Marwan Jafar
Berpacu dalam Vaksin
Pemerintah atau negara harus mewaspadai dan menimbang cerdas terkait ketersediaan, produksi, dan pemanfaatan vaksin ini sebelum mengambil keputusan. Sebab, akhir-akhir ini, hari ini, dan ke depan dipastikan akan banyak fake news maupun fake science di ranah pemberitaan media yang mungkin meragukan tingkat kebenarannya.
Pada umumnya vaksin didefinisikan sebagai bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit. Pemberian vaksin atau imunisasi dilakukan untuk mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi penyebab penyakit -penyakit tertentu. Di sisi lain, masih cukup banyak salah kaprah di tengah masyarakat bahwa pemberian vaksin itu adalah buat mengobati suatu penyakit.
Secara historis, vaksin pertama kali diketahui diperkenalkan oleh seorang dokter Inggris yaitu Edward Jenner yang pada 1796 menggunakan virus cacar sapi (cowpox) untuk memberi perlindungan terhadap cacar (smallpox) pada manusia. Namun, prinsip vaksinasi sebenarnya juga sudah digunakan oleh para tabib di Asia dengan memberi anak-anak kerak kering dari lesi atau bekas luka dari orang yang menderita cacar untuk melindungi efek suatu penyakit.
Sumbangan Jenner tak lain adalah memakai pendekatan hipotesis bahwa peternak sapi tidak pernah tertular cacar. Berdasarkan hipotesis tersebut, Jenner mulai mengerjakan serangkaian percobaan yang kini dikenal sebagai rintisan imunologi, terapi vaksin maupun pencegahan kesehatan.
Menurut sumber di Wikipedia disebutkan, Jenner berhasil menguji teorinya sewaktu ia menginfeksi anak laki-laki berusia 8 tahun dengan nanah dari lesi cacar sapi, yang memberinya perlindungan terhadap cacar. Kesuksesan ini menginspirasinya dengan melakukan percobaan 23 kasus yang sama, termasuk menyuntikkan kepada anak lelakinya sendiri yang berumur 11 bulan.
Segenap hasil penelitian Jenner tersebut dikumpulkan dalam bukunya An Inquiry the Causes and Effects of the Variolae Vaccinae. Penemuan Jenner dikenal sebagai vaksinasi yang diambil dari Bahasa Latin yaitu vacaa atau sapi. Pada 1789, Jenner mengirim artikel ilmiah tentang hasil studi yang dia kirimkan dan dimuat di Majalah
The Royal Society yang terkenal dan bergengsi.
Jenner menjelaskan bahwa vaksinasi yang dilakukannya berhasil memberi perlindungan dari serangan cacar. Vaksinasi ini dengan cepat menjadi sarana utama buat mencegah penyakit cacar di seluruh dunia, bahkan menjadi wajib di beberapa negara. Kini, lukisan Jenner yang sedang melakukan vaksinasi terhadap seorang bocah terpampang indah di Welcome Museum, London.
Sekitar seabad kemudian atau pada 1885 mengikuti penemuan Jenner, ahli biologi Prancis, Louis Pasteur yang menggunakan metode vaksinasi dan dia berhasil menyelamatkan nyawa seorang bocah sembilan tahun setelah digigit anjing gila. Dengan menyuntikkan virus rabies yang telah dilemahkan, bocah itu tidak pernah menderita rabies dan perawatannya dinyatakan sukses.
Pengaruh signifikan lanjutan oleh Pasteur menyebabkan perluasan istilah vaksin buat memasukkan daftar panjang perawatan yang mengandung virus hidup, dilemahkan, atau dibunuh. Vaksin tersebut biasanya diberikan dalam bentuk suntikan dan bertujuan menghasilkan kekebalan terhadap penyakit menular.
Sesudah era Pasteur, pencarian yang luas dan intensif untuk vaksin baru dilakukan secara meluas. Maksudnya, vaksin buat menghalau bakteri dan virus pun kemudian diproduksi, serta vaksin terhadap kuman penyakit lainnya. Ambil contoh, melalui vaksinasi, sejarah kedokteran mencatat wabah cacar bisa diberantas di seluruh dunia pada 1980 dan kasus polio menurun hingga 99 persen. Contoh lainnya, virus, bakteri atau kuman pada penyakit gondong, campak, demam tifoid, kolera, tuberkulosis, tularemia, infeksi pneumokokus, tetanus, influenza, demam kuning, hepatitis A, hepatitis B serta typhus juga dapat dicegah.
Sejarah Vaksin di Indonesia
Jejak vaksin pertama tiba di Indonesia atau yang saat itu masih bernama Hindia Belanda pada 1804. Buku Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia (2010) oleh AA Loedin mencatat pada Maret 1846, Dr Bosch selaku inspektur vaksinasi di Hindia Belanda menyurati Minister van Kolonien (Menteri Urusan Koloni) di Belanda agar mengirim vaksin cacar secara teratur setiap bulan, menggantikan vaksin lama yang tiba di Batavia pada Juni 1804 tersebut.
Namun Bosch kemudian membatalkan permintaan itu, karena secara tidak terduga pihaknya menerima bingkisan dari Wina yang berisi vaksin aktif. Pengirimnya adalah Dr G Eisinger, seorang stads-geneesheer (dokter kota) Surabaya, yang kebetulan sedang berlibur ke Wina dan mendapat vaksin cacar dari Prof Dr Zaehner yang diambil langsung dari sapi. Vaksin ini dikirim dalam bentuk dua pipa kapiler.
Selanjutnya pada 1870, di Belanda didirikan perhimpunan untuk memproduksi dan mendistribusi vaksin cacar. Beberapa kota di Belanda seperti Amsterdam, Rotterdam, Utrecht, dan Den Haag juga berlomba mengirim vaksin cacar ke Batavia, Hindia Belanda. Hampir setiap dua atau tiga bulan sekali Batavia menerima kiriman vaksin cacar aktif. Kelancaran pengiriman vaksin itu, agaknya terkait dengan dibukanya Terusan Suez pada dekade1860-an dan penemuan kapal api yang mendorong mempersingkat perjalanan dari Belanda ke Batavia dari sebelumnya empat sampai enam bulan menjadi sekira satu setengah bulan saja.
Kemudian pada 1875, Hoofd van de Geneeskundige Dienst (Kepala Dinas Kesehatan) di Hindia Belanda melaporkan bahwa vaksin cacar sudah tersedia di 14 residensi. Pengiriman berkala vaksin cacar dari Belanda baru dapat dihentikan pada 1892, ketika Parc Vaccinogene atau perusahaan farmasi telah mampu memproduksi vaksin cacar dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan program vaksinasi di Hindia Belanda.
Waktu itu, Parc Vaccinogene didirikan di Batu Tulis (Buitenzorg) atau Bogor sekarang pada 15 Januari 1879 berdasarkan Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) No 6. Namun pada perkembangannya Batu Tulis dianggap kurang cocok buat pengembangan vaksin, tertama disebabkan makin sulit mendapatkan sapi atau anak sapi untuk memproduksi vaksin cacar. Karena itulah pada 1891, didirikan lagi Parc Vaccinogene di Weltevreden atau kawasan Menteng sekarang, dan pada 1892, Instituut Pasteur digabung dengan Parc Vaccinogene, yang kini menjadi PT Bio Farma, BUMN produsen vaksin terbesar di Asia Tenggara yang dimiliki Indonesia.
Menurut catatan sejarah, Parc Vaccinogene mampu meningkatkan produksi vaksin cacar dan kebutuhan program vaksinasi di Hindia Belanda. Namun, waktu itu kendala utama pengembangan vaksin tidak lain adalah kesulitan memperluas cakupan penggunaan karena kurangnya partisipasi masyarakat. Maka ketika vaksin Covid-19 kelak ditemukan, partisipasi masyarakat berpotensi menjadi penentu kesuksesan vaksinasinya.
Kedaulatan Vaksin
Di dunia kedokteran, vaksinasi praktis mampu merevolusi kesehatan secara global. Atau boleh jadi dapat dikatakan sebagai salah satu inovasi yang paling menyelamatkan banyak jiwa manusia. Menurut sejarah kedokteran pula, vaksin telah berkontribusi memberantas cacar, memangkas angka kematian anak, dan mencegah cacat seumur hidup.
Sampai saat ini di tengah pandemi global Covid-19 yang sudah menginfeksi sekira 16 juta orang dan menewaskan lebih 600 ribu orang di seluruh dunia, vaksin mungkin akan bisa menjadi juru selamat. Kini banyak negara, termasuk lembaga penelitian, dan perusahaan farmasi, berlomba menjadi yang pertama menemukan dan memproduksi vaksin. Dengan akses pertama terhadap vaksin Covid-19, sebuah pemerintahan kemungkinan juga lebih mudah mengambil langkah pemulihan ekonomi warga masyarakat ke kehidupan normal kembali. Namun demikian langkah atau upaya tersebut jelas tidak mudah di jaman keterbukaan teknologi informasi global.
Yang jelas, berbagai negara juga secara variatif telah melakukan uji klinis untuk menemukan vaksin buat menangkal Covid-19. Mereka meyakini kehadiran vaksin sangat diharapkan karena dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengatasi pandemi virus ini.
Beberapa negara bahkan kita ketahui sudah berfokus pada penciptaan virus ini hingga merogoh kocek yang dalam dari keuangan pemerintah masing-masing. Di sejumlah negara itu, biasanya mereka menggandeng berbagai pihak yang terlibat dalam pembuatan vaksin, seperti perusahaan farmasi, pebisnis besar, universitas, dan lembaga penelitian.
Yang pasti, perlombaan dan persaingan banyak negara buat memproduksi vaksin Covid-19 bakal makin sengit ke depan. Mengapa? Sebab, banyak faktor saling bertarung dan saling mempengaruhi. Mulai dari pendekatan ilmiah scientifik, gengsi atau harga diri bangsa, bisnis semata atau godaan menambang keuntungan sangat besar hingga pertimbangan keselamatan kemanusiaan.
Sekurangnya tiga bulan belakangan ini, tiga negara besar yaitu Amerika Serikat, China, dan Rusia terang-terangan saling klaim buat memproduksi massal vaksin anti Covid-19 dan bermanuver sudah melewati tahapan-tahapan uji klinis, seraya terus berupaya mempengaruhi opini dunia maupun membujuk atau menolak peran otoritas lembaga kesehatan di bawah PBB atau WHO.
Amerika yang punya tiga perusahaan farmasi besar yakni Inovio, Moderna, dan Pfizer melalui para peneliti di Oxford University mengklaim bisa menyelesaikan vaksin ini pada sekitar November 2020 ini. Pada saat yang sama, Amerika juga berang karena China melalui perusahaan swasta Sinovac Biotech dan perusahaan BUMN Cina Sinopharm berhasil mengantongi 'restu' WHO, ditambah mampu bekerja sama dengan 60-an negara sebagai pembeli, importir atau memproduksi bersama.
Sedangkan Rusia melalui pernyataan langsung presiden dan menteri kesehatan, sudah sejak pertengahan Agustus lalu mengumumkan telah menemukan, memproduksi dan menyuntikkan vaksin buat mengusir Covid 19 dengan nama Sputnik-V.
Sejumlah negara lain seperti Jepang, Australia, dan Korea Selatan juga tak ketinggalan ambil bagian menemukan dan memproduksi vaksin melalui pernyataan yang terkesan lebih diplomatis. Belum lagi beberapa negara lain yang secara diam-diam juga berusaha keras menempuh langkah yang sama. Sebab, menurut sumber WHO sekarang ini sudah terdaftar kandidat vaksin buat meminimalisir serangan flu Covid-19 sebanyak puluhan calon vaksin di seluruh dunia, baik di tahap awal, menengah, atau akhir uji klinis.
Kendati pun begitu pihak WHO memprediksi vaksin buat Covid-19 tersebut baru akan tersedia dan masuk akal secara ilmiah konservatif pada akhir 2021. Hal ini sudah disampaikan oleh Chair of the WHO's Global Outbreak Alert and Response Network, Dale Fisher yang mengingatkan, akhir 2021 adalah ekspektasi yang sangat masuk akal untuk hadirnya vaksin.
Ditambahkan, kita berharap masyarakat untuk tidak terlalu banyak menaruh harapan terhadap kehadiran vaksin tersebut. Alasannya karena vaksin yang ada saat ini masih ada di fase satu, yaitu proses pengembangan. Selanjutnya, vaksin harus melewati fase dua dan tiga untuk memastikan bahwa vaksin tersebut aman dan bisa diandalkan.
Yang jelas, jika vaksin sudah ditemukan dan sesuai, akan segera diproses dan didistribusikan untuk massal. Tapi, proses itu sangat panjang dan butuh waktu yang cukup lama. Terkait hal ini, seorang CEO perusahaan farmasi besar dunia pun mengingatkan, biasanya butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan obat baru. Sebagian ahli sepakat bahwa dibutuhkan setidaknya 12 sampai 18 bulan sampai vaksin tersedia.
Dalam konteks masih relatifnya kontroversi vaksin saat ini, tak ada salahnya kita mempertimbangkan pengalaman beberapa negara yang terlanjur atau terburu-buru menyuntikkan vaksin dan membawa efek tidak baik. Ambil contoh pemakaian vaksin di Brazil dan Korea Selatan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Kejadian tersebut tentu wajib menjadi referensi berharga buat pelajaran. Selain itu, sebagai langkah pembanding boleh jadi ada baiknya bila kita bekerjasama secara kritis-cerdas dengan lembaga kesehatan dunia yang juga relatif memiliki otoritas.
Ambil contoh, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus mengapresiasi Indonesia yang berupaya menangani pandemi Covid-19 dengan bergabung dalam Access to COVID-19 Tools Accelerator ACT-Accelerator Facilitation Council dan mendukung fasilitas yang disebut COVAX atau mekanisme yang dirancang WHO agar menjamin ketersediaan vaksin Covid-19 untuk seluruh dunia secara cepat, adil, dan setimpal.
Lebih dari 75 negara yang tergabung di dalamnya bakal membiayai vaksin dari anggaran keuangan masing-masing untuk diberikan kepada 90 negara berpenghasilan rendah dari COVAX Advance Market Commitment (AMC).
Akhirnya sebagai upaya solusi dan langkah antisipatif terkait penemuan, ketersediaan, dan penggunaan vaksin buat Covid-19 hemat saya ada sejumlah catatan yang perlu diingat secara sungguh-sungguh. Pertama, negara mesti tetap berusaha keras dan mengedepankan prinsip kedaulatan vaksin dengan cara terutama menggunakan bahan virus yang telah dilemahkan di dalam negeri. Langkah seperti upaya menemukan dan memproduksi Vaksin Merah Putih tentu patut mendapat apresiasi.
Kedua, pendekatan atau prinsip ilmiah seperti wajib melalui beberapa tahap uji klinis sebelum vaksin disuntikkan. Mengapa? Sebab, pertimbangan utama keamanan bagi kesehatan manusia buat menghindari kejadian ikutan pasca imunisasi, sangat wajib dikedepankan. Ingat juga ada prinsip universal bahwa menyelamatkan maupun mengorbankan nyawa satu manusia, sama nilainya dengan ikhtiar menghargai seluruh manusia.
Ketiga, tidak kalah penting juga mesti dipenuhi agar sejumlah komponen bahan baku vaksin benar-benar berasal dari unsur-unsur yang harus dipastikan kadar kehalalannya. Mengingat mayoritas dari warga masyarakat pengguna vaksin nantinya sangat sensitif terhadap kehalalan sebuah produk. Maksudnya, bila vaksin sampai tak terjamin bahan kehalalannya dikhawatirkan bisa menjadi isu yang kontraproduktif.
Keempat, kita amat berharap pihak otoritas pemerintah atau negara tidak bersikap tergesa-gesa dan menyediakan ruang keterbukaan publik terkait penggunaan vaksin dan terutama dengan wajib benar-benar menimbang poin kedua.
Kelima, bertititik tolak dari poin kesatu, pihak pemerintah atau negara juga mesti ekstra waspada mengenai kemungkinan cukup besar adanya faktor bisnis besar yang tampaknya bisa bermain baik dari kalangan domestik dan apalagi dari faktor persaingan atau permainan pelaku bisnis global yang tergiur menambang cuan alias untung besar.
Keenam, sekali lagi kita mengingatkan penggunaan vaksin oleh warga masyarakat sebaiknya diusahakan benar agar pemerintah atau negara dapat menggratiskannnya.
Ketujuh, kita menyarankan pihak pemerintah atau negara kalau akan mendatangkan vaksin sebaiknya tidak hanya berasal dari satu negara saja. Hal ini buat mengantisipasi kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan atau untuk menghindari bila terjadi apa-apa di belakang hari. Terkait soal ini, ada baiknya pula melihat vaksin yang akan digunakan negara-negara tetangga sekawasan yang memiliki kesamaan dari sisi bawaan ras.
Kedelapan, pihak pemerintah atau negara harus mewaspadai dan menimbang cerdas terkait ketersediaan, produksi, dan pemanfaatan vaksin ini sebelum mengambil keputusan. Sebab, akhir-akhir ini, hari ini, dan ke depan dipastikan akan banyak fake news maupun fake science di ranah pemberitaan media yang mungkin meragukan tingkat kebenarannya. Apalagi oleh banyak negara dan sangat boleh jadi termasuk Indonesia mengandalkan benar--untuk tidak menyebut sebagai senjata pamungkas--penggunaan vaksin buat memerangi Covid-19.
*Penulis adalah Anggota Komisi VI DPR
Editor: Tokohkita