Lima Tahun Poros Maritim Dunia, Perampasan Ruang Hidup Terus Terjadi
Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, sepanjang lima tahun kebijakan poros maritim dunia, perampasan ruang hidup terus terjadi. Alih-alih menjadi aktor utama dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan, lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan harus berhadapan dengan ekspansi investasi yang terus merangsek ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
TOKOHKITA. Sejak digaungkan pada kampanye pemilihan Presiden tahun 2014, dan dimasukkan oleh Presiden Joko Widodo ke dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2015-2019, poros maritim dunia menjadi arah baru penataan ruang laut sekaligus kebijakan perikanan nasional. Di dalam konsep poros maritim dunia, nelayan adalah aktor utama dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Namun, apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat pesisir sepanjang lima tahun kebijakan poros matirim dunia?
Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, sepanjang lima tahun kebijakan poros maritim dunia, perampasan ruang hidup terus terjadi. Alih-alih menjadi aktor utama dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan, lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan harus berhadapan dengan ekspansi investasi yang terus merangsek ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sejumlah proyek pembangunan pariwisata yang didorong dalam skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional telah berdampak buruk bagi masyarakat yang tinggal di kawasan Mandalika NTB dan Labuan Bajo NTT. “KIARA mencatat lebih dari 4 ribu jiwa terdampak proyek pariwisata di Labuan Bajo. Sementara di Mandalika, lebih dari 45 ribu nelayan kehilangan ruang tangkapnya,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.
Lebih jauh, sebaran proyek reklamasi yang terus bertambah sejak tahun 2016 telah menyebabkan lebih dari 700 ribu keluarga nelayan kehilangan ruang tangkapnya. Proyek ini dipastikan akan terus bertambah pada waktu-waktu yang akan datang, karena pemerintah mendorong kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai lokus investasi baru. Tak hanya itu, proyek pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil telah terbukti merampas ruang hidup lebih dari 35 ribu keluarga nelayan.
Pada saat yang sama, sampai dengan akhir tahun 2019 Pemerintah Indonesia mendorong dan mempercepat penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di 22 Provinsi di Indonesia. Sisanya, ada 12 provinsi lainnya yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.
Namun, dari 22 peraturan zonasi yang telah disahkan, ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak utama tak mendapatkan porsi yang adil. Peraturan zonasi itu harus ditolak karena sejumlah alasan. Pertama. tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kedua, alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya.
Ketiga, penyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis. Keempat, dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut. Kelima, mencampuradukan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.
“Dampak dari disahkannya RZWP3K adalah perampasan ruang hidup lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan secara sistematis dan dianggap legal. Pada titik ini, poros maritim dunia terbukti gagal melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir,” tegas Susan.
Kini, meski sudah tak menyebut lagi terminologi “Poros Maritim Dunia” pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi sesungguhnya masih melanjutkan semangat poros maritim dunia, yaitu menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai lokus investasi skala besar. Satu hal yang tidak mengherankan jika muncul gagasan untuk menyusun UU sapu jagad, yang dikenal dengan omnibus law.
Sepanjang 2014-2019 Jokowi menilai arus investasi di Indonesia terhalang oleh banyak serta tumpang-tindihnya aturan. Karena kondisi ini, negara-negara tetangga seperti Vietnam lebih dilirik untuk investasi. Berpijak dari pandangan tersebut, Jokowi akan menyederhanakan berbagai peraturan demi melayani kepentingan investasi. Penyederhanaan aturan demi melayani investasi ini yang menjadi semangat utama ombinus law.
Dalam konteks ini, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan menjadi lokus investasi baru. Akan banyak terjadi konflik dan perebutan ruang laut pada masa-masa yang akan datang. “Jika ruang-ruang di daratan telah habis karena telah dijadikan lokus investasi untuk perkebunan skala besar, tambang, properti, dan lain sebagainya, maka ruang laut diasumsikan sebagai wilayah tak bertuan dan oleh karenanya siap untuk diokupasi oleh kepentingan investasi skala besar.” kata Susan.
Pada titik inilah, keberadaan nelayan, perempuan nelayan, dan seluruh masyarakat pesisir lainnya hanya akan menjadi korban pembangunan, sebagaimana terjadi selama ini. Mereka adalah produsen utama perikanan di Indonesia yang membawa ikan dari laut ke meja makan kita, mereka adalah pahlawan protein bangsa, mereka adalah penjaga laut serta berbagai ekosistemnya.
“Jika keberadaan mereka terancam oleh ekspansi investasi, maka kita akan mengalami keterancaman yang sangat serius dalam hal kedaulatan pangan laut. Akhirnya, kita akan terasing dengan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang merupakan identitas penting bangsa ini,” pungkas Susan.
Editor: Tokohkita