Marwan Jafar
Urgensi Competitive Intelligence BUMN
Tiba saatnya kini rakyat dan pemerintah merumuskan kebijakan publik intelijen daya-saing guna mendukung kinerja dan daya-saing BUMN-BUMN kita. Bidangnya antara lain meliputi teknologi, legal, komersial, karya masyarakat, pasar, inovasi, riset produk, pengembangan usaha dan perubahan lingkungan bisnis yang mesti kita yakini akan membawa manfaat bagi bangsa dan negara seperti teramanatkan oleh Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
Pada forum resmi di depan para anggota Sidang Bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR Senayan, dalam acara Pidato Kenegaraan 2019 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan kebijakan pemerintah khususnya terkait tekad mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar menjadi pemain kelas dunia, meraih reputasi internasional, dan melakukan ekspansi yang bersifat from local to global.
Sebagai peta gambaran dua dekade terakhir atau sejak bubarnya imperium blok politik di Timur (Komunisme) Uni Soviet tahun 1991, dinamika lingkungan bisnis skala global mendorong kemunculan serentak yang disebut booming intelijen daya-saing atau competitive intelligence, CI (Hitt Ireland, 2000). Mengapa ini terjadi? Sebab, para pelakunya meyakini bahwa faktor manajemen informasi akan sangat signifikan buat menentukan keberhasilan dan efektivitas manajemen suatu perusahaan, maupun kinerja portofolio investasi, dan perdagangan di pasar dunia (Shaker, 1999; Fleisher, 2000). Termasuk faktor kecepatan terjadinya perubahan dan ekspansi bisnis global juga menuntut tersedianya keakuratan kualitas informasi dan strategi daya-saing sebuah perusahaan (Kahaner, 1996; West, 2001).
Dalam konteks terjadinya perubahan dan strategi bisnis perusahaan, pada Mei 2010 Ian Bremmer, pendiri Eurasia Group di 1998--sebuah lembaga riset dan konsultasi risiko ekonomi-politik global di New York, Amerika Serikat--merilis buku bertitel The End of the Free Market: Who Wins the War Between States and Corporations. Di buku tersebut Bremmer menegaskan bahwa akhir-akhir ini pemain utama bisnis pasar dunia telah bergeser dari pemilik modal kalangan swasta ke pemilik modal oleh pemerintah atau negara. Bentuk atau sarananya melalui empat entitas perusahaan, yaitu perusahaan energi, BUMN, perusahaan nasional 'milik swasta', dan dana milik negara. Sehingga konsekuensinya elit pemerintah suatu negara berkemungkinan mendominasi pasar guna meraih keunggulan atau menggunakan pengaruh politik yang bisa memicu distorsi-distrosi pasar, friksi politik hingga perubahan terhadap pasokan mata rantai atau supply chains pasar global di awal abad 21 (Mary Amiti, 2019).
Yang menarik, salah satu aktor penggerak arus baru empat model perusahaan global itu adalah negara atau pemerintah Tiongkok. Sejak tahun 2000, Tiongkok sudah menerapkan kebijakan 'Go Global' BUMN dan sekaligus berperan sebagai 'pembela negara' yang mengalirkan investasi Tiongkok ke pasar dunia (Lin, 2013). Sedangkan menurut hasil observasi Hao Liang pada 2015 terhadap 2.394 perusahaan publik di Tiongkok terungkap data--di mana 92 persen dari perusahaan itu terdaftar di Pasar saham Shanghai dan Shenzhen--bahwa pada rentang tahun 2001-2011 ditemukan fakta pemerintah Tiongkok mengendalikan BUMN 'go global' melalui dua mekanisme yakni kontrol kepemilikan negara dan koneksi jaringan politik-eksekutif Tiongkok.
Intelijen Daya-Saing
Secara historis, ternyata sudah sejak tahun 1956, otoritas pemerintah Tiongkok membentuk suatu Sistem Informasi Ilmu Pengetahuan dan Keteknikan (Scientific and Technical Information System, STIS) yang menginduk ke Komisi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional atau National Science and Technology Commission (Miao, 1993). STIS bertugas menyediakan intelijen sains, riset, teknologi, proyek, dan rencana strategis ke pemerintah Tiongkok. Sampai tahun 2000, STIS mempekerjakan 80.000 karyawan di sel-sel dan situs-situs informasi di seluruh negara Tiongkok.
Perkembangan hingga tahun 1986, pemerintah Tiongkok juga telah membentuk unit intelijen ekonomi di Komisi Perencanaan Nasional yang mempekerjakan total 10.000 karyawan pada posisi tahun 1990-an. Yang jelas, kedua kebijakan dan program tersebut telah menjelma menjadi pilar-pilar dasar intelijen daya-saing Tiongkok hingga awal abad 21 (Yan, 2004). Artinya, berkat kinerja intelijen daya-saingnya Tiongkok bisa berubah menjadi pemain utama pasar global. Ambil contoh, kinerja BUMN Tiongkok melalui subsidiari China Harbour Engineering Company mampu memberi pinjaman 1,4 miliar dolar AS kepada Sri Lanka (Tavernini, 2019). Lihat juga melalui program Belt and Road Initiative-nya, pemerintah Tiongkok meminjamkan 4 miliar dolar AS ke infrastruktur jaringan kereta api Addis Ababa-Djibouti di Ethiopia. Menyusul kemudian kongsi China-Pakistan Economic Corridor yang juga menggelontorkan investasi senilai 62 miliar dollar AS di Pakistan (Mark Akpaninyie, 2019).
Selain itu, model baru pemain pasar global asal Tiongkok tersebut terus melaju. Mereka mengalirkan investasi ke 70 negara seperti Kongo, Angola, Zambia, penyulingan minyak di Kyrgyzstan, hingga 30 kasino di Sihanoukville Kamboja (John Pomfret 2018). Tahun 2013, melalui investasi 1,5 miliar dollar AS, BUMN Bank of China bahkan mengambil-alih sebuah perusahaan teknologi militer yang dikenal mempunyai presisi tinggi di Michigan, Amerika Serikat yaitu perusahaan otomotif Henniges (Peter Schweizer 2018). Di kawasan Asia, Jepang juga telah merintis kultur intelijen daya-saing yang bersinergi dengan agen-agen intelijen terlatih pemerintah dan perusahaan swasta pasca Perang Dunia II. Fokusnya ialah informasi kondisi-kondisi khusus seluruh dunia yang dianalisis dan diseminasi ke pimpinan bisnis di Jepang (Kahaner 1996).
Pimpinan bisnis Jepang secara cepat dan tepat senantiasa meraih peluang dan merespons tantangan lingkungan strategis bisnis global (Andrew M. Hare, 2010). Maksudnya, meskipun Jepang kalah sewaktu Perang Dunia II, namun mampu menjadi 'adidaya' di bidang sains, teknologi, industri, dan nilai-budaya hingga abad 21. Sebaliknya, seperti ironis imperium Uni Soviet akhirnya bubar karena rapuh di bidang soft-power negara yakni sains, teknologi, industri, dan nilai-budaya sebagai pembentuk utama karakter sumber daya manusia.
Kebijakan Publik
Sampai di titik ini, cukup jelas betapa negara-negara yang mampu bersaing dengan gagah di pasar global pada awal abad 21 umumnya memiliki kebijakan publik intelijen daya-saing alias competitive intelligence, CI yang bagus. Kenyataan itu dimulai sejak akhir 1980-an dan dipelopori oleh Jepang, Swedia, Israel, AS, Korea Selatan, Belgia, Perancis dan Kanada (Calof 1998; Meyer 1987; Choate 1990).
Menyusul kelompok negara perintis dan pengembang CI sejak akhir 1990-an, seperti Tiongkok (Tao and Prescott, 2001), Korea, Afrika Selatan dan Australia (Bensoussan, 2003). Sedangkan Kanada, Belgia, dan Swiss merintis kebijakan CI juga buat kalangan pebisnis usaha kecil dan menengah (Bègin 2007; Larivet 2012). Sementara itu di kawasan Eropa, Perancis tercatat pertama kali menerapkan kebijakan CI pada tahun 1994 juga buat mendukung kinerja dan daya-saing usaha kecil dan menengah (UKM) melalui kemitraan antara pemangku kepentingan UKM-Pemerintah, usaha, dan masyarakat di seluruh Prancis. (Clerc 2004). Di sisi lain, akhir abad 20 Inggris juga sudah menerapkan kebijakan CI melalui sebuah laporan resmi terkait masalah tersebut (white papers) khususnya tentang pembangunan ekonomi berfondasi ilmu pengetahuan ekonomi (Wright 2002).
Dalam pada itu, menurut hasil survei penulis yang dilakukan terhadap praktik intelijen daya-saing oleh 100 perusahaan ritel di Jakarta (tesis, 2016), menemukan data bahwa perusahaan ritel umumnya memahami dan menerapkan unsur-unsur intelijen daya-saing atau CI, meskipun belum memiliki divisi CI. Penulis juga memperoleh data, tahun 2015 industri ritel di Indonesia menyerap 13.700.000 pekerja pada 31.230 outlet mulai dari yang bekerja di mini-market, supermarket, hypermarket, department store, hingga whole-sale. Total omzet pada tahun yang sama berkisar Rp 184 triliun.
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, penulis berpendapat atau berkesimpulan tiba saatnya kini rakyat dan pemerintah merumuskan kebijakan publik intelijen daya-saing guna mendukung kinerja dan daya-saing BUMN-BUMN kita. Bidangnya antara lain meliputi teknologi, legal, komersial, karya masyarakat, pasar, inovasi, riset produk, pengembangan usaha dan perubahan lingkungan bisnis yang mesti kita yakini akan membawa manfaat bagi Bangsa dan Negara seperti teramanatkan oleh Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
*Penulis adalah anggota Komisi VI DPR Fraksi PKB
Editor: Tokohkita