Rokhmin Dahuri
Hari Nusantara Menuju Indonesia Poros Maritim Dunia
Tanpa Deklarasi Djoeanda, potensi kekayaan laut RI hanya sepertiga dari potensi yang kita miliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau NKRI.
Kendati Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 sangat penting bagi kejayaan bangsa Indonesia, kita baru memperingatinya sejak Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000. Kemudian melalui Keppres No.126/2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember, sebagai Hari Nasional yang diperingati setiap tahun.
Tanpa Deklarasi Djoeanda, potensi kekayaan laut RI hanya sepertiga dari potensi yang kita miliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau NKRI sehingga di antara pulau-pulau NKRI terdapat laut internasional, yang memisahkan satu pulau dengan lainnya. Kondisi semacam itu merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan NKRI.
Maka, atas instruksi Presiden Soekarno, Ir Djoeanda, Perdana Menteri RI saat itu pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas itu, sebagaimana diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan NKRI. Deklarasi yang berisikan konsepsi Negara Kepulauan tersebut diterima oleh masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Peran Strategis Laut
Sejak 1982 Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas, sekitar 5,8 juta km2 atau tiga perempat dari total wilayah NKRI. Di dalamnya terdapat 17.504 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan NKRI. Oleh karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI, yaitu: (1) Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; (2) Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945; dan (3) Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djoeanda pada 13 Desember 1957.
Laut juga memiliki peran geoekonomi sangat krusial bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Wilayah laut dan pesisir Indonesia mengandung kekayaan alam yang luar biasa besar, yang dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional. Total nilai ekonomi dari ke-11 sektor kelautan itu mencapai 1,4 triliun dolar AS/tahun, sekitar 1,3 kali PDB dan 7 kali APBN tahun 2020, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 45 juta orang. Sekitar 45?ri total barang yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai USD15 triliun/tahun, dikapalkan melalui laut NKRI (UNCTAD, 2016).
Roadmap Pembangunan Kelautan
Salah satu terobosan Presiden Jokowi sejak periode pertama pemerintahannya (2014 – 2019) adalah mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD), yakni Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim. Selain itu, Indonesia diharapkan bisa menjadi a role model bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, IPTEK, hankam sampai ocean governance.
Sejumlah kemajuan telah kita rasakan di bidang kemaritiman. Penegakan kedaulatan, terutama pemberantasan IUU fishing oleh nelayan asing dan konservasi, telah membuahkan hasil cukup menggembirakan. Dwelling time dari sembilan hari pada 2014 menjadi empat hari sejak 2019. Beroperasinya 18 trayek Tol Laut telah mempermudah, mempercepat, dan mempermurah arus penumpang dan barang di seluruh wilayah Nusantara. Destinasi pariwisata bahari semakin atraktif dan berkembang di berbagai daerah.
Sayangnya, di sektor perikanan, kehidupan nelayan, pembudi daya ikan, dan stakeholders lain semakin susah, karena terlalu lama dan semakin mahalnya mendapatkan izin usaha. Sebagian besar kebijakan hanya mengutamakan pelestarian SDA, tetapi kurang memperhatikan aspek ekonomi dan kesejahteraan nelayan, pembudi daya ikan, dan stakeholders lainnya. Hampir semua kawasan industri pengolahan perikanan mati suri, karena kekurangan bahan baku.
Budi daya lobster, kepiting soka, dan kapal ekspor kerapu hidup dilarang. Akibatnya, ratusan ribu pekerja perikanan menjadi pengangguran, demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan merebak di mana-mana sejak awal 2015 hingga Januari 2019. Kontribusi sektor perikanan hanya 2,7% terhadap PDB dan nilai ekspornya pun hanya USD4,5 miliar (peringkat-16 dunia) pada 2019. Padahal, Thailand dengan wilayah laut hanya 8% wilayah laut Indonesia mampu mendulang devisa perikanan USD10 miliar (peringkat 3 dunia).
Oleh sebab itu, peringatan Hari Nusantara 13 Desember tahun ini harus dijadikan sebagai momentum untuk meluruskan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan di bidang kemaritiman. Dari pola pembangunan yang terlalu dominan pada penegakan hukum dan konservasi ke pola pembangunan kelautan berkelanjutan (Sustainable Marine Development). Suatu pembangunan kelautan yang mampu meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan kedaulatan NKRI, tanpa mengorbankan kelestarian SDA.
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai PMD, tujuh kebijakan pembangunan mesti dikerjakan secara berkesinambungan: (1) penegakan kedaulatan NKRI, (2) pembangunan ekonomi kelautan, (3) pembangunan infrastruktur dan konektivitas, (4) memelihara kelestarian SDA dan lingkungan, (5) pengembangan kapasitas SDM dan IPTEK, (6) peningkatan budaya maritim; dan (7) kebijakan politik-ekonomi seperti moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan Ease of Doing Business yang kondusif.
Program Quick Wins
Dalam jangka pendek-menengah (2021-2024), pembangunan kelautan berkelanjutan itu bisa diwujudkan dengan melakukan tiga agenda pembangunan: (1) revitalisasi seluruh sektor dan unit bisnis kelautan yang ada, (2) mengembangkan sektor dan bisnis kelautan di wilayah baru, dan (3) mengembangkan sektor dan bisnis kelautan yang baru. Dari 11 sektor ekonomi kelautan, enam sektor dapat kita pacu untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat secara signifikan dalam waktu singkat (quick wins).
Alhasil, ekonomi kelautan mampu menjadi mesin penggerak pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 dan transformasi ekonomi. Untuk itu, setiap unit bisnis kelautan harus memenuhi skala ekonomi, menggunakan teknologi mutakhir, menerapkan manajemen rantai suplai terpadu, dan ramah lingkungan. Keenam sektor itu adalah perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, dan industri jasa maritim.
Sebagai ilustrasi, betapa raksasanya potensi ekonomi kelautan RI adalah usaha budi daya udang Vanname. Dengan mengusahakan 500.000 ha tambak udang Vanname intensif, dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun, bisa diproduksi 20 juta ton/tahun. Dengan harga udang 5 dolar AS/kg, bisa dihasilkan USD100 miliar per tahun, yang bisa menyumbangkan 5% pertumbuhan ekonomi per tahun. Jika mulai tahun depan setiap tahun kita kembangkan usaha tambak udang seluas 100.000 ha saja, itu dapat menyumbang 1% pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Lapangan kerja on farm yang bisa dibangkitkan dari 500.000 ha tambak udang intensif itu sekitar 2 juta orang.
Sementara itu, tenaga kerja yang dibutuhkan di industri hulu dan industri hilirnya sekitar 3 juta orang. Padahal, masih banyak komoditas lain yang harganya mahal dan bisa dibudidayakan seperti lobster, kerapu, kakap, abalone, teripang, kerang mutiara, nila, kepiting, dan rumput laut. Dengan mengusahakan 5.000 armada kapal ikan modern berukuran di atas 50 GT untuk memanfaatkan Sumber Daya Ikan di wilayah-wilayah laut NKRI di atas 12 mil sampai 200 mil, yang masih underfishing atau menjadi ajang pencurian ikan oleh nelayan asing, bisa dihasilkan rata-rata 5 juta ton ikan/tahun dengan nilai sekitar 10 miliar dolar AS/tahun dan membuka lapangan kerja untuk sekitar 1 juta orang yang bekerja di kapal ikan dan industri – hilirnya.
Dengan mengimplementasikan Roadmap Pembangunan Kelautan di atas secara berkesinambungan, kita tidak hanya akan dapat mengatasi sejumlah permasalahan bangsa seperti pengangguran, kemiskinan, disparitas pembangunan antarwilayah, dan rendahnya daya saing, tetapi juga bakal mampu mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia pada 2035.
*Penulis adalah Ketua Umum Gerakan Nelayan Tani Indonesia (GANTI)
Editor: Tokohkita