Sachrial
Beratnya Memaafkan Dosa Sosial
Inti Ramadhan dan Idul Fitri adalah menjadi manusia taqwa.Taat atas segala perintah dan menghindar dari apa yang dilarang-Nya. Sebuah tatanan sosial akan terbentuk secara harmoni bila kita menjadi manusia yang taqwa.
Ramadhan telah kita lalui. Pembasuhan dosa atas segala apa yang telah kita lakukan selama hidup pada bulan suci Ramadhan diharapkan menjadi kembali fitri di bulan Syawal ini.
Pengakuaan atas dosa sebagai dasar meminta maaf adalah bahan baku utama agar tidak mengulang kesalahan berikutnya. Sementara bahan baku untuk memaafkan adalah adanya perasaan bahwa kita sebagai manusia yang tak luput dari perdosaan. Bila unsur itu ketemu, maka kita akan bertemu pada ke fitri-an jiwa dan raga, yang mana kelak tidak akan terjadi lagi kesalahan yang diulang berkali-kali.
Inti Ramadhan dan Idul Fitri adalah menjadi manusia taqwa. Taat atas segala perintah dan menghindar dari apa yang dilarang-Nya. Sebuah tatanan sosial akan terbentuk secara harmoni bila kita menjadi manusia yang taqwa.
Ketidaktaqwaan kepada-Nya akan banyak mengakibatkan bobot dosa sosial yang berat untuk ditanggung oleh banyak orang. Lihatlah bobot berat korupsi di semua sektor membuat banyak kerugiaan besar dalam tatanan bernegara. Salah satu hasil riset para ekonom pada kurun waktu tahun 2001-2015 mencapai angka kerugiaan negara Rp 203,9 triliun.
Mengutip data website Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per tahun 2019, ada sekitar 1.000 perkara korupsi. Pelaku paling banyak korup adalah para wakil rakyat di daerah dan pusat sebanyak 255 perkara. Kepala daerah sebanyak 110 perkara, 27 menteri dan kepala lembaga, 208 perkara yang dilakukan pejabat tinggi di instansi setingkat eselon I dan II. Diperparah dengan perkara yang dilakukan oleh para penegak hukum, yakni 19 hakim, tujuh jaksa dan dua kasus yang melibatkan polisi per tahun 2004-2018.
Angka peningkatan korupsi setiap tahun terus menanjak. Korupsi di sektor infrastruktur yang sedang dikumandangkan pun tak kalah banyaknya. Pada tahun 2015 sebanyak 106 perkara, tahun 2016 naik menjadi 133 perkara, disusul tahun berikutnya 158 kasus. Pada tahun 2018, tercatat sebanyak 167 perkara, dengan capaian angka kerugiaan negara senilai Rp 1,1 triliun.
Belum lagi pada sejuta potensi korupsi di sektor sumber daya alam yang menyerap sebanyak 37 juta hingga 40 juta pekerja. Dalam catatan ICW, korupsi di SDA pada tahun 2010-2017 sekitar 115 Kasus. Pada sektor perkebunan 52 Kasus, kehutanan 43 kasus, dan tambang 20 kasus, dengan kerugiaan sangat fantastis. Untuk enam kasus saja kerugiaan negara mencapai Rp 7 triliun. Bila dirata-rata dikurangi enam kasus dari 115 tersisa 109 dikali Rp 7 triliun coba hitung. Yang sanggup ngitungnya hanya pejabat yang korup saja. Fantastis bukan?
Tahapan korupsi pada bidang SDA dimulai dari tahap perizinan, pembuatan IUP saja ambil contoh yang dilakukan oleh Bupati Kutawaringin pada pertambangan bauksit bisa mencapai angka kerugiaan Rp 5,8 trilun. Belum lagi disektor pendidikan, kesehatan, keagamaan dan lainnya. Yang terang, perilaku pejabat negara yang tak beradab pun ternyata dicontoh pada tingkatan desa. Seakan para kades berbicara pada kita semua "naha maneh saja yang bisa korup, uing ge bisa."
ICW mencatat pada tahun 2016-2017 sebanyak 110 kades mengkorup anggaran desa. Korupsi di sektor infras truktur tredapat 49 kasus dengan kerugiaan mencapai Rp 17,1 miliar. Adapun kasus korupsi non-infrastruktur dilaporkan sebanyak 47 kasus dengan kerugiaan senilai Rp 20 miliar. Ini artinya, korupsi telah menjadi tren dari hulu ke hilir.
Apa yang salah dari para penggede negeri ini hingga akhirnya memakan uang yang tak seharusnya dimakan. Apa karena kita sebagai bangsa banyak makanan dan barang impor di perut para pejabat ini. Atau karena mereka tidak digaji cukup oleh negara, hingga akhirmya memakan yang bukan haknya. Mereka yang Korup adalah mereka yang menikmati uang rakyat dengan berlimpah dengan segala fasilitas dari mulai tidur hingga berjunubnya dibiayai oleh negara.
Apa mereka kurang puas? Atau malah mereka yang korup sedang membangun surga di dunia untuk para keturunannya. Dosa sosial mereka terlalu berat untuk dimaafkan,tapi apalah daya kita. Walau mereka yang tidak pernah meminta maaf pada kita atas segala kesalahan yang dilakukannya, tapi tetap kita harus memaafkan.
Mereka yang korup dengan berbagai latar partai dan kisah kehidupannya adalah sama seperti kita sebagai warga negara. Bedanya, mereka dibayar negara sementara kita warga yang setiap geraknya harus bayar pajak dan tak dibiayai negara. Apa kita harus memaafkannya? Mari kita jadi warga yang baik dan pemaaf walau penderitaan di dada ini terasa sesak dengan segala ulah badutnya para pejabat negara yang bergelimang dengan segala fasilitas uang rakyat yang dimakan pada perutnya.
Ramadhan dan Idul Fitri terus kita ulang. Sementara angka kejahatan dan angka dosa sosial terus meningkat itu pertanda bahwa kita sebagai manusia Indonesia kurang bertaqwa pada Tuhan-Nya. Jangan-Jangan di republik ini sudah tidak ada lagi oarang-orang benar, karena kejahatan terus meningkat.
Seperti kata almukarom Panglima Tinggi Jend Sudirman, "KEJAHATAN AKAN MENANG BILA ORANG BENAR TIDAK MELAKUKAN APA-APA." Biarkan mereka yang melakukan keburukan dan kejahatan di bumi dan NKRI yang katanya harga mati dengan keburukannya dan kejahatannya. Kita pasrahkan pada wahyu Allah SWT saja. "Balasan keburukan adalah keburukan yang sama," Q.S 42:40.
Dengan semangat Idul Fitri 1441 H walau berat kami memaafkan atas segala dosa sosial yang dilakukan oleh para pejabat negara yang korup dan juga pada para penggede negdri peserta konser amal. Kami maafkan. Hanya, keburukanmu akan kembali pada dirimu. Minal Aidzin Walfaidzin. 1 Syawal 1441 H.
*Penulis aktif di Firma Hukum Dark Justiceadalah dan kader PDIP
Editor: Tokohkita