evaporasi mutakhir dan modern seperti ulir filter dan geomembrane. “Kita tingkatkan produktivitas tambak garam dari sekarang 60-70 ton menjadi 120 ton per hektare per tahun,” tukasnya.
Rokhmin bilang, kebijakan pertama dan kedua akan menghasilkan produksi garam nasional sebesar 3,6 juta ton (2020); 4,8 juta ton (2021); 6 juta ton (2022); 7,2 juta ton (2023); dan 8,4 juta ton (2024). "Karena kebutuhan garam nasional saat ini sekitar 3,5 juta ton. Maka, mulai tahun ini kita mestinya mampu swasembada, dengan upaya peningkatan kualitas garam rakyat menjadi garam industri,” ujarnya.
Ketiga, penelitian dan pengembangan aplikasi teknologi produksi garam berbasis non-evaporasi, seperti: deep-shaft mining (batuan garam), solution mining (sumur air garam), rock salt, dan vacuum salt. Keempat, perbaiki dan kembangkan sistem logistik garam nasional. Kelima, Pengembangan produksi garam secara kluster dan terintegrasi.
Keenam, memperbaiki kuantitas dan kualitas data, dan menjadi satu data. Ketujuh, menumpas tuntas kartel dan mafia garam, dan stop impor. Kedelapan, menjadikan garam sebagai komoditas, sehingga bisa dibuat penetapan harga dasar (HPP) yang menguntungkan petambak garam dan sekaligus tidak memberatkan konsumen. Kesembilan, menciptakan kebijakan politik-ekonomi seperti moneter, fiskal, perbankan, iklim investasi, dan RTRW yang kondusif.
Editor: Tokohkita