Bambang Soesatyo
DPR dan Pemerintah Tak Perlu Ragu Membubarkan OJK
Skandal Jiwasraya hanyalah bagian kecil dari sengkarut yang menimpa OJK. Alih-alih menjadi pengawas yang kredibel dalam menjaga uang masyarakat yang berada di perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, pengadaian, dan lembaga jasa keuangan lainnya, OJK malah menjadi duri dalam sekam.
TOKOHKITA. Mantan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mendukung apabila DPR RI bersama pemerintah membubarkan lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baik melalui Perppu ataupun perangkat kebijakan lainnya. Fungsi pengawasan dan hal lainnya yang melekat di OJK bisa dikembalikan kepada Bank Indonesia.
"Skandal Jiwasraya hanyalah bagian kecil dari sengkarut yang menimpa OJK. Alih-alih menjadi pengawas yang kredibel dalam menjaga uang masyarakat yang berada di perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, pengadaian, dan lembaga jasa keuangan lainnya, OJK malah menjadi duri dalam sekam," ujar Bamsoet yang juga Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, di Jakarta, Sabtu (11/7/20).
Mantan Ketua Komisi III DPR yang membidangi hukum dan keamanan ini menilai DPR RI dan pemerintah tak perlu ragu membubarkan OJK yang notabene dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011. Lebih baik mengoreksi dibanding membiarkan kesalahan berlarut dan akhinya rakyat yang menjadi korban.
"Pembentukan OJK tak lepas dari rekomendasi IMF yang mengambil contoh Financial Service Authority (FSA) di Inggris. Kenyataannya, FSA justru gagal menjalankan tugasnya dan mengakibatkan Inggris terpuruk krisis finasial global pada 2008. Pada tahun 2013, Inggris membubarkan lembaga OJK mereka (Financial Service Authority). Jadi bukan hal yang mustahil apabila dalam waktu dekat kita membubarkan OJK. Apalagi kini situasi OJK sedang di titik nadir lantaran mendapat sorotan dari DPR RI, BPK, maupun Ombudsman," tutur Bamsoet.
Bamsoet mencontohkan, dalam permasalahan Ausransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB), BPK mencatat bahwa OJK tak melakukan uji kepatutan dan kelayakan kepada jajaran pengelola statuter yang ditunjuk untuk merestrukturisasi AJBB, sehingga menyalahi UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian. Dalam IHPS I/2018, BPK menemukan penerimaan pungutan OJK 2015-2017 sebesar Rp 493,91 miliar belum diserahkan ke negara, penggunaan penerimaan atas pungutan melebihi pagu sebesar Rp 9,75 miliar, gedung yang disewa dan telah dibayar Rp 412,31 miliar tetapi tidak dimanfaatkan, utang pajak badan OJK per 31 Desember 2017 sebesar Rp 901,10 miliar belum dilunasi.
"Di skandal Jiwasraya dengan gamblang menunjukan betapa lemahnya self control mekanisme pengawasan di internal OJK. Sebagaimana OJK Inggris (FSA) yang tak mampu mendeteksi kondisi keuangan bank penyedia kredit perumahan The Northern Rock. Setelah membubarkan FSA pada tahun 2013, Inggris mengembalikan sistem pengawasannya ke Bank Sentral. Sudah saatnya fungsi pengawasan dan hal lainnya yang melekat di OJK dikembalikan kepada Bank Indonesia," pungkas Bamsoet.
Editor: Tokohkita