Rokhmin Dahuri
Potensi Produksi Perikanan Budidaya Baru Termanfaatkan 16%
Indonesia belum optimal memanfaatkan potensi tersebut karena masih banyak masalah dan tantangan yang dihadapi. Sebab itu, penting adanya cetak biru pembangunan perikanan budidaya untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan.
TOKOHKITA. Sebagai negara kepuluan terbesar di dunia yang 75% total wilayahnya berupa laut dan 28% wilayah daratnya berupa ekosistem perairan tawar seperti danau, bendungan, sungai, dan rawa. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budidaya terbesar di dunia, sekitar 100 juta ton per tahun.
Meski demikian, Indonesia belum optimal memanfaatkan potensi tersebut karena masih banyak masalah dan tantangan yang dihadapi. Sebab itu, penting adanya cetak biru pembangunan perikanan budidaya untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan.
Demikian diutarakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri dalam Munas IV HIMAKUAI FPIK UNDIP yang digelar secara daring, Minggu (24/10/2021)
Yang terang, potensi perikanan budidaya Indonesia masih besar untuk terus dikembangkan. "Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budidaya terbesar di dunia, sekitar 100 juta ton per tahun yang hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 16%," sebutnya.
Menurut Rokhmin, produksi ikan, krustasea, moluska, dan invertebrata (protein hewani) dari perikanan budidaya semakin meningkat over time mencapai 5,6 juta ton (44,7% total produksi) pada 2018. Ditambah rumput laut, total produksi perikanan budidaya sebesar 15,8 juta ton atau 67,5% total produksi perikanan Indonesia.
Sementara itu, lebih dari 50% total asupan protein hewani (animal protein intake) rakyat Indonesia berasal dari ikan dan seafood. Adapun produksi perikanan tangkap dari laut dan PUD (Perairan Umum Darat: sungai, danau, waduk, dan perairan rawa) tidak dapat ditingkatkan melebihi MSY-nya.
"MSY perairan Indonesia hanya sekitar 15,5 juta ton per tahun dan dunia hanya 100 juta ton per tahun. Produksi ikan dari perikanan tangkap di dunia pun sudah leveling off atau mandek, yakni sekitar 100 juta ton per tahun," beber Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.
Rokhmin menuturkan, seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan terhadap ikan, seafood, bahan pangan lain, dan SDA atau raw materials lainnya pun akan semakin meningkat. Nah, peningkatan demand ini hanya bisa dipenuhi oleh sektor perikanan budidaya atau aquaculture.
Secara definisi, Rokhmin menjelaskan, perikanan budidaya tidak hanya menghasilkan sumber protein hewani seperti ikan, krustasea, moluska, dan ivertebrata, tetapi juga bahan baku (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, film, cat, pelapis badan pesawat terbang, biofuel, dan beragam industri lainnya. Bahkan, tanaman pangan (sumber karbohidrat) pun sudah berhasil dibudidayakan di ekosistem perairan laut.
Sebab itu, secara potensial, perikanan budidaya dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. "Dengan membuka usaha tambak udang Vaname 100.000 hektare per tahun saja, dapat disumbangkan 2% pertumbuhan ekonomi per tahun," ungkapnya.
Tak cuma itu, aktivitas on-farm aquaculture menyerap banyak tenaga kerja, dan aquaculture membangkitkan multiplier effects (industri hulu, industri hilir, dan sektor jasa) ekonomi yang sangat besar. "Setiap satu orang bekerja di on-farm aquaculture menciptakan lapangan kerja di sektor off-farm [industri hulu, industri hilir, dan sektor jasa] rata-rata tiga orang tenaga kerja," terang Rokhmin.
Sejatinya untuk menggali potensi akuakultur masih terbuka lebar. Sebab, pada umumnya rakyat Indonesia mampu melakukan usaha aquaculture, dan modal usahanya relatif kecil, yang efeknya pada pemerataan ekonomi untuk mengatasi ketimpangan kaya vs miskin.
Hanya saja, masih terdapat masalah dalam pengembangannya, akibat belum ada informasi spasial kuantitatif yang akurat tentang distribusi unit usaha marikultur, tambak, KJA di PUD, kolam air tawar, minapadi, dan wadah lainnya yang ada (existing) dan lokasi (kawasan) lahan pesisir yang potensial (suitable) untuk akuakultur berdasarkan RTRW per daerah.
Kedua, pada umumnya pemerintah daerah belum menganggap perikanan budidaya sebagai sektor unggulan (leading sector, prime mover), sehingga dalam RTRW sering tergeser oleh sektor lain (seperti industri manufaktur, pariwisata, pemukiman, business center, dan ESDM).
Ketiga, keterbatasan benur, pakan, obat-obatan, pedal wheel (kincir air tambak), dan sarana produksi lain yang berkualitas dan harga relatif murah di sekitar lokasi budidaya. Keempat, keterbatasan infrastruktur (irigasi tambak, jalan, listrik, telkom, pelabuhan, dan air bersih).
Kelima, sebagian besar atau 80% usaha perikanan budidaya bersifat tradisional dan skala kecil. AKibatnya, tidak memenuhi skala ekonomi, tidak menerapkan best aquaculture practices, tidak menerapkan integrated supply chain management system, dan kurang ramah lingkungan. Alhasil, "Produktivitas dan keuntungan rendah, sering gagal panen akibat penyakit dan lainnya, dan tidak sustainable," tukas Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020–2024 ini.
Adapun untuk mengatasi persoalan tersebut, Rokhmin menyarankan adanya revitalisasi semua unit usaha (bisnis) akuakultur di perairan laut, payau (tambak), PUD, kolam air tawar, minapadi, akuarium, dan media lainnya, yang ada saat ini (existing) untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan sustainability-nya.
"Atau, bila unit bisnis akuakultur existing tidak layak, maka tinggalkan. Lakukan ekstensifikasi pembangunan dan bisnis akuakultur di kawasan-kawasan (laut, payau, tawar, dan media lain) yang baru," ujarnya.
Adapun upaya lainnya, adalah diversifikasi spesies baru dalam usaha akuakultur dan pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (produk) non-konvensional, seperti bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.
Editor: Tokohkita