Rokhmin Dahuri
SDA di Darat semakin Menipis, Peran Pesisir dan Lautan Semakin Strategis
Di sejumlah negara atau wilayah dunia, tingkat kerusakan lingkungan (pencemaran, overfishing, deforestasi, biodiversity loss, degradasi fisik habitat, dan lainnya) telah mencapai tingkat yang telah melampaui kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem negara atau wilayah tersebut.
TOKOHKITA. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa Indonesia memiliki tantangan besar dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan yang memiliki peran semakin strategis seiring dengan ancaman ketersediaan sumber daya alam (SDA) di darat yang semakin menipis atau sulit dikembangkan.
“Fakta bahwa sumber daya alam di darat semakin menipis (langka) atau sulit untuk dikembangkan membuat peran pesisir dan lautan akan semakin penting,”katanya saat menyampaikan keynote speech acara Konferensi Nasional X Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil PKSPL-IPB University dan Kementerian Kelautan dan Perikanan secara daring, Selasa (9/11/2021).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengingatkan bahwa tantangan fundamental Peradaban Umat Manusia saat ini dan terlebih di masa depan adalah kebutuhan (demand) terhadap bahan pangan, sandang, bangunan (papan), farmasi (obat-obatan), mineral, energi, ruang kehidupan (living space), jasa-jasa lingkungan (environmental services), dan kebutuhan manusia lainnya terus meningkat. Sementara, kapasitas dan daya dukung Ekosistem Bumi dalam menyediakan segenap bahan kebutuhan manusia itu terbatas, bahkan menurun akibat kerusakan lingkungan dan Pemanasan Global (Global Warming).
Mengutip data Bank Dunia (World Bank, 2020), Prof Rokhmin mengatakan sampai sekarang sekitar 1 milyar penduduk dunia masih miskin absolut/fakir (spending < US>
“Di sejumlah negara atau wilayah dunia, tingkat kerusakan lingkungan (pencemaran, overfishing, deforestasi, biodiversity loss, degradasi fisik habitat, dan lainnya) telah mencapai tingkat yang telah melampaui kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem negara atau wilayah tersebut,” ujarnya.
Dosen Kehormatan Mokpo National University, Korae Selatan itu menerangkan bahwa pemanasan (Perubahan Iklim) Global, jika tidak bisa dikendalikan agar peningkatan suhu bumi tidak diatas 1,50C dibandingkan dengan suhu bumi di masa pra-industri (Revolusi Industri Pertama pada 1753), maka bukan hanya akan mengancam keberlanjutan bumi, tetapi juga Umat Manusia itu sendiri.
Wilayah di bumi yang paling tertekan akibat berbagai jenis kerusakan lingkungan dan Global Warming adalah wilayah pesisir, karena: sekitar 60% penduduk dunia tinggal dan 65% kota-kota dunia terdapat di wilayah ini, 85% transportasi via laut dan sungai, dan wilayah pesisir juga menerima eksternalitas negatip dari wilayah hulu maupun laut lepas (UNDP and UNEP, 2002).
“Kondisi yang mencemaskan tentang ancaman tethadap keberlanjutan (sustainability) Planet Bumi dan ekosistem pesisir pada tataran global di atas, dalam banyak hal (to some extent) juga terjadi di Indonesia,” terangnya.
“Namun, karena Indonesia masih sebagai negara-berpendapatan menengah bawah dengan GNI (Gross National Income) per capita US$ 3,870 dan tingkat kemiskinan yang tinggi, sekitar 10,2% total penduduk (BPS, 2021) dan 37% total penduduk (World Bank, 2021). Maka, Indonesia terpaksa (dilematis) masih harus meningkatkan laju (intensitas) pembangunan (pemanfaatan SDA & JASLING) di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut,” jelasnya.
Padahal, lanjut Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman itu sejumlah wilayah pesisir dan laut telah mengalami berbagai kerusakan lingkungan (pollution, overfishing, deforestasi mangroves, konversi ekosistem alam pesisir menjadi man-made ecosystem, biodiversity loss, dll) yang telah mengancam sustainable capacity dari wilayah pesisir tersebut untuk mendukung pembangunan ekonomi ke depan. Contoh: Teluk Jakarta, Surabaya, Konawe Sultra, Muara Aijkwa – Mimika, dan Makassar.
“Dari perspektif Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia berada di simpang jalan (at a cross road). Di satu sisi, ada sejumlah wilayah pesisir dan laut yang telah mengalami kerusakan lingkungan (overeksploitasi SDA, pencemaran, dan degradasi fisik habitat) pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) nya,” paparnya.
“Kebijakannya stop atau kurangi laju pembangunan. Di lain sisi, sebagai lower-middle income country dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan sehingga dibutuhkan kebijakan meningkatkan pembangunan pesisir, pulau kecil, dan laut,” tambahnya.
Atas dasar jumlah penduduk dan intensitas pembangunannya, Prof Rokhmin mengatakan bahwa terdapat tiga tipologi (potret) wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang ketiganya mengarah ke unsustainable (tidak berkelanjutan).
Maka, tantangan dalam mewujudkan pembangunan pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut yang optimal, mensejahterakan, dan berkelanjutan adalah: (1) bagaimana menghitung (to asses) dan menetapkan laju (intensitas) pembangunan yang optimal dan berkelanjutan di setiap wilayah pesisir, pulau kecil, dan laut (TEKNOKRATIK – ILMIAH); dan (2) bagaimana mengimplementasikan hasil assesment itu di dalam prosess perencaan dan pengambilan keputusan (implementasi) pembangunan (POLITIK-EKONOMI).
Laju pembangunan optimal, mensejahterakan, dan berkelanjutan adalah yang mampu: (1) menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil); dan (2) pada saat yang sama ekosistem alam beserta SDA dan JASLING tetap terpelihara sustainability (keberkelanjutannya).
Berdasarkan pada struktur, karakteristik, dan dinamika wilayah pesisir dan lautan (multiple ecosystems, interconnection of upland – coastal – ocean areas, dan multi-etnicity of coastal dwellers), Maka, tegas Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu hanya dengan ICM (Pengelolaan Pesisir – Lautan Terpadu: spasial, sektor, tingkat pemerintahan, disiplin ilmu, dan internasional) lah pembangungunan wilayah pesisir, pulau kecil, dan laut dapat berlangsung secara optimal, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
“Perencanaan dan implementasi ICM memerlukan data dan informasi ilmiah yang valid, akurat, dan mencukupi. Faktanya sebagian besar pemimpin, birokrasi, dan sektor swasta masih memandang sebelah mata tentang krusialnya ”Science-based planning and decision-making process”,” ungkapnya.
Keteterpaduan juga menjadi syarat untuk pembangunan pesisir, pulau kecil, dan laut yang optimal, mensejahterakan dan berkelanjutan namun faktanya masih dominan ego-sektoral, ego-daerah, ego-disiplin ilmu, dan ego-negara.
Kebijakan pembangunan sangat mengutamakan korporasi besar ketimbang usaha rakyat (UMKM) dalam mendapatkan aset ekonomi produktif: modal (kredit bank), teknologi, infrasturktur, informasi, dan lainnya.
“Hasil (outputs, outcomes, and impacts) dari ICM pada umumnya dapat dirasakan dalam jangka menengah (setelah 5 tahun) atau jangka panjang (5 – 25 tahun). Sedangkan, sebagian besar pemimpin (pemerintahan maupun swasta) memilih yang hasil nya dapat dirasakan dalam jangka pendek (< 5>
Maka menurut Prof Rokhmin diperlukan globalisasi melalui investasi oleh korporasi asing (MNC = Multi National Corporation) hampir semua hanya menguras SDA untuk mendapatkan keuntungan maksimal dalam waktu singkat, tidak peduli dengan kesejahteraan masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Adapun Kebijakan Politik-Ekonomi untuk ICM juga menjadi faktor penting yang dibutuhkan. Kebijakan tersebut dapat berupa antara lain: Pertama, Keluarkan UU, PP, atau Pepres yang mewajibkan ICM serta segenap pedoman pengeloaan pembangunan.
Kedua, penguatan dan pengembangan UMKM di pesisir, pulau kecil, dan laut supaya berpedoman pada ICM dan usahanya menjadi lebih produktif, efisien, berdaya saing, dan sustainable. “Dengan cara menyediakan aset ekonomi produktif (kredit bank, tekonologi, infrastruktur, akses pasar, informasi, dll) kepada UMKM seperti yang selama ini dinikmati oleh Korporasi (Konglomerat) (Capital Reform),” tandasnya.
Ketiga, Korporasi harus menjadikan penduduk lokal sebagai “white-collar workers”, tidak sebagai “blue-collar workers”, dan sebagain keuntungan digunakan untuk membangun sektor dan usaha ekonomi yang mensejahterakan dan berkelanjutan. Keempat, Pengeloaan SDA, termasuk pesisir dan lautan harus kembali ke UUD 1945, Pasal 33.
Editor: Tokohkita