Rokhmin Dahuri
Arah Kebijakan Pembangunan Masih Kayak Tarian Poco Poco
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 99.000 kilometer garis pantai (terpanjang kedua di dunia) dan 75% wilayahnya berupa laut, yang mangandung potensi ekonomi (SDA dan jasa lingkungan/jasling) sangat besar tapi belum dimanfaatkan secara optimal.
TOKOHKITA. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Rokhmin Dahuri melihat, kebijakan pembangunan di Indonesia belum dijalankan secara berkesinambungan alias mudah berganti-ganti, termasuk di sektor kelautan dan perikanan. Sejatinya, kebijakan pembangunan harus dibuat secara berkesinambungan dan berjenjang. Ada pembangunan jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang.
Di sisi lain, tak sedikit sumber daya manusia yang ditempatkan pada satu bidang strategis untuk menjalankan suatu kebijakan justru tidak sesuai dengan kapasitas atau keahliannya. "Saya teringat hadis nabi, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu. Jadi, ya harus sama yang ahlinya, juga saleh," tandas Rokhmin.
Penegasan tersebut disampaikan oleh Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020–2024 itu dalam Sekolah Kepemimpinan Politik Bangsa (SKPB) Angkatan X bertajuk "Arah Politik Sumber Daya Kelautan“ pada Akbar Tandjung Institute secara daring, Rabu (30/6/2021). Yang mana salah satu audien menyodorkan pertanyaan menyoal tentang kebijakan poros maritim dunia yang digadang-gadang oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertama namun dinilai tidak jelas juntrungannya di periode kedua saat ini.
Rokhmin pun memberikan penjelasan secara diplomatis. Memang, kebijakan poros maritim dunia dianggap negatif secara politik oleh sebagian. Padahal, dasar poros maritim dunia sudah jelas dengan lima pilar uatma, yang anatra lain membangun kembali budaya maritim Indonesia, memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim, serta menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama.
Meski demikian, Rokhmin tidak memungkiri akibat kebijakan yang tidak berkesinambungan dan berubah-ubah, malah membuat Indonesia tidak maju-maju, sehingga ketinggalan dari negara tetangga. "Kayak tarian poco-poco, maju-mundur, maju-mundur, karena kebijakan pembangunan yang tidak berkesinambungan. Terus, untuk di kabinet, jangan lagi menyodorkan kader partai yang memble, tidak memahami persoalan," kritik Rokhmin.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini memparkan, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 99.000 kilometer garis pantai (terpanjang kedua di dunia) dan 75% wilayahnya berupa laut, yang mangandung potensi ekonomi (SDA dan jasa lingkungan/jasling) sangat besar tapi belum dimanfaatkan secara optimal. Di sisi lain, kebutuhan manusia terhadap SDA dan jasling terus meningkat. Sementara, SDA dan jasling yang ada di daratan semakin menipis atau susah untuk dikembangkan.
Menurut dia, sektor-sektor ekonomi kelautan seperti perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, ESDM, dan pariwisata bahari sangat menguntungkan (profitable/lucrative). Selain itu, sektor ini juga menyerap banyak tenaga kerja, menghasilkan multiplier effects yang luas. "Hal ini yang menjadi dasar atau alasan Indonesia bisa menjadi poros maritim dunia," terang Rokhmin.
Yang terang, posisi geoekonomi Indonesia juga sangat strategis karena berada di jantung global supply chain System, yang mana sekitar 45?rang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai rata-rata US$ 15 triliun per tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (ALKI). "Posisi geopolitik Indonesia sangat vital, menjadi choke points antara Samudera Pasifik dan Samudra Hindia, dan diapit oleh Benua Asia dan Australia," sebut Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara ini.
Rokhmin juga mengungkapkan, total potensi ekonomi dari sebelas sektor kelautan Indonesia mencapai US$ 1,348 triliun per tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 yang senilai Rp 2.750 triliun atau 1,2 PDB Nasional 2020. Adapun penyerapan lapangan kerja dari sektor kelautan
sebanyak 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia.
Agar cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia maka perrlu reorientasi paradigma pembangunan bangsa, dari berbasis daratan atau land-based development menjadi berbasis kelautan (marine-based development). Dengan demikian, bisa menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, adil-makmur dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim serta mampu menjadi a role model (teladan) dunia dalam berbagai bidang kelautan seperti pendidikan, IPTEK, infrastruktur, ekonomi, hankam, dan tata kelola kelautan (ocean governance).
Untuk menuju ke arah tersebut, Rokhmin berpandangan semua unit usaha sektor Ekonomi kelautan harus menerapkan skala ekonomi (economy of scale), integrated supply chain management system, inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan sustainable development principles.
Kemudian, seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon), solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya. Yang tidak kalah penting adalah eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan," tandas Rokhmin.
Editor: Tokohkita