Kenaikan Cukai Picu Maraknya Rokok Ilegal
Ekonom: Jangan Sampai Jadi Seperti Malaysia
Rokok menempati posisi terbesar kedua dari konsumsi masyarakat Indonesia, setelah makanan. Kenaikan tarif CHT tidak akan serta-merta menyelesaikan isu yang ada, alih-alih akan meningkatkan praktik perdagangan rokok ilegal
TOKOHKITA. Pemerintah Indonesia telah secara eksesif menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama dua tahun terakhir, yaitu naik sebesar 23% pada 2020 dan kembali naik sebesar 12,5% di tahun ini. Menanggapi ini, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio mengungkapkan pemerintah perlu punya aturan jelas untuk menanggulangi dampak turunan jika harga rokok legal menjadi semakin mahal karena beban cukai makin besar, salah satunya berupa risiko peralihan konsumsi ke rokok ilegal.
“Rokok menempati posisi terbesar kedua dari konsumsi masyarakat Indonesia, setelah makanan. Kenaikan tarif CHT tidak akan serta-merta menyelesaikan isu yang ada, alih-alih akan meningkatkan praktik perdagangan rokok ilegal. Jangan sampai, kita nanti menjadi seperti Malaysia yang pertumbuhan peredaran rokok ilegalnya telah mencapai dua digit lantaran adanya pelarangan konsumsi rokok dari pemerintahnya,” tegasnya.
Berlangsungnya pandemi COVID-19 gelombang kedua dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat nyatanya telah memunculkan berbagai spekulasi soal daya tahan ekonomi negara dan penghidupan masyarakat. Bagi pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT), di tengah kondisi sulit yang ada, terdapat tiga tantangan besar yang kini mereka hadapi, mulai dari menurunnya ekonomi masyarakat sebab pandemi, kekhawatiran kembali naiknya tarif CHT, hingga kemungkinan penyederhanaan struktur tarif cukai (simplifikasi). Keresahan ini bukan tanpa alasan mengingat, sejak dua tahun terakhir, pemerintah memang telah melakukan kenaikan tarif CHT secara besar/eksesif.
Pada aspek penurunan ekonomi masyarakat, Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa pemberlakukan PPKM bakal menekan perekonomian. Proyeksinya, jika PPKM berlangsung selama satu bulan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan mencapai 3,8%, atau lebih rendah dari perkiraan BI sebelumnya di kisaran 4,1%-5,1?ngan titik tengah 4,6%.
Kebijakan PPKM darurat nyatanya juga memberi dampak berupa ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran terbuka di beberapa provinsi. Termasuk di daerah sentra tembakau yang notabene serapan tenaga kerja oleh IHT jadi tumpuan ekonomi daerah, sebut saja Kudus, Temanggung, Jember, dan Deli.
Telah terbebani lantaran pandemi, para pelaku IHT semakin dibuat cemas memasuki semester kedua 2021 lantaran agenda-agenda pelemahan industri yang semakin gencar dikemukakan oleh pihak anti-tembakau. Hal tersebut lantas memicu pertanyaan besar bagi pelaku IHT atas perlindungan negara pada keberlangsungan usahanya.
Menanggapi perkembangan tuntutan terhadap IHT di tengah pandemi, Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengatakan komisi sampai saat ini menolak wacana kenaikan tarif maupun simplifikasi CHT. Dia berharap pemerintah lebih berfokus terhadap penanggulangan pandemi COVID-19 terlebih dahulu, ketimbang melahirkan kebijakan baru yang ekstrem seperti itu. “Saat ini bukan waktu yang tepat. Tidak ada urgensinya sama sekali. Lebih baik pemerintah menjaga IHT dengan kebijakan yang soft mengingat situasi ekonomi sedang tidak bagus dan sulit untuk mencari pekerjaan. Tarif cukai juga ada baiknya tidak naik dulu, kalaupun naik harus sesuai kemampuan dan masukan dari pelaku industri terlebih dahulu, CHT jangan dilihat dari perusahaan-perusahaan besarnya saja, tapi juga petani dan buruh yang terlibat perlu diperhatikan,” ujar Daniel.
Pada rokok golongan II dan III contohnya, golongan tersebut menjadi golongan rokok yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah yang mendominasi populasi penduduk Indonesia saat ini. Simplifikasi tarif cukai berlebihan sama saja dengan menghilangkan produsen kecil-menengah dan memicu dominasi produsen dengan modal besar. Bagi petani tembakau, mereka akan semakin kesulitan dalam memperoleh penawaran tembakau dengan harga berkualitas karena semakin minimnya opsi penjualan.
Semakin maraknya peredaran rokok ilegal nyatanya punya sejumlah dampak bahaya bagi perekonomian, mulai dari hilangnya potensi penerimaan cukai, pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak daerah. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menaksir bahwa kerugian negara akibat rokok ilegal sepanjang tahun 2020 bahkan mencapai Rp 5 triliun. Adapun klasifikasi rokok ilegal pun beragam. Mulai dari rokok tanpa pita cukai, pita cukai sudah kadaluarsa, atau praktik yang biasa terjadi, pita cukai untuk SKT dilekatkan di kemasan SKM, sehingga ketika dijual secara eceran menjadi lebih murah.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Profesor Candra Fajri Ananda menuturkan bahwa pengenaan kebijakan harga (price policy) terhadap IHT untuk alasan perlindungan kesehatan menjadi strategi yang kurang tepat sasaran selama ini. “Apabila pemerintah memang ingin menyelesaikan masalah kesehatan maka yang perlu dicari adalah solusi untuk mengendalikan efek produk tembakau, bukan membunuh industrinya melalui kenaikan tarif ataupun simplifikasi yang eksesif,” paparnya.
Kebijakan penetapan cukai hasil tembakau (CHT) yang adil diperlukan agar pasar rokok legal tidak terbebani dan bisa memenuhi permintaan secara legal pula. Salah satu jalan tengah yang adil bagi produsen rokok dan pemerintah saat ini adalah dengan menyusun peta jalan (roadmap) industri. “Melalui peta jalan yang multiobjectives, kita berharap hal tersebut dapat membantu IHT untuk dapat menyesuaikan kebijakan industrinya dan tidak menjadi kaget ketika pemerintah menerapkan kebijakan IHT tertentu,” tambah Candra.
Candra juga tidak menampik negara saat ini punya pekerjaan bersama yang lebih besar, yakni penanggulangan pandemi. Oleh karenanya, ia melihat saat ini urgensi untuk melakukan penyesuaian tarif cukai belum terlalu diperlukan. “Di tengah pandemi, IHT menjadi salah satu sektor usaha yang berkontribusi besar menopang perekonomian negara. Kalau semakin ditekan justru dapat memberikan dampak negatif bagi penerimaan negara,” jelasnya.
Editor: Tokohkita