Farouk Abdullah Alwyni
Skandal Megakorupsi Bukti Buruknya Penerapan Corporate Governance di BUMN
Mereka tidak dapat mendeteksi persoalan-persoalan yang ada sejak dini, yang pada akhirnya terjadi ledakan dari akumulasi persoalan yang ada. Dan, itu sangat merugikan banyak pihak, terutama para nasabahnya dan negara sendiri. Juga perlu dipertanyakan kemana fungsi pengawasan OJK?
TOKOHKITA. Dua perusahaan asuransi pelat merah (BUMN) PT. Asabri (Persero) dan PT. Asuransi Jiwasraya (AJS) dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merugikan negara hampir Rp40 triliun. Nilai yang sangat fantastis dalam sejarah pengelolaan keuangan BUMN.
Untuk Asabri, nilai kerugian negara sementara diprediksi Rp23 triliun, sedangkan di Jiwasraya sebesar Rp16,8 triliun. Yang pasti, kesalahan yang menimbulkan kerugian negara sangat besar ini terletak pada tata kelola investasi dan risiko yang dilakukan oleh institusi keuangan yang melayani nasabah TNI, Polri, PNS Kementerian Pertahanan (Asabri) serta nasabah umum (Jiwasraya) tersebut.
Belum selesai sampai di situ, publik kembali dikagetkan dengan perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. Nilai kerugiannya pun tak kalah fantastis, sekitar Rp20 triliun. Sebelumnya juga ada korupsi Dana Bansos sebesar Rp5,9 triliun.
“Berbagai skandal mega korupsi diatas menunjukkan buruknya penerapan corporate governance di BUMN Asuransi ataupun institusi negara kita,” kata Farouk Abdullah Alwyni (FAA), Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Investasi (EKUIN), DPP PKS di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Menurut alumnus New York University dan Birmingham University tersebut, kasus Asabri dan Jiwasraya memperlihatkan bahwa, ada kelemahan fundamental terkait supervisi dari pemerintah selaku pemegang saham pengendali (PSP), yang dalam hal ini adalah Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan.
Mereka tidak dapat mendeteksi persoalan-persoalan yang ada sejak dini, yang pada akhirnya terjadi ledakan dari akumulasi persoalan yang ada. Dan, itu sangat merugikan banyak pihak, terutama para nasabahnya dan negara sendiri. Juga perlu dipertanyakan kemana fungsi pengawasan OJK?
“Saya melihat, ini seperti main-main saja mengelola BUMN. Jiwasraya juga sudah dimasukkan dalam IFG (Indonesia Financial Group), BUMN Holding Perasuransian dan Penjaminan, dan juga telah meminta dan disetujui suntikan dana penanaman modal negara (PMN) sebesar Rp20 triliun. Bahkan, saat ini sedang minta tambahan lagi Rp. 2 triliun ke DPR untuk disetujui,” papar mantan direktur Bank Muamalat tersebut.
Yang jelas, PKS memandang dari kasus-kasus perampokan uang negara bermodus investasi ini ujung pangkalnya adalah masalah dalam pengelolaan dana investasi di BUMN-BUMN keuangan, lembaga keuangan dan entitas pemerintah.
Jika ditilik lebih dalam, ada kemiripan dalam praktek investasi di Jiwasraya dan Asabri. Kemiripannya adalah kedua BUMN Asuransi tersebut banyak menginvestasikan dananya disaham tidak likuid, dan untuk Jiwasraya hanya 5% yang diinvestasikan disaham LQ45, disamping juga 98?ri reksadana dikelola oleh manajer investasi yang tidak termasuk ‘top tier.’
Bahkan banyak saham-saham yang dimiliki oleh Jiwasraya juga dimiliki oleh Asabri. Hal yang lebih mengagetkan adalah, saham-saham tersebut terafiliasi dengan Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro (Bentjok), yang keduanya menjadi terdakwa untuk kasus Jiwasraya dan status tersangka untuk kasus Asabri. Hal ini terjadi karena adanya kerja sama antara Heru dan Benny dengan Jiwasraya maupun Asabri dalam mengelola investasi kedua BUMN tersebut, sebagaimana disebutkan oleh persidangan Jiwasraya dan pernyataan Kejagung.
Dengan melihat proses kolusi tersebut, FAA mengangkat paket remunerasi yang besar bagi para pejabat pemerintah dan petinggi BUMN karena faktanya tidak sejalan dengan kinerjanya.
“Malah mengambil uang nasabah BUMN Asuransi tersebut dan merugikan negara dengan nilai yang sangat fantastis. Artinya, meski para petinggi dan pejabat BUMN telah menikmati remunerasi yang besar tapi tetap saja korupsi, maka disini ada persoalan sistemik baik terkait GCG maupun terkait etika dan integritas dari para pengelolanya,” ungkapnya.
“Bayangkan jika dana -dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk program pengentasan kemiskinan, suntikan dana untuk para pelaku sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan juga perbaikan fasilitas kesehatan tingkat kelurahan,” pungkas Farouk.
Editor: Tokohkita