Rokhmin Dahuri
Negara Maju Penyumbang Terbesar Emisi CO2 di Dunia
Menurut Rokhmin, akar masalah pembangunan dan lingkungan hidup adalah dampak perkembangan tekonolgi yang tak ramah lingkungan (aspek teknis), dan moralitas, khususnya orang-orang atau bangsa bangsa yang punya power kekuasaan itu mayoritas sangat hedonis, greedy, dan hegemonis.
TOKOHKITA. Upaya mondial dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan mensejahterakan warga dunia atawa sustainable development goals (SDGs) sampai sekarang belum membuahkan hasil seperti yang kita harapkan.
Penyebabnya, selama ini hampir semua kebijakan dan program penanggulangan kerusakan lingkungan hanya menyentuh fenomenanya, bukan akar masalah atau root causes-nya. Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, pada kuliah umum Sekolah Pasca Sarjana dan SDG Center di Universitas Hasanuddin Makassar, yang digelar secara daring dan luring, Kamis (5/8/2021).
Menurut Rokhmin, akar masalah pembangunan dan lingkungan hidup adalah dampak perkembangan tekonolgi yang tak ramah lingkungan (aspek teknis), dan moralitas, khususnya orang-orang atau bangsa bangsa yang punya power kekuasaan itu mayoritas sangat hedonis, greedy, dan hegemonis.
"Contohnya, dalam upaya untuk mencegah pemanasan global, negara-negara industri maju memberikan dana hibah ala kadarnya kepada negara-negara berkembang atau miskin. Dengan syarat, negara-negara berkembang mengurangi emisi CO2 secara signifikan. Tetapi, mereka sendiri tidak mau mengurangi emisi CO," sebutnya.
Rokhmin memaparkan, saat ini negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18% penduduk dunia justru menyedot sekitar 70% total konsumsi energi dunia, dan 87% total energi yang mereka gunakan berupa energi fosil. Rata-rata laju emisi CO2 negara-negara industri maju sekitar 10 ton perkapita, dan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 20 ton perkapita. "Sedangkan, negara-negara berkembang rata-rata hanya 1 ton perkapita, dan Indonesia baru 0,5 ton perkapita bila merujuk data IPPC tahun 2019," terang Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan ini.
Yang terang, ketidak-adilan iklim inilah yang merupakan biang kerok dari pemanasan global. Selain itu, teknologi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap global warming, tsunami, kebakaran hutan, gempa bumi, dan bencana alam lainnya pun masih terbatas, khususnya bagi negara-negara berkembang dan negara miskin.
Tetapi, yang mengkhawatirkan adalah bahwa berbagai macam kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, biodiversity loss, dan pemanasan global justru semakin parah. "Pada 2020 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah peradaban manusia," kata Rokhmin.
Bila laju emisi CO2 seperti sekarang, suhu bumi bakal meningkat sebesar 1,50 C pada 2030 dibandingkan sebelum Revolusi Industri Pertama. Padahal, Rokhmin menyebutkan, bila peningkatan suhu bumi lebih dari 1,50C, maka dampak negatif akibat pemanasan global adalah naiknya permukaan laut, gelombang panas, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, dan ledakan wabah penyakit yang bakal sulit atau tidak bisa ditanggulangi dengan IPTEK yang ada sekarang.
Editor: Tokohkita