Rokhmin Dahuri
Ada 18 Tantangan dalam Pengembangan Bidang Kelautan dan Perikanan
“Setidaknya ada 18 permasalahan dan tantangan untuk mengembangkan bidang kelautan dan perikanan,” kata Prof Rokhmin yang membawakan makalah berjudul “Issues and Challenges Developoing an Efficient, Competitive, Inclusive, and Sustainable Marine and Fisheries Sector."
TOKOHKITA. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS memberikan pembekalan pada kegiatan Matrikulasi Mahasiswa Pascasarjana Politeknik AUP Angkatan X, Senin (14/9). Pada kesempatan tersebut, Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan ini megupas isu-isu dan tantangan bidang kelautan dan perikanan.
“Setidaknya ada 18 permasalahan dan tantangan untuk mengembangkan bidang kelautan dan perikanan,” kata Rokhmin yang membawakan makalah berjudul “Issues and Challenges Developoing an Efficient, Competitive, Inclusive, and Sustainable Marine and Fisheries Sector”.
Adapun permasalahan dan tantangan tersebut antara lain, antaralain fakta sekitar 30% nelayan dan pembudidaya masih miskin. Selain iti, masih terjadi penangkapan ikal secara ilegal atawa IUU fishing oleh nelayan asing. Pencurian ikan dari perairan Indonesia ini karena sangat sedikit kapal ikan Indonesia (>30 GT) yang beroperasi di fishing grounds yang selama ini dijarah nelayan asing (70%).
"Penyebab lainya, adalah lemahnya law enforcement dan mayoritas nelayan serta pembudidaya yang belum menerapkan best handling practices, sehingga kualitas ikan masih rendah," ungkap Ketua Umum Masarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Rokhmin menyebutkan, tantangan dan pemasalahan di sektor kelautan dan perikanan berikutnya adalah sebagian besar pelabuhan perikanan belum memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi, belum dilengkapi dengan forward-and backward–linkage industries (industri hulu dan hilir). Di sisi lain, lokasi sentra penangkapan ikan berbeda dengan lokasi pasar domestik maupun lokasi pelabuhan ekspor.
"Juga ada hambatan sistem logistik ikan nasional yang belum terbangun dengan baik. Kemudian, pada musim paceklik atau cuaca buruk, umumnya nelayan hanya bisa melaut menangkap ikan sekitar delapan bulan dalam setahun. Artinya, sekitar empat bulan mereka menganggur, tidak ada kerjaan dan terjebak rentenir," terang Rokhmin.
Celakanya, Rokhmin bilang, posisi nelayan dan pembudidaya dalam rantai bisnis atau tata niaga sangat margina. Faktor lainnya, overfishing beberapa jenis stok ikan di beberapa fishing grounds (WPP), underfishing di beberapa fishing grounds (WPP), ketidakpastian posisi usaha perikanan budidaya (aquaculture) dalam RTRW, pesroalan pencemaran, dan kerusakan lingkungan, perubahani iklim global beserta segenap dampak negatifnya
Persoalan yang dihadapi juga masih tingginya kecelakan di laut karena gelombang besar, badai, dan cuaca buruk, perampokan, dan kejahatan laut lainnya; dan kapasitas (knowledge and skills) dan etos kerja nelayan pada umumnya belum mumpuni. "Selain itu, kebijakan politik-ekonomi seperti moneter, fiskal, kredit perbankan, SDM, dan iklim investasi belum kondusif,” papar Rokhmin.
Atas persoalan tersebut, Rokhmin menawarkan sejumlah jalan keluar, antara lain bergantung pada karakteristik dan dinamika stok ikan, kondisi oseanografis dan klimatologi unit pengelolaan wilayah perairan, nelayan, dan aspek sosekbud. Ia juga menyarankan untuk menggunakan satu atau lebih fisheries management measures dan model pengelolaan perikanan (Command and Control, CBM, atau Co-Management).
Kemudian, modernisasi dan peningkatan kapasitas nelayan tradisional dengan penggunaan fishing technology yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan, sehingga pendapatan nelayan minimal US$ 300 per nelayan per bulan. “Nelayan harus menerapkan best handling practices, dan cold chain system, terutama untuk jenis-jenis ikan mahal,” ujarnya.
Yang tak kalah mendesaknya adalah revitalisasi dan pembangunan pelabuhan perikanan nusantara dan pelabuhan perikanan samudera sebagai kawasan industri perikanan terpadu berkelas dunia di wilayah-wilayah terdepan NKRI. Hal lain yang juga penting adalah kapasitas kawasan industri pengolahan perikanan terpadu berkelas dunia di setiap provinsi (minimal satu unit) harus mempertimbangkan pasokan raw materials dari perikanan tangkap maupun perikanan budidaya; dan evaluasi dan penetapan sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan dengan ABK yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Pemerintah melalui Koperasi, BUMN, atau swasta harus menjamin ketersediaan sarana produksi bagi nelayan di seluruh wilayah NMRI, dengan harga relatif murah. Pemerintah juga harus menjamin pasar ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga yang menguntungkan nelayan, dan juga terjangkau oleh konsumen dalam negeri. "Pemerintah harus menyediakan kredit kepada nelayan di seluruh wilayah NKRI dengan bunga relatif murah dan persyaratan pinjam relatif lunak,” ujar Rokhmin.
Editor: Tokohkita