Rokhmin Dahuri
Proyeksi Awal Tahun dan Outlook Ekonomi 2021: Agromaritim Harus Jadi Tulang Punggung Ketahanan Pangan
Menurut Rokhmin, agromaritim mampu menyerap sekitar 30%-60% angkatan kerja, menyumbang 20%-60% PDB, 30% total nilai ekspor, menjadi penentu ketahanan dan kedaulatan pangan, energi, dan farmasi, serta menciptakan multiplier effects yang luas.
TOKOHKITA. Sebagai negara agraris tropis dan kepulauan terbesar di dunia, yang 75% wilayahnya berupa laut, Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi agromaritim yang sangat besar. Sayangnya, hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal.
"Sejak merdeka sampai sekarang, sektor pertanian (agroindustri dan agrobisnis) dan sektor-sektor ekonomi maritim merupakan tulang punggung (the backbone) perekonomian Indonesia," ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Prof Rokhmin Dahuri pada acara Dialog Nasional Majelis Nasional KAHMI Pokja Omnibus Law yang digelar secara daring pada Selasa (12/1/2021).
Menurut Rokhmin, agromaritim harus menjadi tulang punggung ketahanan pangan dan energi nasional secara berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing. Betapa tidak, sektor ini mampu menyerap sekitar 30%-60% angkatan kerja, menyumbang 20%-60% PDB, 30% total nilai ekspor, menjadi penentu ketahanan dan kedaulatan pangan, energi, dan farmasi, serta menciptakan multiplier effects yang luas.
Berdasarkan data, pada 2011-2019, trend jumlah tenaga kerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan di Indonesia makin menurun, namun di tahun 2020 naik signifikan hingga 38,2 juta orang. Adapun kontribusi terhadap total tenaga kerja di Indonesia dari sektor sekitar 27-36%, atau paling besar dibanding sektor lainnya.
Bahkan, lebih dari 87% tenaga kerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan pekerja informal. "Hingga triwulan III-2020, sekitar 14,33% PDB Indonesia berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan," jelas Rokhmin.
Pada 2018-2020, trend nilai ekspor sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Indonesia (komoditi non-olahan) sekitar US$ 3,4-3,7 miliar dengan kontribusi terhadap total nilai ekspor non-migas hanya 2-3%. Di tahun 2020 lalu, yang mana merebak pandemi virus corona (Covid-19), nilai ekspor sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh positif dibanding sektor lainnya, naik sekitar 13,7%.
Adapun total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. Lapangan kerja: 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia. Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.
Dengan demikian, potensi agromaritis ini sangat strategis untuk terus dikembangkan bagi pembangunan ekonomi nasional. Apalagi jika melihat posisi wilayah laut NKRI yang secara geoekonomi dan geopolitik sangat strategis, dimana 45% total barang (komoditas dan produk) yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$ 15 triliun/tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui laut Indonesia; dan gugusan pulau Nusantara merupakn choke points transportasi laut dari Samudera Pasifik ke S. Hindia, dan sebaliknya.
Nah, seiiring dengan jumlah penduduk dan demand terhadap sumber daya alam, barang dan jasa (goods and services) yang terus meningkat, niscaya peran agromaritim akan semakin strategis bagi bangsa Indonesia," kata Rokhmin.
Dengan aplikasi inovasi IPTEKS dan manajemen yang benar, agromaritim sebagai comparative advantage dapat ditransformasi menjadi competitive advantage untuk mengatasi permasalahan dan tantangan, sekaligus berkontrbusi signifikan dalam mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, dan berdaulat, paling lambat 2045.
Rokhmin bilang, aplikasi inovasi IPTEKS dan manajemen yang benar ini penting dijalankan lantaran faktanya masih sebagian besar usaha agromaritim dilakukan secara tradisional dan berskala usaha kecil dan mikro. Sehingga, tingkat pemanfaatan, produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan (sustainability) nya pada umumnya rendah.
Akibatny, petani dan nelayan umumnya masih miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah. Kemudian, ukuran unit usaha (bisnis) di sektor agro (pertanian, perikanan, dan kehutanan) sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). Akhirnya, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan atau dengan kata lain masih dalam kategori miskin.
Sebagian besar usaha di sektor agro juga belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System). Sehingga, kurang (tidak ada) kepastian harga jual, pasokan dan harga kurang stabil, dan risiko usaha menjadi tinggi.
Industri hulu dan industri hilir (manufaktur, processing and packaging) agromaritim umumnya kalah kompetitif dibandingkan dengan negara-negara pesaing (Malaysia, Thailand, Jepang, Korsel, dan China). Posisi petani, nelayan, dan pengusaha on-farm lainnya dalam Sistem Tata Niaga sangat tidak diuntungkan. Alhasil, ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik.
"Sebaliknya, pada saat mereka menjual hasil panennya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir. Ini karena banyakanya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar," ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) ini.
Yang terang, sistem logistik agromaritim pada umumnya belum efektif dan efisien, akibat infrastruktur dan sarana pembangunan yang belum memadai.
Adapun untuk mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan, Rokhmin menyarakan agar komoditas pangan yang saat ini diproduksi secara nasional perlu ada larangan impor. Untuk komoditas yang menjadi konsumsi nasional harus diperkuat dengan program ekstensifikasi dan peningkatan produktivitas.
Editor: Tokohkita