Rokhmin Dahuri
Puasa, Taqwa, dan Kemajuan Bangsa
Akhirnya, di bumi Pancasila ini para pemimpin bangsa dan elit politik harus menciptakan ekosistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang kondusif untuk penduduk negeri ini beriman dan bertaqwa menurut agamanya masing-masing. Lebih dari itu, antar umat beragama harus saling menghormati, dan hidup harmonis.
Seluruh rakyat Indonesia mendambakan kehidupan bernegara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Alhamdulillah sejak merdeka 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Namun, dengan pendapatan nasional kotor (Gross National Income, GNI) per kapita US$ 3.970 pada 2019 (sebelum wabah covid-19), Indonesia hingga kini masih tergolong ke dalam kelompok negara berpendapatan-menengah bawah. Menurut Bank Dunia (2010), suatu negara berhak menyandang status sebagai negara makmur (berpendapatan tinggi), bila GNI perkapitanya lebih dari US$ 12.165 per tahun.
Sebagai perbandingan, GNI perkapita Singapura sudah mencapai US$ 58.770, Brunei Darussalam US$ 31.020, Malaysia US$ 10.460, dan Thailand US$ 6.610. Selain itu, bangsa yang maju dan sejahtera memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diatas 80 (very high Human Development Index). Hingga tahun lalu, IPM Indonesia hanya sebesar 70,5 (high HDI) yang menempati peringkat-111 di tingkat dunia, dan keenam di ASEAN, setelah Singapura (peringkat-9 dunia), Brunei Darussalam (ke-43), Malaysia (61), Thailand (77), dan Pilipina (106) (UNDP, 2019).
Padahal, Indonesia memiliki potensi yang lengkap dan besar untuk menjadi negara maju nan makmur. Kekayaan alam yang terdapat di darat maupun laut begitu beragam dan melimpah; 270 juta orang penduduknya (terbesar keempat di dunia) menawarkan potensi pasar domestik yang luar biasa besar; dan posisi geoekonominya terletak di jantung rantai pasok global (global supply chain), dimana sekitar 45 persen dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai rata-rata US$ 15 trilyun per tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2014).
Oleh sebab itu, pasti ada yang salah dengan bangsa kita. Dan, salah satu kesalahan (kelemahan) utama itu adalah masih rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) kita. Selain IPM yang belum mencapai nilai 80, hampir semua indikator yang menggambarkan kualiats SDM bangsa kita tergolong rendah, belum memenuhi kriteria sebagai bangsa maju. Kemampuan literasi kita masih sangat rendah, tercermin pada indeks minat baca yang hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya seorang yang rajin membaca (UNESCO, 2012). Kemudian, pada 2016, Central Connecticut State University merilis laporan hasil risetnya berjudul ”The World’s Most Literate Nations” yang menempatkan Indonesia pada peringkat-60 dari 61 negara yang diteliti.
Hanya satu tingkat diatas Boswana, negara sangat miskin di Benua Afrika. Hasil penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam pelajar setingkat SLTP di seluruh dunia, mengungkapkan bahwa pada 2015 dari 70 negara yang disurvei, Indonesia hanya menempati peringkat-62. Produktivitas tenaga kerja kita pun hanya setara dengan US$ 23.390 per tahun.
Jauh dibawah Singapura US$ 141.227, Malaysia US$ 56.084, dan Thailand US$ 27.101 (WEF, 2018). Kapasitas inovasi bangsa Indonesia baru menempati peringkat-85 dari 126 negara yang disurvei, dan pada urutan-7 di ASEAN. Singapura pada peringkat-5, Malaysia ke-35, Thailand ke-44, Vietnam ke-45, Brunei Darussalam ke-67, dan Pilipina ke-73 (Global Innovation Index, 2018). Kita pun menghadapi darurat gizi buruk, karena sekitar 30 persen anak balita mengalami stunting growth dan 33 persen menderita gizi buruk. Jika tidak segera diperbaiki, maka kita akan mewariskan generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.
Yang pasti, fakta empiris dan sejarah telah membuktikan bahwa semua negara yang maju dan makmur sejak zaman kedigdayaan Romawi, era keemasan Umat Islam (7 M – 16 M), hingga hegemoni Kapitalisme Barat di zaman kontemporer ini, kuncinya adalah kualitas SDM yang unggul, bukan karena melimpah ruahnya SDA.
Berkah Puasa Ramadhan
Sejatinya Allah Azza wa Jalla yang menciptakan manusia dan alam semesta, dengan gamblang memberikan pedoman (kunci) untuk membuka pintu langit agar suatu bangsa bisa maju dan sejahtera, ‘baldatun toyyibatun warobun ghafur’. Kunci tersebut adalah taqwa. Sebagaimana firman-Nya, “Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi ….” (QS. Al-A’raf: 96).
Wujud nyata dari berkah dalam konteks kehidupan berbangsa adalah kemajuan, kejehateraan, kedamaian, dan kedaulatan. Taqwa juga menjamin orang yang mengamalkannya dengan kesuksesan dan kebahagian hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Sebagaimana Allah tegaskan dalam Al-Qur’an Surat At-Talaq, bahwa “ … barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya” (ayat-2); “memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dan mecukupkan keperluannya …” (ayat-3); “menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya” (ayat-4); dan “menghapus kesalahan-kesalahannya dan melipatgandakan pahala baginya” (ayat-5). Selain itu, Allah berfirman “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan hanya bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali-‘Imran: 133).
Menurut jumhur para ulama, bahwa taqwa adalah mengerjakan semua perintah Allah, dan meninggalkan setiap larangan-Nya. Harus dicatat, bahwa perintah Allah itu bukan hanya berupa sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah mahdhah lainnya. Tetapi, juga yang terkait dengan muamalah (kesalehan sosial) seperti mengais rezeki secara halal, konsumsi makanan yang halal lagi baik, hidup bersih, menuntut dan mengamalkan IPTEK, bekerja keras, jujur, ikhlas, disiplin, menyayangi sesama, toleran, merawat dan melestarikan llingkungan, dan amal saleh lainnya.
Larangan pun, bukan hanya mencuri, berzina, minuman keras, judi, dan narkoba. Tetapi juga malas, bohong, dzalim, dengki, marah, kikir, dan kemaksiatan serta etos kerja buruk lainnya. Muslim yang memiliki iman yang kokoh, terutama kepada Allah SWT dan akhirat, pasti akan bertaqwa. Pasalnya, jika tidak taqwa, dia akan menjadi penghuni neraka. Dan, sikasaan yang paling ringan di neraka adalah seperti ‘seorang dipakaikan sandal, lalu yang mendidih ubun-ubunya’ (Hadits).
Maka, wajar ketika Umat Islam beriman dan taqwa secara kaffah (menyeluruh) dan ‘itibba (menurut yang dicontohkan oleh Rasulullah saw) sejak zaman Rasulullah saw, Fatukh Mekah (7 M) sampai 16 M, Umat Islam menggapai masa keemasannya. Menjadi maju, sejahtera, berdaulat, dan menguasai lebih dari dua per tiga dunia. Negara dan pemerintah mengeluarkan kebijakan, program pembangunan, dan regulasi dilandasi oleh azas kemanusiaan dan keadilan bagi semua penduduk.
Hak-hak beragama dan beribadah warga negara non-muslim (Yahudi, Kristen, dan lainnya) sangat dilindungi. Hubungan antar pemeluk agama berjalan harmonis dan damai. Pada saat itu, di seluruh wilayah muslim tidak ada fakir-miskin, semua hidup sejahtera dan berkeadilan. Sehingga, zakat, infaq dan shodaqoh diekspor ke luar negeri. Budaya membaca, riset, dan IPTEK berkembang luar biasa pesat. Hasil invensi dan inovasi IPTEKS ilmuwan muslim di bidang matematika, aljabar (algoritma), bilangan biner, fisika, kimia, biologi, astronomi, kedokteran, tata negara, dan seni bahkan telah membuka jalan bagi kebangkitan (renaisance) peradaban Barat, yang kala itu dalam kegelapan (dark ages) (Wallace-Murphy, 2006).
Diantara ilmuwan muslim yang namanya harum dan abadi sampai sekarang adalah Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi saw, ilmuwan pelopor etos ilmiah), Al-Khawarizmi (Bapak Aljabar dan algoritma), Al-Battani (astronom penemu waktu 24 jam per hari), Ibnu Farnas (designer pertama pesawat terbang), Ibnu Khaldun (ilmu tata negara), dan Umar Khayyam (penyair yang merintis geometri analitis). Ilmuwan muslim berkelas dunia lainnya adalah Ibnu al-Haitsam dalam ilmu optik, al-Biruni selaku pelatak dasar metoda ilmiah, al-Khazini penemu teori gravitasi jauh sebelum Isaac Newton, dan Ibnu Batutah peletak dasar oseanografi (ilmu kelautan). Di bidang ilmu kedokteran, ada Ibnu Sina (Bapak ilmu medis), al-Razi, Abu al-Qasim al-Zahrawi, dan Ibnu Nafis.
Paradoks Kehidupan Muslim
Karena maksud Allah mewajibkan orang beriman untuk mengerjakan ibadah puasa Ramadhan adalah agar menjadi orang yang taqwa (QS. Al-Baqarah: 183), maka mestinya kualitas SDM Indonesia sudah sangat unggul dan Indonesia pun sudah menjadi negara maju dan sejahtera. Bayangkan, andaikan 230 juta muslim Indonesia (87% total penduduk) semuanya taqwa, niscaya Indonesia sudah mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya.
Pertanyaannya kemudian, mengapa sudah 74 kali muslim Indonesia berpuasa Ramadhan sejak 1945, tetapi Indonesia masih sebagai negara berkembang. Pertama, karena menurut sebuah survey (2017) bahwa muslim Indonesia yang menjalankan shalat lima waktu hanya 25 persen dan puasa Ramadhan hanya 50 persen. Dari jumlah tersebut, ditenggarai mayoritas mereka yang berpuasa kelasnya hanya puasa awam. Hanya mendapatkan lapar dan dahaga, alias gagal mencapai derajat taqwa.
Selepas Ramadhan, di sebelas bulan lainnya, mereka kembali mengerjakan sejumlah larangan Allah, melakukan maksiat, etos kerja dan akhlaknya memburuk. Kedua, pahala (reward) utama untuk mukmin yang taqwa adalah surga di akhirat, yang sifatnya jangka sangat panjang dan ghaib. Sementara fakta kehidupan di era Kapitalisme sekarang, justru mereka yang jauh dari Allah, bahkan maksiat kepada Allah, yang hidupnya sukses. Sebagian besar mereka menduduki jabatan tertinggi atau tinggi di negaranya, kaya raya bahkan super kaya, dan popularitasnya menjulang tinggi. Sehingga, banyak muslim awam dan sekuler yang tergoda mengkikuti pola hidup mereka.
Ketiga, boleh jadi karena kondisi kehidupan masyarakat yang tidak kondusif bagi kita untuk bertaqwa. Tempat hiburan dan media masa, khususnya medsos dan elektronik semakin masif dipenuhi dengan berita, gambar, dan video yang merangsang nafsu birahi, perilaku konsumtif, tindak kriminal, dan kemaksiatan. Sistem politik yang menganut demokrasi liberal (bertentangan dengan Pancasila) sarat dengan politik uang, pencitraan, dan hipokrasi. Sehingga, sampai sekarang sedikit sekali atau mungkin belum ada pemimpin dan elit politik kita yang capable (berkapasitas) sekaligus berintegritas dan negarawan.
Untuk bisa berinvestasi dan berbinis, para pengusaha (entreprenuer) harus melewati proses perizinan yang berbelit, panjang, mahal, dan acap kali tanpa kepastian. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk mendapatkan proyek-proyek raksasa, seperti pembangkit listrik, jalan, bendungan, bandara, migas, telkom, dan kawasan industri, pengusaha mesti punya beking ’orang kuat’ dan menghamburkan uang luar biasa besar. Buruknya iklim investasi, kemudahan berbisnis, dan ekonomi biaya tinggi inilah yang merupakan akar masalah dari semakin meluruhnya sektor manuakturing (deindustrialisasi), defisit neraca perdagangan, dan rendahnya daya saing bangsa.
Selain itu, juga telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi yang sangat lebar. Menurut Credit Suisse’s Global Wealth Report (2016), ketimpangan ekonomi Indonesia adalah yang terburuk keempat di dunia, setelah Rusia, India, dan Thailand. Dimana, satu persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan negara.
Yang lebih menyesakkan dada, dunia pendidikan kita pun sudah terinfeksi virus sogok-menyogok, perjokian, menyontek, guru dan dosen tidak dihormati oleh murid dan mahasiswanya, malas belajar, budaya instan, dan dekadensi moral lainnya. Budaya membaca, etos riset, dan moralitas kebajikan jauh dari standar kemajuan dunia pendidikan Barat, apalagi dibandingkan dengan budaya ilmiah dan moralitas di masa keemasan Islam.
Momentum Puasa Ramadhan
Oleh karenanya, seluruh Umat Islam Indonesia harus menjadikan ibadah puasa Ramadhan di tengah pandemi virus corona ini sebagai momentum untuk meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. Iman dan taqwa yang istiqamah (sepanjang masa) dan tidak hanya membuahkan kesalehan individual (rajin ibadah mahdhoh), tetapi juga memancarkan kesalehan sosial berupa etos kerja unggul, akhlak mulia, dan semangat berbagi untuk mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat.
Untuk itu, selain sholat wajib dan zakat, kita harus tingkatkan kuantitas dan kualitas amalan-amalan sunah, mulai dari sholat tarawih, tahajjud, tadarus dan tadabur Al-Qur’an, berdzikir, bersedkah sampai memberi makan buka puasa kepada yang membutuhkan. Dan, yang lebih penting, kita niatkan ibadah puasa kita semata-mata hanya karena iman dan ikhlas kepada Allah SWT.
Jangan pernah goyah iman kita dan tergoda untuk berbuat maksiat, gara-gara menyaksikan banyak orang pendosa dan bahkan melawan Allah, tetapi kehidupan dunianya sangat sukses, jabatannya tinggi, hartanya melimpah, dan sangat populer serta dikagumi publik. Faktanya, banyak orang yang sukses lahiriah (duniawi), tetapi jiwanya kering kerontang, gelisah, tidak pernah puas dengan yang dimiliknya, dan hidupnya penuh tekanan. Istri atau suaminya selingkuh, anak-anaknya berandalan, kecanduan narkoba, dan penderitaan batin lainnya. Kalaupun kehidupan dunianya tampak senang dan selamat (istijraj), kalau tidak sempat melakukan taubatan nasuha ketika ajal menjemputnya, maka di akhirat dia akan menjadi penghuni neraka.
Akhirnya, di bumi Pancasila ini para pemimpin bangsa dan elit politik harus menciptakan ekosistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang kondusif untuk penduduk negeri ini beriman dan bertaqwa menurut agamanya masing-masing. Lebih dari itu, antar umat beragama harus saling menghormati, dan hidup harmonis. Dengan demikian, Indonesia yang maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat insya Allah akan segera terwujud, paling lama 2045.
*Penulis adalah Ketua Dewan Pakar Ikhwanul Mubalighin
Editor: Tokohkita