Pradi Bakal Poles Pasar Tradisional dengan Sentuhan Smart City
Kini, secara perlahan dan bertahap, pemerintah mulai merevitalisasi pasar tradisional yang lebih modern, tampak rapi dan bersih, sehingga nyaman saat berbelanja. Hal ini pun bakal diperkuat Pradi Supriatna, calon wali kota Depok pada pilkada serempak 2020, untuk menjadikan pasar tradisional bisa naik kelas.
TOKOHKITA. Pasar tradisional memang masih identik dengan kondosi yang kotor dan becek lantaran minimnya fasilitas infrastruktur pendukungnya. Meski demikian, keberadaan pasar tradisional masih sangat dibutuhkan masyarakat. Selaian menjadi tempat perputaran ekonomi kelas menengah-bawah, harga barang di pasar tradisional yang relatif murah.
Kini, secara perlahan dan bertahap, pemerintah mulai merevitalisasi pasar tradisional yang lebih modern, tampak rapi dan bersih, sehingga nyaman saat berbelanja. Hal ini pun bakal diperkuat Pradi Supriatna, calon wali kota Depok pada pilkada serempak 2020, untuk menjadikan pasar tradisional bisa naik kelas.
Yang terang di era industri 4.0, sudah menjadi keharusan Depok mengimplementasikan konsep smart city. Atas dasar itu, mengangkat pasar tradisional yang modern, lebih menarik dan nyaman menjadi target ke depan. Pada akhirnya, konsep pasar tradisional berbasis smart city, akan berdampak positif bagi pedangang sekaligus memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi konsumen saat berbelanja.
Adapun salah satu implementasi smart city pada pasar tradisional adalah digitalisasi sistem pembayaran menggunakan transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Adapun QRIS merupakan penyatuan berbagai macam QR dari sejumlah penyelenggara jasa sistem Pembayaran (PJSP) menggunakan QR Code. QRIS dikembangkan oleh industri sistem pembayaran bersama dengan Bank Indonesia (BI) agar proses transaksi dengan QR Code dapat lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya.
QRIS dapat menerima pembayaran aplikasi pembayaran apapun yang menggunakan QR Code, jadi masyarakat tidak perlu memiliki berbagai macam aplikasi pembayaran. Dengan cara ini, tarnsaksi akan lebih mudah, tinggal scan dan klik, bayar. Sedangkan merchant (pedagang) tidak perlu memajang banyak QR Code, cukup satu QRIS yang dapat dipindai menggunakan aplikasi pembayaran QR apapun.
Keutungannya, dapat menggunakan akun pembayaran QR apapun untuk membayar. Pedagang, cukup mempunya minimal satu akun untuk menerima semua pembayaran QR Code. Sehingga, pembayaran dengan QRIS langsung diproses seketika. Pengguna dan pedagang langsung mendapat notifikasi transaksi.
Menurut Pradi, tidak semua masyarakat suka bebelanja di pusat perbelanjaan atau mal. Untuk itu, jika dirinya mendapat amanah memimpin Depok, maka revitalisasi pasar tradisional berbasis smart city akan menjadi fokus perhatiannya dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan. "Kalau semuanya pasar modern, maka terkesan pro pemodal besar. Makanya, menjadikan pasar tradisoonal yang modern sebagai solusinya," jelas dia.
Pradi menekankan, revitalisasi pasar tradisional yang sifatnya open market tentu harus melibatkan para pedagang yang ada saat ini. Pasalnya, mereka sudah berdagang bertahun tahun. "Kami (pemerintah) hanya hanya mengelola agar pasar lebih menarik dan nyaman," ujarnya.
Saat ini ada sejumlah titik pasar tradisional di Depok yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pasar tradisional yang modern. Menurut Pradi, Depok bisa belajar dari PD Pasar Jaya milik Pemprov DKI yang sudah banyak melakukan revitalisasi pasar tradisional. "Nanti pengelolaan pasar tidak lagi dibawah suku dinas tapi dibawah BUMD," ungkapnya.
Sedangkan untuk pilot project revitalisasi pasar tradisional ini akan dilakukan kajian terlebih dahulu, posisinya strategis dan dibutuhkan masyarakat. "Nanti kita akan cari orang yang memang sudah berpengalaman mengelola pasar tradisional secara modern," sebut Pradi.
Depok Kota Packaging
Selain meloles pasar tradisional menjadi lebih menarik dan nayman, Pradi juga punya ide menjadikan Depok sebagai kota packaging yang stidaknya bisa mandiri dari kebutuhan pangan bagi warganya. "Saya ke depan ingin Depok bisa mandiri," kata petahan Wakil Wali Kota Depok ini.
Artinya, saat ini Depok boleh dibilang belum menjadi kota yang mandiri karena masih tergantung daerah lainnya, terutama Jakarta sebagai Ibukota negara. Buktinya, saban pagi warga Depok rela berjubel naik KRL Communter Line ke Jakarta untuk mencari nafkah, ada yang jadi pegawai negeri, karyawan swasta, dan lainnya.
Lantas, bagaimana caranya Depok bisa mandiri? "Jadi kota packaging," jawab Pradi. Terus, apa yang harus dikemas dan bisa memberikan nilai lebih buat Depok? Pradi menyebutkan, dirinya memiliki pemikiran dan ketertarikan untuk mengoptimalkan komoditas pangan, semisal sayuran. Memang,tidak harus sayuran saja, komoditas lain yang potensial juga dapat dilirik.
Di sini yang menjadi pertimbangannya adalah kebutuhan bahan sayur-mayur di Depok yang cukup tinggi mengingat jumlah populasi penduduk sudah mencapai 2,3 juta orang per Juni 2019 jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS). Itu kebutuhan untuk Depok saja, belum daerah sekitarnya terutama Jakarta. Tentu, untuk permintaan sayur-manyur saja sangat besar, dan itu peluang bisnis.
Untuk memenuhi pasokan tersebut, tidak mungkin bisa dipenuhi oleh Depok sendiri. Sebab, ada kendala jumlah petani dan lahan yang semakin terbatas akibat masifnya proyek hunian. "Ini harus disiapkan, misal kerjasama dengan daerah penghasil sayuran. Kita kontrak dengan petani plasmanya, lalu hasilnya kita packaging di Depok," ungkap Pradi.
Selanjutnya, produk pertanian yang sudah dikemas sedemikian rupa ini juga didistribusikan ke wilayah DKI Jakarta, yang mana ceruk pasarnya sangat besar. Dengan kualitas kemasan yang bagus dan harga kompetitif, tidak mustahil bisa mencuil pasar Ibukota. Biar efektif, "Kita distribusikan ke DKI lewat kerjasama dengan PD Pasar Jaya."
Pradi berkata, peluang ekonomi ini yang masih terbuka untuk digarap. "Uang semua itu," tukasnya. Di sisi lain, produknya pun bakal lebih higienis karena harus memenuhi standar kemasan yang ketat. Meski demikian, pertimbangan harga juga kudu diperhatikan. "Harus terjangkau," jelas Pradi.
Untuk melangkah ke arah Depok sebagai kota packaging, Pradi mengaku sudah menjajaki peluang kerjasama dengan pihak ketiga. "Saya sudah komunikasi dengan Pemda Cianjur untuk sewa lahan sekitar 200 hektare. Kalau berharap di Depok akan sulit, terutama petaninya," akunya.
Sejatinya, saat ini Pemerintah Kota Depok sudah menjalin kemitraan dengan petani. "Dan saya dah coba kontrak petani singkong untuk bahan olahan ke perusahaan keripik renyah dan berhasil," klaim Pradi. Pada akhirnya, dengan skema kerjasama demikian, akan memberikan kepastian soal pasokan bahan baku. "Jadi, ada kepastian buat petani. Kita ada kontrak dengan penampung hasil, aman itu."
Untuk menjalankan bisnis packaging, tentu harus ada unit usaha yang mengelola secara profesional dengan orientasi menggali keuntungan maksimal. "Mungkin akan dibuat dulu holdingnya di Depok, atau membuat BUMD pasar. Opsi lainnya, kerjasama dengan DKI Jakarta. Bisa secara B to B [business to business] atau B to G [business to government]," papar Pradi.
Agar kinerja bisnis semakin lincah, Pradi akan menyiapkan perangkat infrastruktur digitalnya untuk memperluas jangkauan pemasaran dan distribusi produk sayur-mayur dalam kemasan ini. Dalam hal pengiriman, pengelola atau holding ini bisa bermitra dengan jasa layanan antar barang secara daring seperti perusahaan startup Gojek. Yang terang, pasokan harus dipastikan lancar, sehingga bisa memenuhi permintaan konsumen atau pelanggan.
Kalau semua itu bisa berjalan sesuai rencana, Pradi optimistis tinggal menunggu hasilnya. "Kita akan jadi Bob Sadino, sayur online. Kaya dari holtikultura. Sambil tidur duit datang," harap Pradi yang sebelum terjun ke dunia politik dan menjadi birokrat saat ini merupakan seorang pengusaha. Ya, pasti masih tersisalah jiwa enterpreneur dari suami Martha Catur Wurihandini, yang seorang polisi wanita atawa polwan.
Editor: Tokohkita