Rokhmin Dahuri
Posisi Aceh Strategis, Optimalkan Pemanfaatkan Sumber Daya Ikan
Aceh juga menjadi pintu masuk utama ke Selat Malaka yang merupakan wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-I)
TOKOHKITA. Aceh memiliki posisi yang strategis karena menjadi pintu gerbang lalu-lintas perdagangan nasional dan internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat. Aceh juga menjadi pintu masuk utama ke Selat Malaka yang merupakan wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-I)
Demikian disampaikan Rokhmin Dahuri, Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 dalam Diseminasi “Optimalisasi Potensi Aceh dalam Agroindustri Berkelanjutan” yang digelar Bank Indonesia Provinsi Aceh secara virtual, Senin (9/11/2020).
Meski demikian, sejumlah permasalahan pembangunan masih dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah Provinsi Aceh seperti kemiskinan yang masih sekitar 15,0% atau tertinggi ke-6 dari 34 provinsi di Indonesia. Kemudian, jumlah pengangguran masih ada sekitar 6,20?ri jumlah penduduk atau tertinggi ke-8 dari 34 provinsi di Indonesia. "PDRB per kapita masih Rp 30,57 juta atau terendah ke-4 dari 34 provinsi di Indonesia," ungkap Rokhmin.
Untuk mengatasi problem tersebut, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB menyarankan agar Pemprov Aceh memanfaatkan secara optimal potensi kelautan dan perikanan. Menurut Rokhmin, potensi lestari (MSY) atau sumber daya ikan (SDI) Laut Aceh sebesar 400 ribu ton/tahun berdasarkan data DKP Aceh, 2011. Adapun produksi perikanan Laut Aceh pada tahun 2018 sebesar 288.034 ton atau 72?ri potensi SDI Laut Aceh.
Sementara itu, potensi lahan perikanan budidaya Provinsi Aceh sebesar ± 358.091 ha, dengan tingkat pemanfaatan baru 19,31%, yang mana sebagian besar dari tambak. "Sebagian besar produksi perikanan budidaya Aceh dihasilkan dari tambak atau sebesar 65%," sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.
Hanya saja, potensi perikanan tangkap dan budidaya di Aceh masih menghadapi berbagai persoalan. Misalnya, tingkat (intensitas) pemanfaatan sumber daya perikanan, khususnya perikanan budidaya masih sangat rendah. Yang mana, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan hasil perikanan masih bersifat tradisional (less technology and management content). "Mayoritas nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pengolah hasil perikanan, dan pedagang perikanan masih miskin, dengan pendapatan kurang dari US$ 300 per orang per bulan," papar Rokhmin.
Di sisi lain, masih terdapat keterbatasan infrasturktur dan sarana pembangunan. Tak pelak, akibat stigma kemiskinan bekerja di sektor kelautan dan perikanan (KP), maka generasi milenial atau tenaga kerja yang produktif, inovatif, dan berjiwa entrepreneur tinggi tidak tertarik bekerja di sektor tersebeut. Sehingga, sektor KP kurang berdaya saing, efisien, mensejahterakan, dan berkelanjutan "Ibarat ‘lingkaran setan," sebut Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) ini.
Persoalan lain yang dihadapi di sektor KP di Aceh lainnya adalah Illegal, Unregulated and Unreported Fishing dan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang destruktif, pencemaran perairan sungai dan laut akibat limbah pabrik, pertambangan, pertanian, dan domestik (RT), keterbatasan anggaran KP dari APBD Kabupaten dan belum ada Blueprint Pembangunan KP yang tepat dan benar yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
Editor: Tokohkita