Rokhmin Dahuri
Pembangunan Berkelanjutan Indonesia Berada di Persimpangan Jalan
Indonesia juga menghadapi degradasi ekosistem pesisir dan kehilangan keanekaragaman hayati, yang di beberapa wilayah sudah mencapai tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem alam untuk mendukung pembangunan ekonomi di masa mendatang.
TOKOHKITA. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University Rokhmin Dahuri, mengungkapkan, dari perspektif pembangunan berkelanjutan atawa sustainable development, Indonesia saat ini sungguh berada di persimpangan jalan (at cross road).
Di satu sisi, kita harus meningkatkan intensitas pembangunan (konversi ekosistem alam untuk pemukiman dan ruang pembangunan lainnya, serta pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan) untuk antara lain memenuhi kebutuhan pangan, sandang, pemukiman, obat-obatan, pendidikan, transportasi, dan kebutuhan manusia lainnya, memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat, dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju dan makmur dengan pendapatan nasional kotor (gross national income/GNI) per kapita di atas US$ 12.535, dari sekarang sebagai bangsa berpendapatan-menengah atas dengan GNI per kapita hanya US$ 4.050.
Tapi di sisi lain, akibat pola pembangunan yang selama ini kurang ramah lingkungan, Indonesia kini menghadapi berbagai ragam kerusakan lingkungan seperti pencemaran, overfishing, deforestasi, kebakaran hutan, erosi, tanah longsor, banjir. Indonesia juga menghadapi degradasi ekosistem pesisir dan kehilangan keanekaragaman hayati, yang di beberapa wilayah sudah mencapai tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem alam untuk mendukung pembangunan ekonomi di masa mendatang.
"Maka, di sini kita mestinya mengurangi atau mengerem laju pembangunan," kata Rokhmin dalam Webinar Nasional “Peran Mahasiswa Sebagai Agent of Change dalam Menghadapi Tantangan Entrepreneurship untuk Mewujudkan SDGs” yang digelar Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Nusantara Pgri Kediri, Sabtu (3/4/2020).
Menurut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini, Indonesia juga menghadapi beragm dampak negatip akibat perubahan iklim global seperti peningkatan suhu bumi dan permukaan laut, ocean acidification, cuaca ekstrem, dan ledakan wabah penyakit. Celakanya, negara kita saat ini dalam kondisi gawat lantaran menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia.
"Dari laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%," sebut Rokhmin yang juga Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020–2024.
Persoalan semakin serius, karena Indonesia berada diurutan ke-62 dari 113 negara dalam ketahanan pangan jika merujuk data Global Food Security Index 2019. "Impor sembilan komoditas pangan juga terus meningkat. Bahkan, sekitar 90% industri farmasi di Indonesia masih menggunakan bahan impor," ungkap Rokhmin.
Kerja pemerintah juga semakin berat karena masih banyak warga yang tinggal di tempat yang tidak auak huni. Hingga kini, masih ada 61,7?ri 65 juta rumah tangga di Indonesia yang menempati rumah tidak layak huni sesuai data Bappenas tahun 2019. "Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945," jelas Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara ini.
Yang terang, Rokhmin bilang, ketertinggalan Indonsia karena faktor eksternel dan internal. Faktor internal disebabkan belum adanya “Road Map Pembangunan Nasional yang komprehensif, tepat, yang dilaksanakan secara berkesinambungan, dan kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, dan etos kerja) relatif rendah.
Adapun faktor ekternal karena akibat keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara ekonomi negara berkembang, disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat, hingga pertarungan ideologi.
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, Indonesia harus meningkatkan kualitas SDM, dengan mencetak genersi yang memiliki kemampuan hard skills dan Soft skills. Untuk kompetensi hard skills, pertama, IPTEK yang dapat menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia (pangan, sandang, perumahan, kesehatan & wellness, pendidikan, energi, transportasi, dan rekreasi & hiburan) yang berdaya saing. Kedua, IPTEK yang berhubungan dengan Revolusi Industri-4.
Sedangkan untuk soft skills, yang dibutuhkan di abad 21 ini adaah critical thinking, creativity and innovation, entrepreneurship, collaboration, communication, dan iman dan taqwa menurut agama masing-masing. Atas dasar itu, para mahasiswa dituntut mempersiapkan diri dengan kemampuan tersebut dan berjiwa entrepreneur.
Rokhmin pun mengutip Seorang yang mampu menangkap suatu peluang dan kemudian mengubahnya menjadi bisnis yang sukses pernyataan Daniel Priestley dalam karyanya Entrepreneur Revolution, bahwa Seorang yang mampu menangkap suatu peluang dan kemudian mengubahnya menjadi bisnis yang sukses. "Makna entrepreneurship dalam pandangan pengusaha sukses Ciputra adalah seorang yang mampu mengubah rongsokan menjadi emas," ujar Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea ini.
Editor: Tokohkita