Bukan Berdamai, Tapi Berjuang Bersama Melawan Covid-19
Laporan yang dikumpulkan LaporCovid-19 dari chatbot laporan warga juga menunjukkan bahwa keramaian masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia selama PSBB. Mulai dari kegiatan berkumpul di ruang-ruang publik dan jalan, aktivitas ekonomi, hingga kegiatan ibadah yang mengabaikan penerapan pembatasan fisik.
TOKOHKITA. Kita semua tentu berharap, pandemi Covid-19 bisa segera berakhir. Namun kita sepertinya perlu mempersiapkan diri dan menghadapinya dalam waktu yang lama. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan, pandemi ini kemungkinan belum bisa diatasi dalam waktu dekat. Bahkan, muncul kekhawatiran, virus ini bakal menjadi endemik atau terus bersirkulasi pada populasi manusia sampai ditemukannya vaksin yang efektif dan diterapkan secara massal.
Melihat dinamika ini, Pemerintah Indonesia telah meminta masyarakat untuk mengubah perilaku dan menyesuaikan diri dengan berdamai dengan virus korona baru ini. Dalam siaran pers pada Sabtu (16/5), Juru Bicara Gugus Tugas Achmad Yurianto mendefinisikan, pola hidup baru itu di antaranya agar masyarakat agar melakukan kehidupan normal, yang diimbangi dengan upaya membiasakan untuk mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, menghindari kerumunan, dan tidak keluar rumah jika tidak perlu.
Sekalipun menyatakan belum melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun aktivitas masyarakat sudah kembali ramai. Antrean panjang dengan melibatkan massa dalam jumlah besar terjadi Bandara Soekarno-Hatta pada Kamis lalu, seiring dengan pembukaan kembali penerbangan. Sebelumnya, keramaian massa dalam jumlah besar juga terjadi di salah satu gerai makanan siap saji di Jakarta.
Laporan yang dikumpulkan LaporCovid-19 dari chatbot laporan warga juga menunjukkan bahwa keramaian masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia selama PSBB. Mulai dari kegiatan berkumpul di ruang-ruang publik dan jalan, aktivitas ekonomi, hingga kegiatan ibadah yang mengabaikan penerapan pembatasan fisik.
Selain mengeluhkan longgarnya PSBB di sejumlah daerah, warga juga mengeluhkan layanan kesehatan, penyaluran bantuan sosial (bansos), serta dampak Covid-19 lainnya. Dari salah satu area perumahan Waena Papua misalnya, warga mengeluhkan tidak mendapatkan bantuan apa pun dan bahkan listrik tidak menyala.
Sejumlah negara di Asia dan juga Eropa saat ini telah bersiap memasuki transisi pada kondisi "new normal" atau kehidupan normal yang baru ini dengan kembali beraktivitas dan melonggarkan intervensi. Melihat dinamika ini, WHO Regional Office for Eropa, telah mengeluarkan pernyataan tentang syarat yang harus disiapkan transisi menuju "new normal" ini.
Dalam panduan tersebut, pola hidup seperti cuci tangan dan memakai masker, menjadi bagian komplementer dari syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu ketersediaan data yang akurat dan transparan bahwa wabah bisa dikendalikan. Selain itu, yang sangat penting adalah negara tersebut memiliki kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk ketersediaan rumah sakit untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina mereka yang terinfeksi, menekan risiko wabah, serta memastikan penerapan langkah-langkah pencegahan di tempat kerja, selain juga memastikan komunitas memiliki suara dan terlibat dalam transisi.1
Jelas terlihat bahwa, negara harus mempersiapkan diri dengan baik dengan berbagai prioritas kesehatan sebelum kembali membuka aktivitas ekonomi dalam kondisi "new normal". Terkait pendataan ini, kami dari LaporCovid-19 melihat bahwa pemerintah Indonesia belum memiliki data akurat yang disampaikan secara transparan yang menghambat kerja pemerintah dalam mengendalikan transmisi Covid-19.
Pemeriksaan massal Covid-19 juga masih menjadi hambatan utama. Data yang dianalisis LaporCovid-19 menunjukkan, jumlah orang yang diperiksa rata-rata masih di bawah 5.000 orang per hari (lihat grafis Orang yang Diperiksa dengan Pemeriksaan Molekuler). Selain minimnya pemeriksaan, proses pelaporan hasilnya juga masih sangat lambat. Laporan warga yang masuk di chatbot LaporCovid19 misalnya, ada warga Bekasi yang mengeluhkan sudah dua minggu menunggu hasil tes swab yang tidak juga kunjung keluar.
Kami juga masih melihat, data-data kematian yang dilaporkan pemerintah masih underreporting dan belum mengacu pada pedoman WHO terkait pelaporan korban. Seperti dilaporkan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 pada Sabtu (16/5), jumlah kasus positif mencapai 17.025 dengan korban meninggal sebayak 1.089. Jumlah kasus ini bertambah 529 dibandingkan dengan sehari sebelumnya dan korban meninggal bertambah 13 orang.
Namun demikian, data yang dikumpulkan LaporCovid-19 menunjukkan, jumlah kematian terkait Covid-19 kemungkinan jauh lebih banyak dari laporan resmi pemerintah pusat ini. Hal ini karena data kematian yang dilaporkan pemerintah pusat hanya mencantumkan jumlah yang meninggal setelah terkonfirmasi positif melalui tes molekuler PCR.
Mengacu ke panduan terbaru WHO tentang pencatatan kematian terkait Covid-19 (per 11 April 2020), maka seharusnya jumlah kematian Covid-19 selain korban yang telah terkonfirmasi positif melalui tes (molekuler), juga meliputi orang yang meninggal dengan gejala klinis diduga Covid-19, sampai ada bukti ada penyebab lain (misalnya karena benturan). Untuk konteks Indonesia, orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal dunia, seharusnya juga dilaporkan.
Berdasarkan pencatatan data kematian terkait Covid-19 hingga 15 Mei 2020, tim relawan berhasil mengumpulkan data dari 18 provinsi, yaitu Banten, Bengkulu, DIY, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, NTT, Riau, Sulawesi barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Sumatera Utara. Data menunjukkan, jumlah kematian ODP/PDP rata-rata tiga kali lebih besar dari angka kematian positif Covid-19. Total kematian ODP/PDP dari ke 18 provinsi ini adalah 3.833, sedangkan data kematian positif Covid-19 sebesar 1.015. Jika diakumulasi, angka total kematian karena Covid19 di Indonesia hingga saat ini minimal mencapai 4.8482.
Jika dibandingkan dengan data kematian yang berhasil dikumpulkan di tujuh provinsi per minggu lalu (9 Mei 2020), terlihat tren jumlah ODP/PDP yang meninggal masih lebih tinggi dibandingkan dengan yang meninggal setelah dites dengan hasil positif. Peningkatan laju kematian ODP/PDP ini lebih tinggi dibandingkan dengan laju penambahan kematian yang positif (Lihat grafik perbandingan). Kondisi ini menunjukkan, minimnya dan lambatnya pemeriksaan menyebabkan orang-orang yang diduga Covid-19 meninggal sebelum diperiksa.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka LaporCovid-19 merekomendasikan:
1. Pemerintah dituntut menekan penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia dengan menjalankan tugasnya melalui memperbanyak tes PCR dan mempercepat proses pelaporan, penelusuran kontak dengan pasien positif, dan penegakan karantina selama minimal 14 hari terhadap mereka yang diduga telah terinfeksi. Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa kapasitas sistem kesehatan di semua daerah memadai untuk perawatan pasien Covid-19. Tanpa dipenuhinya syarat ini, PSBB seharusnya belum bisa dilonggarkan.
2. Keputusan untuk transisi menuju "new normal" dengan membuka kembali aktivitas ekonomi harus didasari pada indikator yang terukur dengan data-data yang bisa dipercaya secara ilmiah dan transparan.
3. Pemerintah dituntut mengikuti panduan WHO dalam melaporkan korban Covid-19 dengan memasukkan ODP/PDP yang meninggal.
Editor: Tokohkita